CALUNG BANYUMAS DAN JAWA BARAT

0
96

Asal-usul Calung
Pada masa awal penyebaran Islam, seni calung sering dipadu dengan lengger (le = thole = sebutan untuk anak laki-laki, dan ngger = angger = sebutan untuk anak perempuan). Seni calung digunakan sebagai alat untuk memanggil atau mengumpulkan anak-anak untuk diberikan pengetahuan baru yaitu tentang ajaran Islam. Seni calung berkembang di wilayah Banyumas. Wilayah Banyumas adalah wilayah budaya kulonan yang memiliki karakteristik cenderung apa adanya (blaka suta), lugu dan aksen ngapak. Ciri khas ini tercermin pada syair-syair lagu yang dipadu dengan irama musik calung serta senggakan-senggakan yang terkesan vulgar.
Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut sebagai cikal-bakal angklung
dan calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab bila diamati secara cermat, antara keduanya sebagaian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, sistem pelarasan, struktur komposisi,dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung sebuah instrumen perkusi (sejenis angklung bambu), berlaras slendro. Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkan digoyang dan digetarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya lain yang sejenis yaitu angklung, krumpyung dan calung.
Alat musik calung ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan Jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendang. Selain itu, ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang. Dalam tradisi calung di Banyumas dapat dilihat beberapa elemen yang terkait dengan tampilan fisik maupun sajian musikalnya. Beberapa elemen penting tersebut antara lain wujud fisik, garap instrumen, tempat sajian, dan garap gendhing. Setiap elemen secara bersama-sama berperan dalam membangun wujud kesenian, dalam arti sebagai sarana ekspresi estetik maupun sebagai bagian dari perjalanan panjang sebuah ragam kebudayaan.
Wujud fisik calung berupa perangkat musik terbuat dari bambu yang dibuat secara manual dengan menggunakan kemampuan teknologi tradisional ala pedesaan. Beberapa ragam alat musik seperti gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong,dan gong, dirakit secara sederhana menjadi bentuk yang sederhana pula. Beberapa ragam alat musik itu dibuat lebih sekedar menjadi sebuah instrumen yang memungkinkan dengan mudah dipergunakan untuk membangun sajian musik. Dengan demikian pembuatan alat musik lebih mengutamakan aspek fungsional, dibanding aspek estetika bentuk. Dari sisi wujud alat musik, memang calung terkesan memiliki garapan yang kasar, asal jadi dan dengan teknologi yang sangat sederhana.
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak “dudukan” khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula – Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 – 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.