Dawet Camcau Yogyakarta

Dawet merupakan minuman tradisional Indonesia yang sudah terkenal luas di seluruh lapisan masyarakat. Di daerah Jawa berkembang berbagai macam riwayat dawet. Contohnya, di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Pati memiliki riwayat nama dari minuman dawet. Alkisah pada era Majapahit, terdapat tiga kerajaan yang berkuasa, yaitu Carangsoka, Paranggaruda, dan Majasem. Menurut cerita Raden Kembangjaya kala itu sedang membangung pusat pengawasan di daerah perbatasan Carangsoka dengan Paranggaruda. Raden Kembangjaya membutuhkan bala tentara yang lebih banyak. Di daerah itu, ada penjual minuman dawet, bernama Ki Sagola yang menyediakan minuman bagi para pekerja. Raden Kembangjaya tertarik dengan cita rasa minuman dawet yang segar, Ki Sagola mengatakan bahwa santan lah yang membuat minuman dawet terasa segar. Sejak saat itu, Raden Kembangjaya memberi nama tempat itu Kadipaten Pesantenan. Sedangkan di Jawa Timur berkembang riwayat dawet Jabung, Ponorogo. Alkisah Warog Suromenggolo mendapatkan kekuatan dan mampu berperang kembali kala berperang melawan Raja Majapahit. Kemudian Warog Suromenggolo mengucapkan kata-kata sakti bahwa masyarakat desa Jabung yang berjualan dawet akan menjadi sejahtera di kemudian hari.

Sedangkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dawet berkembang dengan cirri khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain, yaitu adanya camcau yang berasal dari ekstrak daun Cyclea barbata. Dawet camcau merupakan minuman campuran cairan dan padatan. Cairannya terdiri dari santan yang berasal dari ekstrak daging buah kelapa yang diparut dan cairan kedua adalah sirup gula kelapa atau gula aren. Sedangkan padatannya yang bernama cendol berasal dari tepung, seperti tepung beras, tepung tapioka, dan tepung garut. Di Yogyakarta juga terdapat Kota Yogyakarta cendol yang terbuat dari tepung ganyong. Cendol tepung ganyong banyak dijumpai di daerah Gunung Kidul yang merupakan industri rumahan cendol. Untuk menambah daya tarik dawet asli Yogyakarta, cendolnya diberi pewarna alami daun suji untuk warna hijau, atau dengan pewarna makanan untuk warna merah. Dengan kombinasi cendol warna-warni dan camcau, dawet camcau menjadi khas dan asli dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dawet camcau khas Yogyakarta sangat mudah dalam proses pembuatannya. Seluruh bahan dawet camcau merupakan bahan asli Indonesia dan mudah ditemukan di Yogyakarta. Selain itu, dawet camcau tidak hanya menawarkan kesegaran bagi peminumnya tetapi juga memberikan nilai gizi karena setiap bahan dawet camcau mengandung nilai gizi yang baik bagi kesehatan. Sebut saja, camcau yang menjadi ciri khas dawet Yogyakarta mengandung pektin. Pektin merupakan serat pangan yang mudah difermentasi oleh mikroflora dalam usus sehingga camcau baik bagi kesehatan dan memiliki khasiat anti diare.

Dawet camcau sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, terbukti dari berbagai macam ritual dan tradisi yang menggunakan dawet camcau sebagai salah satu hidangannya. Contohnya dawet camcau dalam upacara brokohan atau kelahiran sebagai simbol kelincahan sang bayi menyesuaikan dengan kondisi baru alam sekitarnya. Selanjutnya rangkaian upacara pernikahan terdapat prosesi dodol dawet yang dilakukan oleh orangtua calon pengantin wanita. Selanjutnya ada upacara memperingati tujuh bulan kehamilan atau mitoni dan juga dawet plencing yang hadir kala usia kehamilan lebih dari 9 bulan namun sang ibu belum merasakan tanda-tanda kelahiran. Selain ritual terkait daur hidup, dawet camcau juga dihidangkan pada tanggal dua puluh satu bulan Ramadhan (selikuran) ataupun menjadi suguhan bagi para tetamu dalam berbagai macam hajatan.

Dawet camcau hadir dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, tanpa mengenal batasan, baik dari anak-anak, kaum remaja, dewasa hingga orang tua. Sejak tahun 1950 – 1970, penjual dawet umumnya adalah seorang wanita yang menggendong bakul kecil dengan sebuah kuali. Ibu penjual dawet menjajakan dagangannya di dalam pasar maupun berkeliling kampung. Tidak ketinggalan para kaum laki-laki juga menjual dawet dengan pikulan, yaitu satu set alat terbuat dari bamboo untuk memikul dua buah kuali berisi cendol dan camcau. Semua peralatan yang digunakan adalah kerajinan khas Yogyakarta, seperti anyaman bambu khas Kabupaten Sleman dan Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, atau gerabah tanah liat dari Kasongan. Hal ini juga menjadi bukti bahwa penjualan dawet camcau mendukung perekonomian masyarakat pedesaan.

Di Yogyakarta, keberadaan dawet camcau sudah ada sejak dahulu kala kira-kira seabad yang lalu juga dibuktikan dari penjual dawet camcau lintas generasi. Salah satunya adalah penjual dawet camcau khas Yogyakarta, Ibu Ponirah (48 tahun) yang berjualan di Pasar Kotagede, dahulunya daerah ini merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Ibu Ponirah merupakan generasi ketiga setelah nenek dan ibunya yang sudah berjualan dawet camcau terlebih dahulu. Ibu dari Ibu Ponirah sudah berjualan dawet camcau selama lebih dari 65 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa dawet camcau sudah melekat dengan masyarakat Yogyakarta sejak jaman dahulu kala. Selain itu di Pasar Bringharjo yang berdiri bersamaan dengan Keraton Yogyakarta, terdapat beberapa penjual dawet camcau. Salah satunya Ibu Yati yang telah berjualan di Pasar Bringharjo sejak tahun 1975. Ibu Yati juga meneruskan usaha dawet camcau ibunya. Usaha dawet camcau sudah lintas generasi dan membuktikan bahwa keberadaan dawet camcau sejak dahulu kala membantu perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Terlebih sejak tahun 1980, pariwisata Yogyakarta semakin meningkat dengan pesat membuat semakin maraknya penjual dawet camcau gerobak yang setia menunggu para wisatawan menikmati nikmatnya dawet camcau sekaligus memberikan energi bagi peminumnya.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa dawet camcau merupakan minuman asli Yogyakarta dan diusulkan menjadi warisan budaya tak benda makananan khas Yogyakarta agar terus menjaga eksistensi minuman dawet camcau yang manis dan menyegarkan.

 

 

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201900955

Nama Karya Budaya :Dawet Camcau Yogyakarta

Provinsi :DI Yogyakarta

Domain :Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda

Scroll to Top