Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Alat musik ini berasal dari Tanah Sunda. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis, Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap.
Sebelum menjadi sebuah alat musik Internasional seperti sekarang ini, kesenian angklung telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Berbagai perubahan telah dilaluinya mulai dari perubahan bentuk, fungsi, sampai pada perubahan nada. Namun hingga kini Angklung masih tetap bertahan dan bahkan berkembang meskipun jenis irama dan nada yang berbeda dari nada semula.
Kesenian angklung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga ia mampu bertahan di tengah terjangan arus modernisasi. Bahkan kesenian angklung ini telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Angklung sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia yang dideklarasikan pada pada 16 Januari 2011.
Alat musik angklung sudah ada di Tatar Sunda semenjak zaman Kerajaan Sunda. Beberapa catatan dari orang Eropa yang melakukan perjalanan ke Tanah Sunda pada abad ke-19 mengatakan bahwa di daerah ini sering terlihat “permainan” angklung oleh orang-orang setempat. Angklung memang juga dikenal di daerah-daerah lain di Pulau Jawa, tetapi di tanah Sunda alat musik ini lebih populer. Sedangkan di Jawa Barat, angklung telah dimainkan sejak abad ke-7. Orang – orang baduy dari Desa Kanekes masih memainkan angklung tradisional dalam beberapa upacara tradisional mereka. Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, ada jenis lain dari angklung yang diberi nama angklung bungko yang diyakini telah berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi digunakan. Di Desa Cipining, Bogor terdapat angklung gubrag yang menurut cerita rakyat setempat berawal dari bencana gagal panen yang menyebabkan kelaparan. Masyarakat setempat percaya bahwa bencana tersebut terjadi karena kemarahan Dewi Sri. Penduduk kemudian melakukan ritual dengan pertunjukan seni angklung untuk mengundang kembali Dewi Sri agar turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi.
Perkembangan selanjutnya dalam permainan angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis dengan pola dan aturan-aturan tertentu. Pola-pola gerak ini disesuaikan dengan kebutuhan upacara penghormatan padi, misalnya pada waktu mengarak padi ke lumbung (”ngampih pare”, ”nginebkeun”), juga pada saat-saat ”mitembeyan”, yaitu mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ”ngaseuk”. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan rengkong dan dongdang serta jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Beberapa jenis angklung tradisional yang hingga kini masih ada di lingkungan masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten, di antaranya adalah:
• Angklung Kanekes
Angklung Kanekes adalah Angklung yang dimainkan oleh masyarakat Kanekes (Baduy), di daerah Banten. Masyarakat Kanekes masih memegang erat dan melaksanakan tradisi menggunakan Angklung untuk berbagai jenis upacara tradisinonal, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, bukan semata-mata untuk hiburan. Masyarakat Kanekes terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Baduy Luar (Kajeroan) dan kelompok Baduy Luar (Kaluaran), yang berhak membuat Angklung hanyalah warga Baduy Jero, itu pun tidak semua orang, melainkan hanya mereka yang menjadi keturunan para pembuat Angklung. Sementara itu, warga Baduy Luar tidak membuat Angklung, melainkan cukup membelinya dari warga Baduy Jero.
Meskipun permainan angklung terkait erat dengan ritus padi, akan tetapi angklung ini biasa juga ditampilkan di luar ritus padi. Untuk permainan angklung di luar ritus padi, ada aturan-aturan adat, misalnya angklung hanya boleh ditabuh hingga masa ”ngubaran pare” (mengobati padi), yaitu sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang.
• Angklung Dogdog Lojor
Kesenian Dogdog Lojor terdapat di lingkungan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, yang mendiami sekitar Gunung Halimun, yang berbatasan dengan wilayah Jakarta, Bogor, dan Lebak. Istilah Dogdog Lojor sendiri sejatinya diambil dari nama salah satu instrumen dalam tradisi ini, yakni Dogdog Lojor. Namun demikian, Angklung juga mendapatkan porsi yang tidak kalah penting di sini, terutama dalam fungsi tradisinya, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Setelah masyarakat di sana menganut Islam, dalam perkembangannya, kesenian tersebut juga digunakan untuk mengiringi khitanan dan perkawinan. Dalam kesenian Dogdog Lojor, terdapat 2 intrumen Dogdog Lojor dan 4 instrumen angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama masing-masing, yaitu: yang terbesar dinamakan ”gonggong”, kemudian ”panembal”, ”kingking”, dan ”inclok”. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga jumlah pemain semuanya adalah enam orang.
• Angklung Gubrag
Di Kabupaten Bogor, tepatnya di kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor juga terdapat kesenian angklung, yang disebut Angklung Gubrag. Menurut penuturan beberapa tokoh adat setempat, angklung ini telah berusia sangat tua dan digunakan sebagai kelengkapan upacara penghormatan terhadap dewi padi. Ritual penghormatan terhadap dewi padi yang menggunakan angklung, antara lain dalam kegiatan ”melak pare” (menanam padi), ”ngunjal pare” (mengangkut padi), dan ”ngadiukeun” (menempatkan) ke ”leuit” (lumbung).
• Angklung Badeng
Badeng merupakan kesenian yang menggunakan Angklung sebagai instrument utamanya. Kesenian Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Seiring dengan perkembangan Islam, Kesenian Badeng juga digunakan untuk kepentingan dakwah dan juga hiburan. Namun demikian, diyakini Angklung dalam kesenian Badeng juga memiliki akar tradisi yang sama, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Dalam kesenian Badeng, dimainkan 9 buah Angklung, yakni 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Selain tiga tradisi kesenian Angklung di atas, banyak daerah lain di Jawa Barat yang juga mewarisi tradisi Angklung, sebut saja Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), dan Angklung Bungko (Indramayu).
• Angklung Buncis
Angklung Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Desa Baros, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Pada masa awal kelahirannya, angklung buncis berfungsi sebagai kelengkapan penyelenggaraan upacara pertanian. Kendatipun saat ini ritual pertanian masih dilaksanakan oleh masyarakat di lingkungan Desa Baros, akan tetapi dalam penyalenggaraannya telah banyak perubahan. Di antara perubahan yang terjadi adalah tidak difungsikannya kesenian angklung buncis pada ritual pertanian.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual angklung buncis dalam ritual penghormatan padi, karena sejak itu angklung buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan karung sebagai wadah yang dipandang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian angklung buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ”ngunjal” (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian angklung buncis adalah: 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok, 3 buah dogdog yang terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong.
Selain jenis-jenis angklung tradisional di atas, masih ada beberapa jenis angklung tradisional di Jawa Barat dengan nama yang berbeda-beda, seperti: Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), dan Angklung Ciusul (Banten).