Banyuwangi semakin populer bagi masyarakat Indonesia. Selain sejumlah destinasi wisatanya yang keren, budaya atau kearifan lokal di dalamnya juga menjadi perhatian masyarakat. Juga termasuk citra Banyuwangi sebagai kota santet.
Budayawan kawakan asli Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, memiliki keprihatinan yang dalam terhadap citra tanah kelahirannya itu. ’’Banyuwangi sebagai kota santet, sebagai pusat sihir, dan sebaginya, benar-benar membuat saya prihatin,’’ kata Hasnan.
Beragam cara dia lakukan untuk ’’memperbaiki’’ atau meluruskan citra kota Blambangan itu. Di antaranya adalah melalui tulisan atau buku. Seperti buku berjudul Kerudung Santet Gandrung yang dia tulis pada 2003, di dalamnya Hasnan membeber apa itu santet. Dan saat ditemui di kediaman di daerah Singodimayan, Hasnan yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor itu menceritakan secara panjang lebar tentang santet. Menurut pria kelahiran Banyuwangi, 17 Oktober 1931, ini, banyak orang menganggap santet itu sama dengan sihir. ’’Padahal beda,’’ tegasnya.
Hasnan menuturkan bahwa sihir adalah ilmu hitam yang tujuannya untuk mencelakaan orang. Bahkan bisa sampai untuk membunuh orang. Adapun santet tidak seperti itu. Santet bukan digunakan untuk membunuh orang. Sampai saat ini diakuinya masih banyak orang-orang di Banyuwangi yang memiliki keahlian santet.
Menurut Hasnan, santet lebih banyak digunakan untuk motif asmara. Misalnya ada seorang cowok yang menaksir cewek, tetapi dari pihak cewek tidak menerima bahkan mencemooh. Maka, si cowok tadi bisa minta tolong kepada ahli santet untuk melempar santet Jaran Goyang ke perempuan itu. Jika santet Jara Goyang itu berhasil, si perempuan tadi mendadak terpikat pada cowok yang sempat dia tolak bahkan dia cemooh. ’’Sekalipun, misalnya, si perempuan itu sudah punya suami,’’ jelas Hasnan.
Dia begitu antusias menceritakan soal santet di Banyuwangi. Contoh lain ada santet yang bisa membuat sebuah rumah tangga ribut terus. Ada masalah dikit saja, sudah jadi pemantik cekcok keluarga. Lalu ada juga santet yang dapat membuat seseorang tidak betah di dalam rumah. Selalu ingin keluar rumah, meski di rumah sudah ada anak, suami, atau istri. Menurut Hasnan, santet sudah menjadi kearifan lokal di Banyuwangi. Cukup sulit untuk bisa menghilangkan 100 persen santet di daerah ini. Yang perlu dilakukan adalah meluruskan pemahaman masyarakat bahwa santet itu bukan sihir.
Sebagai budayawan, Hasnan cukup produktif di bidang tulis-menulis. Selain menulis sedikitnya tujuh buku, dia juga aktif menulis cerita pendek, cerita bersambung, dan sejumlah artikel di media masa. Selepas menuntut ilmu di Gontor, sekitar tahun 1960-an, dia bergabung dan bekerja di koran Terompet Masyarakat, Surabaya.