Babiola adalah seni pertunjukan tutur lisan yang berisi penuturan kaba (cerita) oleh tukang (seniman babiola) secara berirama dengan diiringi biola (viol). Kaba merupakan prosa liris (berirama) yang berisi kisah fiksi. Babiola memiliki identitas yang membedakannya dengan tradisi tutur lisan lainnya, baik yang terdapat di Minangkabau maupun dalam kebudayaan lain. Identitas tersebut yaitu berupa keberadaan ratok sikambang. Ratok sikambang adalah menyampaikan bagian cerita dengan irama sedih, baik vocal maupun instrument. Ratok sikambang merujuk pada kata ratapan sikambang (istilah untuk pembantu/pelayan) yang senantiasa hidup dalam tekanan dan kesedihan. Mayoritas kaba yang dituturkan dalam babiola merupakan cerita-cerita yang menyampaikan kisah kehidupan yang diliputi dengan penderitaan dan kesedihan, baik kaba kaba tareh (lama) dan kaba tanuik (baru).
Babiola menggunakan instrumen musik jenis biola (violin) yang terklasifikasi dalam keluarga chardiophone kelompok bowed lute dengan 4 senar. Meskipun biola merupakan alat music yang berasal dari luar kebudayaan Pesisir Selatan, tukang biola tidak membeli biola dari luar negeri. Mayoritas tukang biola memiliki kemampuan untuk membuat biola.
Babiola biasanya ditampilkan untuk memeriahkan berbagai perhelatan masyarakat, baik perhelatan keluarga maupun adat dan pemerintah. Perhelatan pernikahan dan khitanan, khatam Qur’an merupakan alek (acara perhelatan) keluarga yang pada masa lampau senantiasa menampilkan babiola sebagai hiburan utama. Acara alek datuak (mendeklarasikan dan mengukuhkan gelar pimpinan kaum) dan acara pemerintahan biasanya senantiasa dimeriahkan dengan penampilan babiola. Babiola lazimnya ditampilkan pada malam hari, setelah jadwal sholat Isya sekitar jam 20.00 sampai menjelang shalat Subuh sekitar jam 04.30. WIB.
Babiola berkembang dalam masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan, dari bagian selatan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu, hingga ke bagian utara yang berbatasan dengan Kota Padang, serta beberapa daerah lain di luar kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu biola juga berkembang di daerah Padang dan Muarolabuah. Pelaku babiola didaerah luar Pesisir Selatan biasanya merupakan tukang babiola yang berdomisili di daerah terebut.
Sebagai seni dalam masyarakat tradisional, babiola menyandang fungsi utana sebagai hiburan. Fungsi lainnya adalah sebagai wahana pengkuhan dan transformasi nilai yang harus dijunjung oleh masyarakat Minang. Babiola sebagai aktivitas seni juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan estetika, baik kebutuhan ekspresi tukang (seniman) maupun kebutuhan masyarakat penikmat. Talenta yang dimiliki oleh tukang biola dalam menuturkan kaba serta memadu dengan irama-irama yang keluar dari suara biola mampu membuat penikmat untuk tertawa senang, atau meneteskan air mata. Fungsi lain yang yang melekat pada babiola adalah fungsi ekonomi. Aktivitas babiola menjadi sumber keuangan bagi tukang biola. Pendapatan tersebut juga sangat dirasakan oleh tukang yang dapat kesempatan untuk melakukan rekaman. Selain upah dari penampilan dan rekaman, tukang biola yang memiliki kemampuan membuat biola, pendapatan keuangan juga bisa mereka raih dari membuat dan menjual biola, baik untuk kebutuhan tukang lain, maupun kebutuhan dunia pendidikan yang pada saat ini mulai menjadikan babiola sebagai salah satu materi pembelajaran.
Secara historis keberadaan babiola dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Eropa ke Pesisir Selatan sekitar abad ke XVI. Dalam perkembangan perdagangan dan penguasaan Potugis di Pesisir Selatan, mereka membawa kesenian yang menggunakan alat musik viol. Interaksi dengan (bangsa) masyarakat Portugis menjadikan masyarakat Pesisir Selatan mengenal alat musik biola (viol). Masyarakat dan seniman Pesisir Selatan yang terbuka dan adaptif dalam menerima suatu yang baru dan baik, menjadikan violin sebagai intrumen music untuk mengiringi penuturan kaba. Viol digunakan sesuai dengan kebutuhan, digesek sambil bercerita dan dalam posisi duduk.
Babiola mulai mengalami perkembangan pada saat stasiun penyiaran RRI mulai beroperasi di daerah-daerah serta masuknya teknologi rekaman piringan hitam. Babiola mulai disiarkan melalui stasiun penyiaran RRI Padang dan beberapa stasiun lain ke berbagai daerah di Sumatera Barat. Untuk kebutuhan siaran ulang, babiola direkam ke media piringan hitam dan diputar secara periodik. Perkembangan popularitas babiola meningkat lagi pada saat masuknya teknologi rekaman pita kaset dan teknologi tape player. Sebuah studio rekaman pita di Padang mulai merekam babiola ke dalam format pita kaset dan beredar diseluruh Sumatera Barat serta beberapa daerah lain. Siaran RRI yang telah membentuk masyarakat penyuka babiola telah mendukung kesuksesan peredaran pita kaset dan popularitas babiola. Babiola tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat asli Pesisir Selatan akan tetapi juga oleh masyarakat minangkabau secara umum. Hal tersebut disebabkan kaba-kaba yang disampaikan sudah dikenal secara umum dalam masyarakat Minang, pada sisi lain, plot, pesan,nilai yang disampaikan dalam babiola selaras dengan pesan dan nilai yang dianut dan diusung oleh ajaran adat Minang secara umum. Karena pada dasarnya baik masyarakat maupun ajaran adat Minangkabau secara umum merupakan perkembangan adat dan masyarakat Pesisir Selatan, tepatnya dari Inderapura. Hal tersebut terlihat dari mayoritas situs-situs yang berkaitan dengan legenda-legenda klasik Minangkabau terdapat di daerah Pesisir Selatan, tepatnya dalam wilayah bekas Kesultanan Inderapura.
Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900825
Nama Karya Budaya :Babiola
Provinsi :Sumatra Barat
Domain :Seni Pertunjukan
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda