Setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam melintas darat, menembus angkasa, dan membelah sungai, akhirnya Tim Verifikasi sampai di desa Mejun Sanjai, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tempat kediaman pemusik tradisi, Arang yang lahir di Apan Baru, Kalimantan Utara pada tanggal 10 September 1942.
“Bapak sedang ke lading menggarap sawah dan harus dijemput karena jarak rumah ke lading sangat jauh,” begitu anak Arang menyambut kami.
Sementara menunggu Arang, mengalir cerita dari anaknya, bagaimana Arang sebagai seniman tradisi harus bekerja di ladang demi menghidupI keluarga.Setiap pagi Arang berjalan kaki menuju ladang sejauh 20 km, bahkan terkadang harus menginap demi menghemat tenaga.
Potongan cerita tersebut member gambaran, betapa ironi seksistensi seniman tradisi yang hidup dipelosok tanah air. Pak Arang, begitu masyarakat memanggilnya, merupakan satu dari segelintir pemusik Sampe’ yang tinggal di desa Mejun Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Sampe’ adalah alat musik tradisional suku Dayak yang berfungsi untuk menyatakan perasaan, baik perasaan riang gembira, rasa sayang, kerinduan, bahkan rasa duka nestapa. Dalam bahasa lokal suku Dayak, Sampe’ dapat diartikan “memetik dengan jari”.
Lebih dari 50 tahun, Arang memainkan Sampe’ tanpa mengenal pamrih. Sebagai seniman tradisi, ia tidak berharap pujian atau penghargaan, baginya bermain Sampe’ adalah pengabdian yang tulus. Keinginannya mempunyai murid, yang dapat melanjutkan bermain Sampe’, hingga menginjak usia 70 belum juga terwujud. Entah siapa yang harus disalahkan, Arang pun tak mampu mengurai kondisi tersebut. Sebersit asa muncul ketika anak pertamanya, Mendan, mempunyai ketertarikan pada seni musik Sampe’. Selain memainkan musik Sampe’, ia juga membuat sendiri alat musik tersebut. Satu-satunya alat musik yang dibuat adalah yang dimainkannya sendiri.
Darah seni Arang mengalir dari ayahnya, seorang pemain musik tradisi Sampe’ di Kalimantan Utara. Sejak kecil ia sering melihat ayahnya memainkan Sampe’ sehingga lahirlah keinginannya mencoba alat musik tersebut. “Saya mencoba sendiri alat musik tersebut ketika usia tahun dan tidak pernah diajarkan ayah,” jelas Arang mengenang masa kecilnya.
Tidak seperti kebanyakan anak-anak di kampungnya, Arang hanya sempat mengecap pendidikan sekolah hingga sampai kelas 4 Sekolah Dasar. Ia tidak melanjutkan pendidikan karena harus menjaga dan membantu kedua orang tuanya berladang. Di tengah membantu tersebut Arang mulai belajar secara otodidak. Jemari tangannya yang lincah didukung kemauan keras agar dapat menguasai alat musik tersebut, membuat Arang mampu memainkan dengan baik alat Sampe’pada umur 17-an tahun.
Ketika pertama kali memainkan Sampe’ dimuka umum, Arang sangat senang karena merasa dihargai dengan tepuk tangan penonton. Setelah kepergian ayah tercinta, Arang memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan tradisi tersebut. Musik Sampe’ yang dibawakan Arang selain untuk mengiringi tarian juga dimainkan untuk acara keagamaan di gereja.
Saat ini Arang menguasai sepuluh jenis lagu, antara lain lagu-lagu bernuansa sedih seperti kematian, kehilangan orang yang dicinta; lagu bernada gembira, seperti perayaan pernikahan, suka cita; dan nuansa lagu rohani keagamaan. Alunan lagu tersebut dapat dibawakan secara kolaborasi dengan alat musik lain ataupun dibawakan secara tunggal. Selain membawakan musik Sampe’ pada kegiatan seni pertunjukan, Arang juga bermain di kalangan gereja. Dahulu, memainkan Sampe’ pada siang hari dan malam hari memiliki perbedaan. Apabila dimainkan pada siang hari, umumnya irama yang dihasilkan Sampe’ menyatakan perasaan gembira dan suka-ria. Sedangkan jika Sampe’ dimainkan pada malam hari biasanya akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu, atau sedih.
Meskipun terbilang tidak produktif tampil pada beberapa pertunjukan, namun Arang tetap setia melestarikan seni musik Sampe’. Ia tidak menghiraukan apakah hari ini, esok, atau tahun mendatang ada tawaran mengisi pertunjukan di satu tempat. Ia seniman yang mengikuti kehendak zamannya, mengalir tanpa menentang arus. Dari sisi keterampilan, Arang memiliki kelebihan dalam memainkan alat musik itu dibandingkan seniman lain. Kelincahannya dalam memetik tali senar dan penghayatan dalam membawakan alunan musik merupakan karakter tersendiri yang dimiliki Arang.
Memasuki usia yang ke-73 tahun, Arang memilki kegelisahan mendalam, karena saat ini tidak banyak generasi muda yang tertarik pada alat musik Sampe’. Harapan satu-satunya adalah anak pertamanya yang mengikuti jejak Arang. Namun demikian, memainkan Sampe’ juga tidak didalami secara konsisten karena harus bekerja mencari nafkah. Arang mengakui menjadi seniman Sampe’ di Kalimantan Utara, belum dapat menjanjikan masa depan yang baik. Penghargaan masyarakat mau pun pemerintah masih sangat rendah.
“Jika bermain Sampe’ saya hanya dibayar Rp50.000,00 hingga Rp100.000,00 dan itu tidak cukup untuk keluarga saya,” jelas Arang dengan mata berbinar.
Penghargaan Maestro yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Arang, sesungguhnya merupakan momentum bagi semua pihak untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya menghargai seniman tradisi. Menurut Kepala Desa, Mejun Sanjau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Heriyanto Siang, penghargaan tersebut merupakan motivasi bagi pemda untuk mengambil langkah strategis pelestarian seni Sampe’.
“Kami sangat berterima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas penghargaan ini. Di masa mendatang kami akan menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni tradisi agar tumbuh kembali kesadaran yang baik di kalangan masyarakat”.
Arang adalah potret seniman tradisi yang terperangkap pada pusaran dilematis. Semangatnya yang sangat besar untuk melestarikan seni musik tradisi tidak berbanding lurus dengan realitas sekitarnya. Itulah sosok Arang. Seniman tradisi, pemetik Sampe’. Seusai seharian bekerja di ladang, ketika bumi tanah Dayak tertidur lelap, Arang mulai memainkan Sampe’ di tengah gulita malam. Petikan tali senar Sampe’malam hari nan sendu, syahdu, dan kadang terdengar mistis, menembus sampai ke dinding-dinding rumah penduduk. Ironisnya, dentingan Sampe’ tersebut tak mampu jua menggugah masyarakat sekitar untuk mempelajarinya. Arang tak peduli dengan situasi tersebut, karena ia tetap setia memetik Sampe’ meski terkadang jemari tangannya harus terluka, “Hingga ajal mejemput saya akan terus memainkan alat musik Sampe’ ini,” lirih Arang mengucap sebuah tekad seraya mendekap erat alat Sampe’ yang dibuatnya sendiri.