Harun A Rahman: “Kabata” sebagai Identitas Manusia Tidore

0
3291

Sejak lima belas tahun lalu, Harun A Rahman telah memberikan hidupnya pada kabata, salah satu tradisi lisan Tidore dalam bentuk syair atau pantun yang dinyanyikan. Menulis syair- pantun kabata baginya detak hidup yang tak bisa dilewatkan dalam keseharianya.

Bagi Harun, kabata bukan sekadar seni tutur. Kabata adalah falsafah hidup, identitas manusia Tidore, Maluku Utara, yang harus membela yang benar dan bukan membela siapa-siapa, sebagaimana dipesankan para leluhur. Bersama syair-pantun kabata, Harun hadir dalam acara adat dan acara pemerintahanan. Melalui syair- syair kabata itu pula Harun menjaga ingatan masyarakat Tidore pada nilai-nilai luhur yang diamanatkan para leluhur dan tak sungkan memberi kritik pada pemerintah saat ini.

Kabata diwariskan oleh leluhur masyarakat Tidore dari generasi ke generasi. Tradisi lisan ini menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Tidore. Tema-tema dalam syair kabata membentang dari tema pujian kepada Yang Transenden, kebijakan terkait kebudayaan, kehidupan sehari-hari, hingga kritik kepada negara. Kabata dipertunjukan pada momen-momen istimewa, seperti syukuran saat panen tiba, musyawarah pemilihan Sultan Tidore, atau pada upacara kematian pemimpin adat. Kabata juga hadir dalam kehidupan pribadi masyarakat Tidore. Syair kabata dipercaya dapat memberi pemulihan pada keluarga-keluarga yang kesusahan dan orang sakit yang sulit disembuhkan secara medis.

Harun A Rahman berasal dari Desa Gura Bunga, sebuah desa adat yang terletak di pinggang Gunung Kie Matubu. Di desa adat ini, para sowohi atau penghubung antara pihak Kesultanan Tidore dengan roh para leluhur bertempat tinggal. Desa yang bermakna taman bunga ini adalah satu di antara 11 desa di Kota Tidore Kepulauan yang penduduknya masih menghidupkan tradisi lisan kabata

Harun mulai tertarik pada kabata sejak menjadi pengajar di SD, berawal dari kegemarannya menonton pertunjukan kabata. Setelah pertunjukan demi pertunjukan ia nikmati, Harun mulai menulis syair-syair yang dilantunkan pada kabata. “Sampai sekarang saya tidak bisa melalui hari tanpa menulis syair kabata,” tutur Harun sambil menunjukan nukilan syair-syair kabata yang diberi bingkai di dinding rumahnya.

Syair-syair itu ditulis dalam bahasa Arab dan Tidore. Harun menunjukkan syair terpanjang yang dipajang di belakang sofa yang bermakna pujian pada Sang Pencipta. Adapun syair yang dipajang di atas pintu rumahnya bermakna penyembuhan. Bukan hal mudah untuk menyusun syair-syair tersebut. Sebagian syair ditulis merujuk pada pakem yang diwarisi turun-temurun, seperti syair terkait pujian pada Yang Transenden dan kebijakan terkait kebudayaan. Sebagian syair bahkan dituntut lahir spontan, mengikuti suasana dan maksud dari pertunjukan digelar.

Setelah menekuni syair-syair kabata, Harun terlibat dalam pertunjukan. Ia bergabung dengan kelompok kabata di Desa Gura Bunga. Kabata memang tidak dapat dimainkan seorang diri. Dalam satu kelompok kabata dibutuhkan 8-10 orang. Biasanya, ketika kabata dipergelarkan, mereka duduk berpasangan sembari berbalas pantun secara selaras sambil memainkan musik dari lesung dan alu. Kabata dimainkan oleh lebih dari satu kelompok. Kelompok pertama akan menyampaikan dua bait pantun yang akan dibalas oleh kelompok yang lain. Kekompakan, kemampuan spontanitas, keindahan bahasa, kemerduan suara, kedalaman dan penghayatan pada syair merupakan seni yang pilin-memilin dalam pertunjukan kabata. Keandalan Harun dan kelompoknya dikenal di Tidore. Tak heran bila mereka sering diundang dalam setiap pertunjukan kabata.

Harun juga memenuhi udangan menjadi juri perlombaan kabata. Menurutnya, menjadi juri membutuhkan ketekunan tersendiri. Sedikitnya, ia harus memberikan penilaian bahasa yang digunakan peserta dalam syair, apakah bahasanya tepat dan indah.

Kemudian kekompakan gerak dan suara, termasuk juga apakah suara pelantunnya tepat dan merdu atau masih ada yang sumbang. Namun, penilaian yang utama ada pada penghayatan peserta terhadap syair yang mereka lantunkan.

Penghayatan para pemain kabata memang menjadi bagian terbesar dari keprihatinan Harun. Kabata sebagai pertunjukan berbalas pantun dan bermain musik lesung masih mudah ditemui di Tidore, tetapi pemain yang menghayati syairnya tidak mudah ditemui. Kabata sejatinya memang bukan sekadar seni pertunjukan. Kabata sarat dengan pewarisan nilai-nilai hidup dari leluhur.

Salah satu nilai yang diajarkan adalah pembelaan pada kebenaran. “Syair atau pantun dalam kabata berpesan bahwa leluhur tidak pernah membela siapa-siapa, melainkan membela pada yang benar,” tegas Harun. Mengenai perjumpaan seni kabata dengan ajaran Islam, Harun menjelaskan melalui syair kabata yang dipesankan leluhur, yang dalam bahasa Indonesia dapat disampaikan berikut: “Beduk berbunyi di rumah adat jangan halangi bedug di mesjid”. Maknanya, dalam hal berkebudayaan—menjalankan kabata—mesti sejalan dan sejalin dengan agama Islam. Menurut Harun, kebudayaan kabata sendiri lahir atas kehendak-Nya. Ber-kabata, bagi Harun adalah juga dikrullah—mengingat dan berserah diri pada kehendak Allah. “Kita mesti jaga kabata sambil mengingat-Nya karena kebudayaan tanpa mengingat-Nya dapat menjadi syirik,” demikian Harun menjelaskan.

Keindahan dan kedalaman dari nilai-nilai seni kabata itu juga yang mendorong Harun untuk mengabdikan hidupnya pada kabata. Selain itu, ia merasakan khasiat kabata bagi keharmonian hidupnya, juga bagi masyarakat dan kehidupan bernegara di Tidore. Dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, sudah ratusan keluarga yang datang menemuinya guna menikmati syair-syair kabata yang ia lantunkan untuk penyembuhan. Dalam kehidupan sosial, kabata hadir di setiap musim panen tiba. Dalam pemilihan Sultan Tidore, syair kabata pun turut hadir dalam musyawarah pemilihan. Kabata juga hadir menjadi media kritik kepada pemerintah untuk perbaikan layanan publik atau masalah lain yang sedang dihadapi masyarakat. Gerak politik di Tidore memang tak lepas dari dukungan akar budayanya.

Kabata, menurut Harun, adalah manusia dan masyarakat Tidore itu sendiri. Karena itu, ia juga ikhlas menghabiskan waktunya untuk mengajarkan dan mewariskan tradisi lisan itu kepada generasi muda. Ia ingin mewujudkna generasi penerus yang tak hanya pandai bersyair, tetapi benar-benar menghayati falsafah kabata sebagai jalan hidup, sebagai identitas manusia Tidore. Atas penghargaan sebagai Maestro Seni Tradisi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Harun menanggapi, “Karena kehendak-Nya saya mendapatkan penghargaan ini. Nikmat ber-kabata, nikmat menerima penghargaan ini juga atas kehendak-Nya.” Harun juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah. Penghargaan ini baginya juga adalah dorongan untuk semakin telaten mewariskan seni tutur tradisi ini kepada generasi saat ini.

Di akhir perbincangan laki-laki pensiunan kepala SD berusia 68 tahun ini berpesan kepada generasi muda, khususnya anak cucuk Tidore, agar mau belajar dan melestarikan kabata hingga penerusnya merasakan khasiat dan makna dari falsafah kabata. “Guraci fu ige karabanga foban fonga [maknanya, guraci (emas) ini penuh khasiat], bukan hanya dilihat dari bentuknya sebagai emas tetapi isinya yang penuh makna. Mudah-mudahan anak-cucu terpanggil untuk mempelajarinya, sehingga akan terwujud makna yang terkandung dalam emas (kabata) ini.”