Cingcowong (1)

0
785

Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing dalam Kamus Bahasa Indonesia-Sunda, Sunda-Indonesia memiliki arti yang sama dari kata cik, yang berarti coba dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti biasa berbicara keras. Jadi dari segi bahasa Cingcowong memiliki arti biasa berbicara keras. Cingcowong berasal dari kata “cing” yang berarti “teguh” (dalam bahasa Indonesia artinya ‘terka’) dan “cowong”  merupakan kependekan dari kata  “wong” yang dalam bahasa Jawa berarti ‘orang’. Maka dengan demikian jika disatukan kata “cingcowong” tersebut memiliki arti: ” coba terka siapa orang ini”.   Mengapa dinamakan demikian?  karena bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat  Desa Luragung merupakan campuran antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda karena desa ini merupakan desa terujung di Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan kabupaten Brebes di Jawa Tengah.

Peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya upacara ini adalah terjadinya kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan sehingga berdampak kepada penghasilan masyarakat yang mayoritas adalah petani. Hal ini sesuai dengan cerita yang dituturkan Nawita dan cerita lisan masyarakat Luragung pada umumnya bahwa kehadiran Cingcowong disebabkan oleh suatu keadaan yang mendesak dan darurat. Pada masa lalu di daerah Luragung terjadi kemarau yang panjang sehingga para petani menjadi resah. Sawah dan ladang para petani banyak yang gagal panen akibat dilanda kekeringan.

Pada situasi sulit tersebut, Rantasih yang merupakan leluhur Nawita mengajak kepada masyarakat sekitar untuk berusaha mengatasi keadaan yang dialami. Ia kemudian mengajak masyarakat untuk mencari sumber mata air, tetapi usahanya gagal karena masyarakat yang sudah terlanjur putus asa tidak bersedia memenuhi ajakannya. Dalam keadaan demikian Rantasih tidak berputus asa, ia tetap berupaya agar masyarakat mau mengikuti ajakannya, ia mempunyai keyakinan bahwa  hujan akan cepat turun.

Pada saat Rantasih mengalami kesulitan mengumpulkan masyarakat untuk bersama-sama berdoa, muncul gagasan untuk memukul ceneng berulang kali hingga masyarakat berkumpul. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil, ia kemudian menyampaikan petunjuk yang datang pada saat tirakat, yaitu dengan cara tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama tiga hari tiga malam, bahwa cara meminta hujan adalah dengan melakukan upacara ritual melalui media cingcowong.

 

Upacara ini dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh. Punduh adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan khusus di bidang agama atau kepercayaan setempat yang diperolehnya karena inisiatif sendiri, dan dianggap memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural. Sejak tahun 1981 sampai sekarang, upacara Cingcowong dikelola Nawita, cucu dari Rasih dan merupakan generasi keempat. Proses pewarisan punduh Cingcowong dilakukan secara turun temurun. Menurut Nawita, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau telah direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau atas dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan mantera pemanggil hujan serta tata cara pemangggilan hujan. Calon punduh tersebut juga diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia dibekali dengan kemampuan menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.

Pertunjukan Cingcowong dipagelarkan oleh 6 orang yang memiliki tugas masing-masing, diantaranya: Punduh Ibu Nawita, beliau adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, Punduh merupakan pemimpin upacara Cingcowong yang dengan kemampuannya dipercaya masyarakat setempat dapat mendatangkan hujan melalui perantara boneka Cingcowong. Pembantu punduh yaitu Hj. Itit dan Nining Waskini mereka bertugas membantu punduh Nawita dalam memegang boneka cingcowong. Ibu warsinah memainkan alat musik berupa  ‘buyung’, yang biasa dipakai sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat. Ibu Kaseh memainkan alat musik berupa ‘bokor’ atau ‘ceneng’ yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat dari bahan tembaga/kuningan. Ibu Wartinah berperan sebagai Sinden.

Sedangkan peralatan yang biasa dipergunakan untuk upacara yaitu :

1) Taraje atau tangga yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk membawa atau menyambut turunya arwah lelembut atau dalam peribahasa untuk menyambut turunnya bidadari.

2) Samak atau tikar yang terbuat dari anyaman pandan, yang berfungsi sebagai alas tempat duduk pagelaran tersebut.

3) Sisir dipergunakan untuk menata rambut boneka Cingcowong pada saat upacara berlangsung. 

4) Cermin yang difungsikan sebagai alat bagi punduh untuk memperlihatkan bentuk dan raut wajah boneka Cingcowong kepada para bidadari yang akan memasuki tubuh boneka Cingcowong. 

5) Bunga kamboja yang dicampur dengan air yang dipergunakan sebagai saweran pada sesi terakhir upacara Cingcowong. Saweran bunga kamboja dengan air ini ditujukan sebagai media pemancin g turunnya hujan.

6) Boneka Cingcowong yang terbuat dari batok kelapa yang dilukis menjadi Putri cantik dengan badan terbuat dari rangkaian bambu yang diberi baju dan sampur (selendang) serta diberi kalung yang terbuat dari bunga kamboja.

Selain alat utama prosesi upacara Cingcowong, terdapat pula alat-alat pengiring yang berfungsi sebagai alat musik pada pagelaran Cingcowong, diantaranya :

1) Jambangan yang terbuat dari kuningan (bokor/ceneng), 

2) Tempayan (buyung) yang terbuat dari tanah liat untuk pengatur irama yang dipukul dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu.

3) Ruas bambu sepanjang kurang lebih 20 cm dengan diameter kurang lebih 1 cm yang pergunakan untuk memukul ceneng kuningan untuk mengiringi irama buyung.

4) Hihid atau kipas dari anyaman bambu merupakan yang dipergunakan untuk memberikan efek suara pada buyung.