Laut adalah tujuan biru menurut Chairil Anwar. Biru adalah warna yang menggambarkan sesuatu yang jauh, katanya. Seperti gunung tinggi dan langit luas, maka biru adalah ruang yang tak terjangkau. Demikianlah, sebelum peralatan navigasi modern ditemukan, maka batas laut hanyalah ombak yang memenuhi cakrawala. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita temui di seberang sana, selain tujuan biru.
Sajak “Menuju ke Laut” karya Sultak Takdir Alisjahbana juga dimulai dengan gambaran sebuah perjalanan meninggalkan masa lalu. Sajak yang dimulai dengan frasa “kami telah meninggalkan engkau” itu memperlihatkan bahwa laut adalah tujuan baru di masa depan yang harus ditempuh, dengan meninggalkan hidup di “tenang tasik yang tiada beriak”. Ketenteraman hidup di dalam adat istiadat yang menina-bobokan kini berganti kehidupan baru yang lebih dinamis di laut sana. Laut menjelma masa depan, meninggalkan darat dan teluk tenang jauh di belakang.
Amsal Friedrich Wilhelm Nietzche berjudul Dalam Horison Ketidakterbatasan: “Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita, dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia tidak terbatas,” menggambarkan laut sebagai masa depan penuh kemungkinan meski tak selalu menjanjikan ketenangan dan kelembutan sutera. Laut adalah dunia baru kita katanya.
Nyatalah, laut adalah masa depan. Cakrawala harapan dan kebebasan tanpa batas. Keluasan tanp akhir, kedalaman tak terjelajahi. Demikianlah para filsuf dan penyair menjadikan laut metafora bagi dunia masa depan, wujud segala peluang dan kemungkinan. Sebuah antitesa dari daratan dan teluk yang digambarkan sebagai ketenteraman purba yang kadaluwarsa, yang menjerat kaki hingga enggan beranjak menuju dunia baru yang lebih dinamis dan menjanjikan. Dan laut, sekali lagi, menjelma harapan baru yang segera melemparkan daratan ke masa silam.
Jika laut masa depan, kenapa di kehidupan kita hari ini terjadi sebaliknya? Bagi kita kedigjayaan bangsa di laut ribuan tahun lalu tak meninggalkam jejak apapun selain sebagai sejarah yang dihapalkan di sekolah. Anak-anak hapal cerita keberanian pelaut bugis menjelajahi separuh dunia, dari Paskah hingga Madagaskar, dengan perahu cadik. Mereka juga tahu dulu Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi penguasa laut. Setelah itu? Sebagaimana pelajaran yang dihapal dan diulang-ulang, laut hadir dalam wacana namun absen dalam praktek.
Tak cuma itu, bahkan laut menjadi sebuah keterbelakangan dari hidup modern kita yang lain. Bayangan kita tentang laut disergap potret kekumuhan dan kemiskinan pemukiman nelayan. Yang lebih menyedihkan, kita pun terjangkit virus orientalisme saat memandang kearifan hidup masyarakat bahari di Mandar dan suku Bajo sebagai bentuk kehidupan primitif. Ditulis dan dibanggakan karena terlihat eksotik, dijadikan tontonan dan atraksi pariwisata, dan kemudian tinggal sebagai obyek belas kasihan.
Laut kini Cuma jadi sejarah. Lalu apa manfaat laut sebagai obyek sejarah buat kita? Kebanggaan untuk dikenang? Kenangan tidak menyejahterahkan. Kebanggaan tidak mengenyahkan perut lapar. Dengarkan petuah pemikir postmodern Edward Soja dalam bukunga “Postmodern Geographies” yang mengatakan: buat manusia modern kesadaran ruang (geografis) jauh lebih penting dibandung kesadaran waktu (sejarah). Kita menangkap maksud Soja dengan jelas: lihat manfaat ruang geografis laut ketimbang manfaat sejarahnya!
Jika manfaat geografis laut menjadi orientasi masa depan, tinggalkan ilmu sejarah sejenak dan masri masuk ke disiplin geografi, yaitu geopolitik. Geopolitik adalah sebuah kesadaran konsepsi ruang dalam kehidupan politik. Kesadaran pentingnya ruang geografis untuk dimanfaatkan bagi kepentingan politik. Pakar geopolitik Andrew Gyorgy mengatakan, “setiap bangsa memiliki konsepsi ruang, yakni ide tentang batas-batas kekuasaan teritorialnya masing-masing. Hancurnya sebuah bangsa adalah hasil dari diabaikannya konsepsi tentang ruang itu.”
Wilayah suatu negara adalah modal yang harus didayagunakan demi mendukung kehidupan bangsa. Kemajuan teknologi, menyusutnya sumber daya alam, dan pertambahan penduduk menjadikan dunia relatif makin sempit. Tiap bangsa harus mengoptimalkan wilayahnya sebagai ruang hidup demi mendukung kebutuhan. Laut pilihan masa kini untuk kebutuhan itu. Tentu ini bukan ajakan untuk menjadikan laut sebagai obyek eksploitasi baru setelah daratan dikuras habis-habisan. Laut harus menjadi sumber kehidupan baru sekaligus inspirasi buat konservasi.
Perang dunia telah berakhir, bahaya ekspansi negar alain mulai mengecil kemungkinannya. Konsepsi geopolitik pun harus segera diubah dari yang selama ini cenderung defensif, dan lebih memusatkan perhatian pada upaya pertahanan kedaulatan dari serangan luar, harus digeser menjadi aktifitas kreatif yang mampu memaksimalkan potensi laut buat kesejahteraan. Laut harus dilihat sebagai peluang, sebagia potensi, ketimbang rintangan. Untuk itu perlu dilakukan reinterpretasi dan reorientasi terhadap doktrin wawasan nusantara yang kita miliki.
Geopolitik abad 21 tidak lagi berfokus pada strategi perluasan kekuasaan dan kolonisasi wilayah fisik seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kolonial puluhan tahun lalu. Globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi menyebabkan praktek-praktek peningkatan power sebuah negara melalui perluasan wilayah koloninya berubah dan bergeser menjadi peningkatan power melalui praktek-praktek Geoekonomi dan Geokultural. Makin jelas betapa yang politis telah bergeser menjadi ekonomi dan budaya.
Dengan tidak mengecilkan arti budaya bahari yang masih hidup dan berlangsung hingga kini, tampaknya harus dikembangkan budaya bahari baru yang jauh berbeda, karena tantangan baru yang lebih kompleks. Buka lapangan kerja baru berbasis pengelolaan sumber daya laut; bangun infrastruktur laut;kembangkan sekolah-sekolah tinggi, sains dan teknologi kelautan; dan yang juga penting sosialisasikan kebiasaan makan hasil laut. Intinya adalah menjadikan laut sebagai basis produksi baru. (Andre Donas)
Sumber:
Donas, Andre. 2014. Warisan Kita Ed.02. Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya: Jakarta