Andjar Asmara: Dari Teater ke Film

0
921

“Nama Andjar Asmara tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan dan pekerja teater, tetapi juga sutradara film dan penulis naskah. Ia putra Indonesia pertama yang jadi sutradara.”

 

Mulanya Andjar Asmara dikenal sebagai wartawan selepas dari sekolah. Akan tetapi kariernya di bidang jurnalistik di Jakarta tidak berjalan mulus. Pria asal Sumatera Barat ini pun pulang kampung ke Padang dan menjadi wartawan di media Sinar Sumatera.

Tahun 1925 ia memberikan banyak masukan kepada kelompok opera Padangsche Opera. Bahkan ia melakukan perubahan drastis dalam cara pementasan grup ini: dari opera yang biasanya selalu menampilkan dialog dengan menyanyi atau dialog seperti orang membaca puisi ke dialog seperti orang berbicara sehari-hari.

Perubahan yang dilakukan oleh Andjar Asmara juga sampai pada naskah yang dipakai. Naskah yang dipentaskan tidak lagi cerita tentang pangeran atau stambul, akan tetapi kisah kejadian sehari-hari. Andjar mementaskan, antara lain, naskah yang ditulis Parada Harahap, yaitu “Melati van Agam”. Ia juga mengadaptasi Sitti Nurbaya, sebuah roman yang ditulis pada tahun 1923 oleh Marah Roesli. Sandiwara-sandiwara ini diterima dengan baik. Tampaknya pembaharuan yang dilakukan oleh Andjar Asmara dilakukan pula Thio Tek Djien dalam sandiwara kelompok Miss Ribut Orion di Jawa.

Dari mana bakat sang wartawan itu di bidang teater? Sejak kanak-kanak ia sudah hidup di lingkungan teater. Neneknya memiliki rombongan sandiwara. Saat masih kecil, Andjar sudah terbiasa menonton sandiwara.Bahkan bersama teman-teman sepermainannya, ia sering menirukan permainan sandiwara pada malam hari.

Dunia kewartawanan rupanya tidak lenyap dari dirinya. Maka, akhir 1930-an, ia kembali ke Jakarta untuk kembali terjun jadi wartawan di media Bintang Timoer dan Bintang Hindia. Lalu ia memimpin majalah Dunia Film, edisi Indonesia dari majalah berbahasa Belanda, Filmland. Isi majalah ini dipenuhi tulisan mengenai teater dan film produksi lokal.

Andjar banyak menulis tentang karya teater dan film lokal. Menurut Salim Said, kritikus film Indonesia, Andjar menjadi penasihat untuk pemasaran film Njai Dasima pada tahun 1929. Pemasaran itu menegaskan bahwa semua pemain Njai Dasima orang pribumi. Pada tahun 1930 Andjar meninggalkan Doenia Film dan posisinya sebagai redaktur digantikan oleh Bachtiar Effendi.

Seperti ditulis dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978, sebagai wartawan ia banyak bergaul dengan orang film, akan tetapi belum tertarik untuk bergabung dengan dunia tersebut. Ia kembali terjun ke dunia sandiwara. Ia ikut bergabung dengan rombongan sandiwara Dardanella. Ia lebih banyak menulis skenario sandiwara daripada ikut main di panggung. Ia dibolehkan menggunakan mesin cetak portable untuk mencetak naskah sandiwara. Namun dalam perjalanan waktu ia lebih banyak dikenal sebagai penulis naskah dan sutradara. Ia banyak membenahi gaya pementasan Dardanella yang pada masa itu sangat populer.

Tahun 1936 Andjar ikut rombongan Dardanella dalam lawatan mereka ke India. Rombongan ini melakukan kerja sama dengan Radha Film Coy Calcutta untuk mengangkat naskahnya, “Dr Samsi”, ke film. Naskah ini menceritakan seorang doktor yang diperas setelah asistennya setelah mengetahui bahwa doktor itu mempunyai anak di luar nikah. Namun, film itu tidak jadi dibuat dan Andjar meninggalkan India bersama istrinya, Ratna Asmara, yang kemudian dikenal sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia.

Pulang dari India, Andjar membentuk grup sandiwara Bollero, tahun 1936. Namun usia kelompok ini tidak panjang. Ia kembali lagi ke dunia penerbitan dan ia sempat pindah ke Surabaya dan menjadi redaktur dari penerbitan untuk buku-buku seri cerita film. Pekerjaan ini membuka peluang baginya untuk berkarya dalam dunia film.

Empat tahun kemudian, 1940, ia kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Java Industrial Film milik The Teng Chun. Ia mengajak sejumlah anggota rombongan Dardanella untuk terjun ke film, seperti Tan Tjeng Bok, Inu Perbasari, dan Rd Ismail. Film pertama yang disutradarainya adalah Kartinah, sebuah film tentang cinta yang dibintangi istrinya, Ratna. Dunia perfilman menggantungkan harapan besar pada pundaknya untuk meningkatkan mutu film saat itu. Namun Jepang keburu datang tahun 1942.

Pada zaman revolusi, Andjar ikut berjuang dengan caranya sendiri, yaitu menularkan pengetahuannya tentang film kepada masyarakat lewat sejumlah diskusi. Tokoh film nasional Usmar Ismail dan Djajakusum ikut hadir dalam diskusi-diskusinya ini. Tahun 1948 ia menyutradarai film Djauh Dimata. Ketika menyutradarai film Gadis Desa tahun 1949, ia mengangkat Usmar Ismail yang baru keluar dari tahanan Belanda sebagai asistennya. Film lain karyanya adalah Anggrek Bulan (1948), Sedap Malam ( 1950),

Pelarian dari Pagar Besi (1951), Musim Bunga di Selabintana (1951), dan Dr Samsi (1952). Akan tetapi tampaknya Andjar tak bias lepas dari dunia penerbitan. Ia pun meninggalkan dunia film dan kembali bergelut di dunia penerbitan. Terakhir ia memimpin majalah Varia sampai meninggal dunia (1961) ketika dalam perjalanan ke Bandung. Namun, ia tetap dikenang sebagai salah satu tokoh besar dunia teater Indonesia dan salah satu sutradara pribumi pertama.