Anak Agung Gede Sobrat: Seniman Besar yang Peduli Sesama

0
6292

“Membicarakan seni lukis modern yang tumbuh di Bali, maka nama Anak Agung Gede Sobrat pantas disebut sebagai salah satu pelopor. Bersama seniman lukis lainnya, pada 1957, Anak Agung Gede Sobrat menggerakan pembaruan seni lukis di Ubud dengan mendirikan organisasi Pita Maha. Organisasi tersebut sekaligus menandakan kepedulian Sobrat pada dunia seni dan nasib sesama seniman lukis kala itu.”

Anak Agung Gede Sobrat lahir tahun 1912 di Padangtegal, Bali. Lahir dari pasangan seniman Anak Agung Putu Yasa dan Jero Gambir, masa kecil Sobrat—panggilan akrabnya—dipenuhi berbagai suasana tarian dan upacara Bali yang sakral. Ayahnya dikenal masyarakat Ubud sebagai penari gambuh tersohor di desanya. Selain dari garis ayah, bakat seninya juga menurun dari garis ibu, yakni dari kakeknya yang bernama I Seleseh, seorang undagi—seniman arsitektur tradisional Bali—tersohor di desa mereka.

Sobrat dikenal sebagai seorang pelukis alam. Sebagai pelukis dengan anugerah bakat alami. Sobrat kecil sudah pandai membuat wayang dari bahan apa saja yang ditemuinya di alam. Dia pernah membuat wayang dari daun kamboja. Lantas, begitu semakin mahir, dia pun membuat wayang dari bambu. Semua tentang wayang ia pelajari sebagian besar dari sang kakek dari pihak ibu. Kakeknya pula yang menempa dasar-dasar kemampuannya sebagai seniman rupa dan pengetahuan mengenai dunia pewayangan Bali.

Awal 1930-an, Anak Agung Sobrat memberanikan diri bertemu dan belajar pada pelukis Walter Spies dan Marcel Bonnet. Spies dan Bonnet adallah orang yang dianggap sebagai pelopor seni rupa modern Bali, yang mengajari dan menyebarluaskan teknik dan cara pandang modern dalam melukis. Setelah belajar dari Spies dan Bonnet, Sobrat semakin kuat menapakkan jejaknya sebagai seniman seni rupa di Bali. Jika sebelumnya Sobrat hanya menggambar wayang, setelah bertemu Spies dan Bonnet, tema lukisan dan tekniknya menjadi meluas. Dia mulai menangkap tema-tema keseharian dalam lukisannya. Sebutlah seperti kehidupan pasar, lukisan potret, penari, alam pedesaan dan lain sebagainya.

Sobrat juga rajin mengikuti berbagai pameran. Tahun 1958, dia mengadakan pameran di Yogyakarta atas sponsor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 1963, mengadakan pameran di Jakarta, disusul kemudian (1970) mengadakan pameran di Surabaya dengan sponsor Lembaga Indonesia Amerika. Tahun 1971, ia pameran di Jakarta atas sponsor dari Goethe Institute. Pada tahun 1957 hingga 1959 Sobrat menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Ia pun terus berkarya, hingga akhirnya pada tahun 1980-an Sobrat mendapat penghargaan dari pemerintah (Wijaya Kusuma dan Dharma Kusuma).

Sampai kini, karya-karyanya tersebar di berbagai tempat, seperti di Taman Budaya Denpasar, Bali; Museum Neka dan Ubud di Bali; Museum Sono Budoyo di Yogyakarta; Tropenmuseum di Amsterdam dan juga di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, Belanda. Ada juga di Museum Puri Lukisan Ratna Warta, di Singapore Art Museum (1994) dan di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Seniman besar Anak Agung Gede Sobrat menghembuskan napas terakhirnya di Bali pada 1992. Anak Agung Gede Sobrat memiliki sembilan orang putra dan putri. Sebagian besar di antaranya berkecimpung juga dalam dunia seni, baik itu seni rupa, tari atau seni lainnya. “Setidaknya semua anak-anak Pak Sobrat punya kecintaan pada seni. Karena ayah kami ini mengajarkan kearifan seni budaya secara bijaksana kepada kami, anak-anaknya, juga kepada masyarakat luas,” kata Oka Katjipta, putra pertama Sobrat di suatu pertemuan di kediaman keluarga Agung Sobrat, beberapa waktu lalu. Oka Katjipta ditemani adik-adiknya, yakni Anak Agung Netri dan Anak Agung Rai Putri menceritakan perjalanan hidup ayah mereka.

Oka menceritakan bagaimana sang ayah sangat peduli pada kesejahteraan para seniman lukis di Bali. Dia ingat betul saat rumah mereka sering dijadikan tempat berkumpul para seniman yang tergabung dalam organisasi Pita Maha. “Saya ingat waktu itu banyak teman ayah berkumpul membicarakan kesenian. Saya sebagai anak muda tentu saja sangat tertarik. Saya pun mencoba mengikuti jejak ayah sebagai seniman, tapi lebih pada pendidikan seni,” ujar Oka.

Netri, salah satu putri Anak Agung Sobrat, diakui oleh keluarga sebagai anak yang paling menuruni bakat ayah mereka dalam hal melukis. Itu karena Netri seringkali dijadikan objek lukisan potret oleh sang ayah dan diajarkan secara seksama bagaimana gaya melukis sang ayah. “Saya senang sekali belajar melukis bersama ayah kami. Beliau sosok yang humoris dan sangat demokratis dalam mendidik kami, anak-anaknya,” kata Netri yang kini berprofesi sebagai guru kesenian di sebuah sekolah negeri di Ubud.

Oka mengaku sangat gembira ketika mengetahui ayahnya terpilih sebagai penerima Satyalancana Kebudayaan dari Pemerintah RI. Menurutnya, penghargaan ini adalah pelengkap kebahagiaan dan kebanggaan keluarga pada sosok mengagumkan ayah mereka