Kyai Upas adalah sebuah pusaka berbentuk tombak dengan panjang bilah sekitar 35 cm dengan ditopang landhean (kayu pegangannya) sepanjang 4 meter. Pada bilah bagian bawah terdapat hiasan berbentuk huruf Arab dengan lafal Allah dan Muhammad. Pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas merupakan pusaka milik masyarakat Kabupaten Tulungagung yang diyakini masih mempunyai daya magis/bertuah (dikisahkan pada masa penjajahan Belanda, keberadaan pusaka tersebut mampu menolak musuh sehingga tidak bisa masuk Kabupaten Tulungagung). Pusaka Kanjeng Kyai Upas pada akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat Tulungagung dalam bentuk Upacara Adat Ritual Jamasan Pusaka Kanjeng Kyai Upas yang dilaksanakan satu tahun sekali yaitu pada hari Jumat setelah tanggal 10 bulan Sura (Jawa).
Legenda tombak Pusaka Kanjeng Kyai Upas berawal pada akhir pemerintahan Majapahit. Banyak punggawa kerajaan yang keluar dari pusat pemerintahan Majapahit, salah satunya Ki Wonoboyo yang membuka hutan di dekat Rawa Pening Ambarawa atau Ambahrawa yang merupakan wilayah Mataram. Pada suatu hari Ki Wonoboyo bermaksud mengadakan acara bersih desa. Banyak juru masak dan warga yang membantu dalam kegiatan tersebut. Ada salah satu juru masak perempuan yang menghadap Ki Wonoboyo dengan maksud untuk meminjam pisau. Ki Wonoboyo tidak berkeberatan untuk meminjamkan pisaunya dengan pesan agar tidak diletakkan di pangkuannya. Sudah takdir Sang Kuasa, perempuan juru masak tadi lupa akan pesan Ki Wonoboyo hingga meletakkan pisau tersebut di pangkuannya. Saat itulah terjadi kejaiban, pisau yang diletakkan di atas pangkuannya hilang dan masuk ke dalam perut perempuan itu hingga menyebabkan hamil.
Mengetahui kejadian tersebut, Ki Wonoboyo dalam hati merasa sedih dan malu karena juru masak tersebut hamil tanpa suami. Untuk mengurangi rasa sedih dan malu itu, akhirnya Ki Wonoboyo melakukan semedi di Puncak Gunung Merapi. Sampai akhirnya waktu kelahiran tiba, namun yang lahir bukan bayi manusia, melainkan seekor ular yang selanjutnya diberi nama Baru Klinthing.
Baru Klinthing tumbuh menjadi dewasa, hingga ingin menyusul ayahnya (Ki Wonoboyo, sesuai pesan beliau sebelum meninggalkan desa, jika anak juru masak nantinya menanyakan siapa ayahnya maka agar menyuruhnya untuk menjari Ki Wonoboyo di puncak Merapi dengan membawa lidi dari Ki Wonoboyo sebagai tandanya). Dalam perjalanannya, lidi tersebut hilang dan sampai akhirnya Baru Klinthing bertemu dengan Ki Wonoboyo di puncak Merapi. Karena Baru Klinthing tidak bisa menunjukkan lidi peninggalan Ki Wonoboyo, maka Ki Wonoboyo tidak mau mengakui Baru Klinthing. Namun Baru Klinthing tetap memaksa dan memohon untukĀ diakui sebagai putranya. Akhirnya Ki Wonoboyo mau mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya dengan syarat Baru Klinthing harus bisa melingkari puncak Merapi. Berkali-kali Baru Klinthing berusaha, namun tetap saja kurang sedikit. Akhirnya Baru Klinthing menyiasati dengan menjulurkan lidahnya. Mengetahui hal tersebut Ki Wonoboyo lantas memutus lidah Baru Klinthing dan seketika lidahnya jatuh ke tanah dan berubah menjadi Pusaka Tombak.
Baru Klinthing kemudian melarikan diri dan terjun ke laut Selatan. Keajaiban kembali terjadi, begitu Baru Klinthing terjun ke laut, hilang musnah bentuknya lalu muncullah sebatang kayu yang langsung dipakai olh Ki Wonoboyo untuk tempat tombak yang kemudian diberi nama Tombak Kanjeng Kyai Upas.
Sepeninggal Ki Wonoboyo, pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas diwariskan kepada putranya yang bernama Ki Ajar Mangir. Merasa memiliki pusaka yang ampuh, dia tidak mau tunduk kepada pemerintahan Mataram. Raja Mataram lantas memerintahkan Putri Pembayun, yaitu putri sulungnya untuk mencari kelemahan Ki Ajar Mangir dengan menjadi penari keliling.
Singkat cerita, Ki Ajar Mangir jatuh cinta kepada Putri Pembayun dan akhirnya menikah. Namun, Putri Pembayun tetap ingat akan tugasnya. Ia berhasil membawa Ki Ajar Mangir untuk menghadap Raja Mataram sebagai ayah mertua Ki Ajar Mangir dengan membawa Pusaka Tombak Kyai Upas. Namun karena menghadap raja, maka pusaka tidak boleh dibawa masuk keraton. Saat Ki Ajar Mangir sungkem di hadapan Raja Mataram, Raja Mataram langsung membenturkan kepala KI Ajar Mangir pada dhampar raja yang terbuat dari batu hingga meninggal dunia. Namun, keberadaan pusaka tersebut rupanya membawa bencana/musibah di kerajaan Mataram, sehingga pusaka tersebut diserahkan kepada salah satu putranya yang menjadi Adipati di Ngrawa (Kabupaten Tulungagung).
Tombak Kyai Upas menjadi pusaka piyandel Bupati Tulungagung secara turun temurun hingga saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya, Tombak Kanjeng Kyai Upas berhasil menyelamatkan Kabupaten Tulungagung dari serangan penjajah Belanda hingga tentara Belanda tidak bisa memasuki Kabupaten Tulungagung.
PERLENGKAPAN SIRAMAN/RITUAL
a. Ritual setiap hari Kamis.
1. Ayam panggang item mulus dua ekor
2. Satu ambengan apem yang berisi 28 biji
3. Dua buceng nasi gurih
4. Gantenan lengkap (untuk makan sirih)
5. Dua lirang pisang raja
6. Bunga melati yang dironce
7. Cuplak minyak jarak sebagai lampunya.
Barang-barang tersebut harus disajikan di dalam kamar oleh embannya. Pada waktu emban menyajikan sajen itu, lampu cuplak yang berisi minyak jarak harus dinyalakan dengan disertai membakar menyan (dupa). Pada sore harinya sajen diundurkan untuk dikendurikan.
Di samping itu pada tiap-tiap tahun, bertepatan pada hari Jumat antara tanggal 11 sam[pai 20 Suro selalu diadakan siraman. Untuk upacara siraman ini harus disediakan sajen-sajen seperti berikut.
1. Panggang ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul dan lain-lain (7 macam)
2. Bermacam-macam polo kependem (knolgewasen) antara lain kacang brol, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, ketela pohon, dan lain-lain.
3. Jenang sengkolo, bubur suran lengkap dengan lauk pauknya sebagaimana biasanya untuk selamatan suran.
4. Pisang raja ayu
5. Air dari tujuh sumber dan air laut yang digunakan untuk siraman pertama
6. Tebu dan janur
7. Macam-macam ikan sungai
8. Macam-macam jajanan pasar
9. Daging lembu 27 macam (27 potong)
Kira-kira jam 9.30 Jumat pagi, setelah pusaka tersebut dikeluarkan dari kamar pusaka, maka diiringi dengan gamelan monggang yang terus menerus sampai akhir siraman dan sampai pusaka tersebut dikembalikan ke kamar pusaka. Di samping itu diadakan pembacaan tahlil oleh para santri yang dilanjutkan dengan kenduri. Sedangkan yang bertugas melaksanakan siraman tersebut adalah Kyai Emban yang telah turun temurun. Sebagi penutup rangkaian upacara, pada malam harinya digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk
Kanjeng Kyai Upas adalah nama pusaka yang berbentuk tombak yang panjang bilahnya 35 cm, dan panjang landheyan atau tangkainya 5 meter. Pada pangkal bilahnya ada tulisan berwarna emas dari bahan emas dengan huruf Arab yang berbunyi ?Allah?. Kanjeng Kyai Upas diberi lurup atau ditutup berlapis-lapis dengan kain cindhe. Menurut legenda dan kepercayaan masyarakat pendukungnya, dinyatakan bahwa bilah Kanjeng Kyai Upas berasal dari lidah seekor ular naga dan landheyannya berasal dari badan seekor ular naga yang bernama Baru Klinthing. Pusaka Tombak Kanjeng Kyai Upas ini berasal dari Mataram yang dibawa Oleh Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat, putra dari Pangeran Noyokusumo di Pekalongan yang menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono II, ketika beliau menjadi Bupati Ngrowo yang sekarang dikenal dengan Tulungagung. Pusaka Kanjeng Kyai Upas dipelihara dengan baik oleh Bupati Ngrowo atau Tulungagung Raden Mas Pringgo Kusumo secara adat dan turun-temurun. Pusaka ini sumare ?ditempatkan? di Gedhong Pusaka di Dalem Kanjengan Kepatihan Kecamatan Kota Tulungagung, Kabupaten Tulungagung. Setiap hari Kamis oleh Kyai Emban diberi sesaji dan diberi lampu cuplak dengan minyak jarak dan sambil membakar kemenyan. Pada saat ini yang memelihara pusaka tersebut Bapak Raden Mas Indronoto, salah satu keturunan keluarga Raden Mas Pringgo Kusumo. Tujuan upacara adat jamasan pusaka tombak Kanjeng Kyai Upas adalah untuk pemeliharaan secara tradisional, sehingga diharapkan dengan pemeliharaan ini pusaka tombak Kyai Upas akan tetap ampuh, tidak rusak dapat melindungi masyarakat pendukungnya akan adanya gangguan atau bencana yang akan menimpanya. Secara logika sekarang bahwa dengan jamasan itu pusaka akan terpelihara tidak berkarat, tidak rusak, karena dibersihkan dan diolesi dengan warangan yang merupakan racun yang dapat mematikan bakteri perusak. Upacara adat jamasan Pusaka Kanjeng Kyai Upas di Tulungangung dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu bertepatan pada hari Jumat antara tanggal 11 sampai 20 bulan di Sura. Puncak upacara dilaksanakan pada hari Jumat dengan mengambil waktu pukul 09.00 ? 11.00 atau sebelum sholat Jumat. Tempat pelaksanaan jamasan Kanjeng Kyai Upas di Dalem Kanjengan, Kepatihan, Kecamatan Kota Tulungagung.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900996
Nama Karya Budaya :Jamasan Pusaka Kanjeng kyai Upas
Provinsi :Jawa Timur
Domain :Adat istiadat masyarakat,Ritus dan Perayaan perayaan
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda