Gustaf Bame: Menjaga Sungai dengan Mantra

0
754
Bafit om oo, Batoho oo, Maria, Pilipus, Uon Afu oo, Nma o, Nri boo, Rae mek tak oo…, Mgias boo, Nama, Nerif bo, Ro mhof, Befek wer misuok, Su aeoo… (Arwah dari Balifo om, Hewa Batoho, Maria, Pilipus, Uon Afu, Mari datang, jagalah sungai kita, tunjukkan hal-hal baik. Beri kami ikan yang banyak. Udang yang banyak. Jauhkan kami dari kematian tak wajar, jatuh ke dalam sungai, dipagut ular…)

Dengan vokalnya yang khas, Gustaf Bame (75), lelaki berkulit hitam dengan mengenakan ikat kepala dari manik-manik berhiaskan bulu Cenderawasih, membacakan mantra ritual “Hamamos” di tepi Sungai Auk di Mare yang dijaganya. Ia memanggil Fre atau semua roh leluhur maupun yang masih hidup, untuk diminta bantuannya agar sungai tetap sejahtera dan menyejahterakan warga. Pada acara adat ini, semua warga hadir bersuka cita.

Gustaf Bame buka orang sembarangan. Di antara sekian ratus penjaga Sungai Auk sepanjang 250-an kilometer, yang membentang dari Ayawasi di Kabupaten Maybrat hingga Kalbra di Kabupaten Sorong, ia senior dan konsisten. Sejak kecil telah diajak orang tuanya untuk menjaga sungai itu. Setelah orang tuanya meninggal, ia melanjutkan tugas adat menjaga dan “memberi makan” Sungai Auk terutama pada kilometer 28 hingga kilometer 30 itu samapai sekarang.

Berbekal “sertifikat alam”, ia kuasai semua mantra warisan leluhur, yang diperlukan untuk menjaga sungai dengan segala tata cara, termasuk sesaji dan pantangan-pantangan untuk diri sendiri maupun warga. Mantra “Hamamos” di bagian awal tulisan ini termasuk salah satu yang sakral. Ada pula “Wabur”, yaitu doa memanggil ikan pada waktu mau mancing, dengan sara dedaunan dan lumut. Juga mantra “Mvo-Efo”, yaitu doa untuk memperoleh ikan dengan cara dituba.

Gustaf mengenyam pendidikan Zending (Belanda) hingga kelas II sekolah rakyat (sekarang SD) di Rufa. Ia suka bermain musik, terutama meniup seruling. Selain tampil di gereja, juga pada acara-acara perayaan Papua dan peringatan Kemerdekaan RI. Di masa muda, pernah membantu dokter Belanda melakukan pelayanan di daerahnya. Juga pernah menjadi Kepala Kampung Seya selama 39 tahun (1969 – 2008).

Selama dia menjadi kepala kampung, maupun sesudah ia pensiun, tugas sebagai penjaga Sungai Auk di Seya (berjarak lebih dari 170km dari Kota Sorong) tetap ia lakukan dengan penuh tanggung jawab dan setulus hati.

Sungai Auk yang lebar dan berair jernih, dalam perjalanan dari mata air menuju muara membelah banyak perkampungan, permukiman, sawah ladang, hingga hutan. Menurut sebuah sumber, dulu air Sungai Auk bisa diminum secara langsung. Tapi kini, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan demi mengejar kesejahteraan hidup sesuai kemajuan zaman, sejak tahun 2000 airnya tak lagi bisa diminum langsung. Di situ letak masalahnya, mantra-mantra Gustaf, bersama kawan-kawannya sesama penjaga Sungai Auk, menghadapi realitas (baca: pencemaran lingkungan) ini.

Saat ditemui di Papua Barat, akhir Agustus 2019, ayah lima anak ini berpesan dengan sungguh-sungguh agar jangan merusak lingkungan Sungai Auk. Bahkan mengajak semua orang untuk menjaganya. Sebab di sama ada macam-macam pohon dan buah-buahan yang menghidupi warga. “Sungai Auk ini untuk anak cucu kita hari ini dan yang akan datang. Kalau kalian rusak lingkungan sungai ini, akan matilah anak cucu kita nanti,” tuturnya.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah 2019