I Nyoman Mandra, Pelestari Seni Lukis Kamasan Bali

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pelestari 2016. I Nyoman Mandra adalah ikon penting terkait dengan seni lukis klasik Kamasan, Bali. Ia adalah tokoh terkemuka dari mazhab lukis “klasik” Bali, seni rupa Desa Kamasan, Klungkung. Ia lahir di Dusun Banjar Sangging, Desa Kamasan, pada tahun 1946. Sejak umur dua tahun sudah ditinggal ayahnya, Wayan Kepeg, Undagi Sangging. Dan, pada umur 14 tahun sang ibu yang dikenal sebagai seorang pengrajin, Ketut Kireg, juga pergi meninggalkannya.

Mandra sendiri berasal dari keluarga seniman penting.  Seni lukis yang dikembangkan Mandra adalah seni lukis tradisi Kamasan berupa ragam seni bercorak khas, yang memiliki kedekatan dengan seni pertunjukan wayang kulit. Ikonografi figur-figur lukisannya kurang lebih sama dengan wayang dan banyak pakem pementasan wayang. Misalnya penempatan tokoh-tokoh di sisi kiri atau kanan gunungan (pohon atau batu) dalam adegan-adegan tertentu adalah pakem yang secara langsung dipinjam dari wayang. Figur-figur di sisi kanan adalah figur-figur positif, para pahlawan seperti Arjuna atau dewa-dewa seperti Siwa. Kepiawaian Nyoman Mandra sebagai seniman berasal dari keterampilan dan pengetahuannya yang luas serta mendalam tentang lakon wayang. Sumber cerita pokok untuk seni rupa Kamasan adalah adicerita India, yakni dari epos Ramayana dan Mahabharata.

Ketika kami—tim  verifikasi penghargaan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI—berkunjung  ke rumahnya, I Nyoman Mandra sedang jatuh sakit, Meskipun demikian, ia begitu bersemangat bercerita tentang masa lalunya ketika berjuang mengembangkan seni lukis Kamasan, mulai dari awal belajarnya sampai saat ini. Di depan pendopo rumah yang artistic, sambil ditemani secangkir teh hangat serta embusan angin sepoi-sepoi, kami mendengarkan kisah hidupnya.

new-picture-1Sejak berumur tiga tahun, I Nyoman Mandra sudah terbiasa coret-coret di tanah yang sudah disapu, di mana tempat ia coret-coret itu dekat dengan sang paman, Nyoman Dogol, yang memang seorang seniman lukis. I Nyoman Dogol sendiri adalah anak dari Wayan Santun dan Ni Wayan Rambug. Dari I Nyoman Dogol inilah I Nyoman Mandra banyak belajar melukis. Ketika mulai duduk di bangku SD ia mulai melukis di atas batu tulis. Dan  di kelas IV sudah melukis di atas kertas. Salah satu hasil lukisan di atas kertas berjudul “Ngaben” dipilih oleh guru untuk menghias dinding ruang sekolah mereka. Untuk mencari bekal sekolah ia memberanikan diri menerima pesanan dari salah seorang pengrajin, Ni Wayan Siplug, dengan menuangkan ekspresinya dalam bentuklukisan di atas topi bambu, kipas bambu, tas bambu, dan tempurung kelapa. Setelah duduk di SMP, kelas I, I Nyoman Mandra sudah bisa melukis di atas kanvas. Seperti halnya saat di SD, di sini pun lukisan dari kerja tangan I Nyoman Mandra dipilih oleh guru untuk menghias kantor. Setelah tamat dan tak bisa lanjut ia memilih terus untuk menekuni pekerjaan membuat sket. Pada tahun 1961 ia berkenalan dengan pelukis Peggy Anjas, dan Nyoman Dogol kemudian membantunya cara-cara melukis.

Saat Gunung Agung meletus dan tragedi 1965 terjadi, kedua peristiwa tersebut berpengaruh pada perkembangan seni lukis klasik Bali gaya Kamasan. Para pembeli pun sepi dan semakin menurun, menyebabkan banyak pengrajin yang beralih profesi. Hanya beberapa yang bertahan, salah satu di antaranya I Nyoman Mandra.

Pada tahun 1970 datang seorang antropolog dari Belanda, Stephen Clot, yang sebelumnya sudah berkeliling Desa Kamasan, bertanya-tanya; siapa pengrajin yang masih bekerja bagus. Ia sudah mendatangi art shop yang ada di daerah tersebut, akan tetapi baginya lukisan yang ada sekarang sudah semakin menurun kualitasnya. Sangat jauh mutunya dibandingkan lukisan-lukisan gaya Kamasan yang ada di museum-museum di Belanda, Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya.

Titik Balik

Menanggapi kritik tersebut, I Nyoman Mandra akhirnya berencana menghimpun anak-anak yang berbakat untuk dijadikannya murid agar seni lukis gaya Kamasan tidak hilang ditelan zaman dan mutu yang dihasilkannya pun senantiasa berkualitas tinggi. Sebagai langkah awal, ia mengumpulkan 10 orang anak yang putus sekolah untuk dijadikannya murid. Kegiatan ini dilaporkan oleh I Nyoman Tusan, Asisten II Bidang Kebudayaan Provinsi Bali, ke pemerintah pusat. Beberapa bulan kemudian, pada 11 November 1974, datanglah rombongan dari DIRKES yang diketuai Dani Swara Kusnadi memberikan bantuan insidentil senilai Rp 100.000 untuk membuat bangsal. Dengan sarana yang memadai anak-anak dapat belajar dengan tenang. Anak-anak yang berminat bertambah banyak. Untuk menambah prasarana yang lebih lengkap, dengan rekomendasi pemerintahan setempat, bantuan pun berdatangan dari bebagai sumber, salah satunya seperti dari Gubernur Bali Ida Bagus Mantra (1979.

new-picture-2Di tahun 1980-an, kunjungan wisatawan mancanegara ke Desa Kamasan semakin bertambah. Tak hanya wisatawan pada umumnya, lukisan gaya Kamasan juga menarik banyak universitas luar negeri untuk mempelajari lukisan gaya Kamasan ini, seperti dari Universitas Swedia, Colorado, Seattle, dan Sidney. Mereka mengirim puluhan  mahasiswanya untuk belajar lukisan gaya Kamasan. Dari dalam negeri sendiri, seperti dari ISI, STSI Bukittinggi, Universitas Trisakti Jakarta, Institut Teknologi Bandung, ISI Yogyakarta juga mengirim para mahasiswa mereka untuk mempelajari lukisan gaya Kamasan. Maka, dapat dikatakan bahwa periode 1980-1997 adalah periode normal, dan seni lukis gaya Kamasan mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat.

Pada waktu pemerintah mencanangkan Tahun Seni Budaya, I Nyoman Mandra mencoba mengarahkan anak-anak asuhnya ke seni tabuh untuk menghindari kejenuhan. Untuk dapat terlaksananya program ini, ia mencoba memohon bantuan kepada Dirjen Kebudayaan, yang waktu itu dijabat Edi Sedyawati. Permohonan disetujui, dan pada tahun 1988 dikucurkan dana bantuan untuk pembelian gong. Beberapa tahun berjalan, sampai anak-anak hasil didikannya mendapatkan kesempatan mengikuti  Festival Lomba Gong Kebyar Tahun 2006, dan berhasil meraih peringkat II.

Memang segala sesuatu ada pasang surutnya. Akibat tragedi Bom Bali I tahun 2002, kunjungan wisatawan mancanegara menurun drastis, yang berakibat menurun juga permintaan lukisan Kamasan. Meskipun begitu, semangat I Nyoman Mandra tidak mundur sedikit pun. Meski sepi pembeli, ia tetap berkarya, dan tetap serius melatih anak-anak untuk mempelajari seni lukis gaya Kamasan tersebut.

I Nyoman Mandra yang telah banyak ikut pameran di dalam negeri dan luar negeri ini mengaku tidak betah bila ikut pameran di luar negeri. “Di luar negeri dingin,” katanya ketika ikut pameran lukisan di Jerman, lalu buru-buru minta segera pulang ke Tanah Air. Untuk mengabadikan karya-karyanya, I Nyoman Mandra punya kebiasaan unik, yaitu menyimpan lukisannya tiap tahun minimal satu. Tidak semua dia jual. Ini sebagai warisan kepada anak cucunya nanti. Kini ia memiliki 75 buah lukisan yang tidak akan dijual, yang ia buat untuk koleksinya sendiri sejak tahun 1940-an.

new-picture-3Melihat kiprahnya yang begitu luas dalam bidang seni lukis tradisional Kamasan, tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan penghargaan kepada I Nyoman Mandra untuk Kategori Pelestari. Mengetahui bahwa dirinya diapresiasi begitu tinggi, ia berharap bahwa seni lukis gaya Kamasan ini dapat dilanjutkan kelak oleh anak cucuknya. Kita pun yakin harapan itu akan terwujud, mengingat begitu banyak muridnya yang mewarisi ilmu dan semangat I Nyoman Mandra. Apalagi, salah satu cucunya pun kini sudah mulai ikut mempelajari dan mempraktikkan seni lukis gaya Kamasan. Sebuah model pewarisan yang menjanjikan bahwa lukisan gaya Kamasan akan terus bertahan dan terpelihara dengan baik hingga jauh melintasi zaman.

Biodata

Nama               : I Nyoman Mandra

Lahir                : 1946, Desa Kamasan Klungkung.

Alamat            : Desa Kamasan Klungkung, Bali

Keahlian          : Seni Lukis Klasik Kamasan

Penghargaan

  • Penghargaan Kebudayaan 2016, Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
  • Penghargaan dari PSI Denpasar, Cincin Mataraja, 26 September 2014
  • Penghargaan dari Duta Besar Rusia tahun 2009
  • Penghargaan dari Duta Besar R.J. Belgia tahun 2008
  • Penghargaan (Lencana) dari Budpar tahun 2006
  • Penghargaan di Bali Aga, tahun 2003
  • Tanda Penghargaan Lempad Prize di Sanggar Dewata tahun 2000
  • Dharma Kusuma Penuh dari Pemda Bali tahun 1993
  • Tanda Penghargaan di Menlu RJ tahun 1992
  • Tanda Penghargaan dari Pemda Klungkung (Lencana Budaya), tahun 1986
  • Dharma Kusuma Madya dari Pemda Bali tahun 1979
Scroll to Top