Kain atau wastra tradisional merupakan salah satu unsur pembangun kemandirian ekonomi perempuan adat. Tidak hanya itu, kain tradisional menjadi media penyalur pengetahuan, budaya, dan seni antar perempuan adat lintas generasi. Kain tradisional juga punya peran utama dalam berbagai kegiatan adat. Oleh karena itu kain dan produk kebudayaan lain membutuhkan pelindungan dan juga inovasi untuk membuatnya dapat bersaing tanpa menghilangkan autensititasnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Majelis Umum pada 23 Desember 1994 menetapkan 9 Agustus sebagai HIMAS untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di dunia. Acara ini juga untuk mengakui prestasi dan kontribusi masyarakat adat pada berbagai warisan budaya yang ada di Indonesia, salah satunya adalah kain tradisional.
Upaya pelindungan kain tradisional dan produk kebudayaan lain disuarakan dalam peringatan tahunan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) setiap 9 Agustus. Tahun ini perayaan HIMAS bertepatan dengan Peringatan Satu Dekade (10 tahun) Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang turut mengadopsi Deklarasi tersebut.
Pada perayaan HIMAS 2017 yang memiliki tema “Peringatan 10 Tahun Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat”, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komnas HAM menggelar kegiatan Parade Kain Nusantara dan Bincang-bincang Santai dengan tema “Pengelolaan Kain Tradisional” pada hari minggu tanggal 27 Agustus 2017. Perayaan bersama ini merupakan bagian dari komitmen Kemendikbud untuk bekerjasama dengan Masyarakat Adat melalui AMAN untuk melakukan upaya pelindungan terhadap kain tradisional dan produk kebudayaan lainnya di Indonesia.
Menurut AMAN, kain sebagai warisan tradisional mencerminkan identitas dari setiap komunitas masyarakat adat, tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Semua memiliki keunikan tersendiri yang erat kaitannya dengan alam, lingkungan, adat istiadat dan budaya dari komunitas yang bersangkutan, sehingga pelindungan terhadap kain tradisional merupakan pelindungan terhadap identitas suatu bangsa.
Hal ini pun diperkuat oleh Komnas HAM yang mengatakan bahwa betapa eratnya hubungan kain dengan HAM. Deklarasi HAM PBB Pasal 27 menyatakan “Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan”. Berdasarkan kenyataan ini, maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya pelindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak warga negara yang menjamin penikmatan setiap orang dalam bidang kebudayaan. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 32 Negara wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu dalam rangka menjamin kebhinnekaan/keragaman budaya di Indonesia, negara wajib melindungi keragaman ini sebagai nilai-nilai yang menjadi akar bagi identitas bangsa, berusaha agar tidak ada budaya tertentu yang mendominasi budaya lain untuk melakukan penyeragaman. Deklarasi UNESCO (on Race and Racial Prejudice 1978) bahkan menempatkan perbedaan-perbedaan budaya sebagai keharusan yang harus dihormati. “Setiap orang dan kelompok berhak untuk berbeda, melihat dirinya secara berbeda dan menganggap dirinya berbeda”.
Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia, yakni Hak Sipil Politik (tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2005) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya (UU No. 11 Tahun 2005). Pasal 27 UU No, 12 Tahun 2005 menegaskan penghormatan dan pelindungan kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa… Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri. Dalam kaitan ini, negara juga harus menjamin identitas kebudayaan yang beragam di masyarakat untuk dihormati satu sama lain tanpa diskriminasi dan mencegah proses penyeragaman dan purifikasi.
Dalam konteks pembangunan, keragaman budaya harus dipahami sebagai faktor-faktor pembangunan. Kebudayaan harus menjadi jantung pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan tidak semata dipahami sebagai capaian dalam pertumbuhan ekonomi, akan tetapi pembangunan harus juga dipahami sebagai pencapaian bagi kepuasan intelektual, moral, dan etis. Pembangunan seperti ini harus mempertimbangkan penikmatan hak-hak sipil politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan tidak hanya bagi satu generasi namun juga bagi generasi-generasi berikutnya. Negara harus melindungi kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat adat yang melihat satuan teritori mereka sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dengan kebudayaan sistem keyakinan mereka. Negara harus melindungi mereka dari praktik kapitalisme yang merusak lingkungan dan menjadikan tanah dan teritori masyarakat adat semata sebagai komoditas ekonomi.
Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan telah menetapkan sebanyak 444 Warisan Budaya Takbenda (WBtb) Indonesia, 30 diantaranya adalah kain tradisional Indonesia. Upaya pelindungan juga melibatkan pemangku kebijakan lain seperti Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah Daerah dan terutama komunitas pemilik kebudayaan tersebut. Pelestarian Kain Tradisional ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah terutama Kemdikbud semata, tetapi merupakan tanggungjawab bersama yang melibatkan Kementerian/Lembaga/Badan Negara untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran. Pelindungan di bagian hulu dapat dilakukan oleh Kemdikbud bekerjasama dengan Kementerian KumHAM, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk memastikan ketersediaan bahan baku dan hak atas wilayah adat. Di hilir, pelestarian kain tradisional ini melibatkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pariwisata yang menyiapkan pasar, serta Kementerian Perindustrian, Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengembangkan kain tradisional. Selain Pemerintah, pelestarian kain tradisional perlu melibatkan BUMN dan Swasta melalui CSR mereka.
Kemendikbud, Komnas HAM dan AMAN memperingati HIMAS 2017 dengan menggelar Parade Kain Nusantara di arena Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) dan Bincang-bincang santai dengan tema Pengelolaan Kain Tradisional di Museum Nasional pada 27 Agustus 2017. Acara Pengelolaan Kain Tradisional bertujuan untuk mensinergikan program Ditjenbud yang akan melibatkan para pemangku kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan kain tradisional, diantaranya pelaku usaha kain tradisional, Kementerian/Lembaga/ Badan Negara, sektor swasta dan konsumen