Agus Nuramal, Penerima Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari

0
690

Agus Nuramal
Agus Nuramal

Agus Nuramal atau dikenal dengan PM TOH, lahir di Sabang (Aceh) pada tanggal 17 Agustus 1969. Ia adalah seniman muda yang memilih seni tutur (tradisi lisan) sebagai jalur kesenimanannya. Menurutnya seni tutur di tanah Aceh sudah mulai punah dan tidak banyak orang yang memperhatikan. Agus menekuni seni tutur ini sejak lulus dari Institut Kesenian Jakarta dan berguru kepada Teuku Adnan, salah seorang tokoh penutur hikayat.

Bakat seni yang dimilikinya diperkaya dengan pengetahuan dan pengalamannya selama kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Hal itulah yang membentuk Agus Nuramal sebagai seorang seniman Seni Tutur yang profesional saat ini. Seni Tutur yang dikembangkan Agus berangkat dari karakter sastra lisan Aceh yang sarat dengan spontanitas dan ia padukan dengan konsep seni pertunjukan modern, yang mementingkan imajinasi, vokal, dan akting. Keunikan yang ditampilkan Agus dalam seni tuturnya adalah pada penggunaan benda sehari-hari untuk menunjang ekspresi tuturannya. Dalam setiap pertunjukannya, ia menggarap tema-tema yang bersumber dari kehidupan masyarakat, khususnya fenomena-fenomena yang sedang berkembang di kota-kota besar.

Agus menekuni jenis sastra lisan ini hampir 25 tahun dan telah membawakan lebih dari 600 pertunjukan, baik di media elektronik (televisi), di lingkungan komunitas seni, dan berbagai acara kesenian yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Selain sebagai solo performance, Agus Nuramal juga aktifdalam bidang seni teater. Dalam bidang teater ini, ia mengembangkan konsep antara lain teater on the class room, teater untuk resolusi konflik, dan model teater pemberdayaan masyarakat. Profesi lainnya yang digeluti Agus adalah sebagai salah satu pelatih utama dan narasumber untuk teater object international. Agus aktif mengisi berbagai acara, misalnya menjadi instruktur pertunjukan dan fasilitator workshoppada Second International Story Telling Festival Mahasarakam University Bangkok (Januari 2014), menjadisebagai Sutradara untuk pertunjukan Saman Summit, di Museum Kota Tua, Jakarta (Desember 2012). Prestasi lainnya adalah terpilih sebagai peserta program residensi seniman tingkat internasional, pada kegiatan Aseasuk Conference (Brighton 2014).

Ketertarikan Agus terhadap seni tradisi tutur lisan tak dapat dipisahkan dari pengalaman masa kecil terutama tatkala menyaksikan pertunjukan seni tradisi di kampung halamannya, di Sabang, Aceh. “Saya sering melihat tokoh-tokoh penghikayat Aceh, salah satunya adalah Teuku Adnan dan semasa kuliah penampilan beliau selalu terbayang-bayang. Terlebih pada tahun 1988 sosok beliau tampil dimajalah Tempo, tulisan Sihar Lubis.Hal tersebut mendorong saya untuk mengenal sosok beliau dengan mengunjungi kampung Teuku Adnan pada tahun 1990-an.”Nyantrik dengan penghikayat tenar merupakan pengalaman berharga bagi Agus, karena banyak pembelajaran hidup yang didapatnya mulai dari pergi ke sawah, ikut urusan bisnis seperti menjual berbagai jenis minyak (minyak lawang, minyak cengkeh, minyak pala) dengan cara keliling ke seluruh pelosok Aceh. Pada suatu waktu Agus dilatih cara mendongeng di pinggir laut di belakang rumahnya, Agus juga diminta untuk berbicara dengan benda-benda yang dijumpainya, seperti batu karang, kayu, pepohonan, tanah dan sebagainya. Itulah mengapa dalam setiap pertunjukannya, Agus memperlengkapi dengan barang-barang sehari-hari.

Pengalaman pertama tampil membawakan hikayat di pendopo Gubernur dan Taman Budaya Banda Aceh dan mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat pada saat itu. Setelah merasa cukup nyantrik dan menimba ilmu kepada para tokoh penghikayat di Aceh, maka pada tahun 1991 Agus memutuskan kembali ke Jakarta dan sejak itulah awal karir Agus sebagai seniman profesional dimulai.

Agus menyadari membawakan seni pertunjukan tradisional di kota besar seperti Jakarta tanpa diberi sentuhan kreativitas dan inovasi yang tinggi, maka pertunjukan itu tidak memiliki daya tarik. Oleh karena itu, agar pertunjukannya memiliki daya tarik, Agus mulai mengembangkan tradisi tutur lisan Aceh dengan pendekatan modern tanpa menghilangkan karakter seni tradisinya.Membawakan hikayat modern yang disesuaikan dengan fenomena sosial masyarakat kota besar bukanlah hal mudah, namun Agus percaya dengan berbekal pengetahuan yang diperolehnya semasa kuliah di Program Studi Teater, Institut Kesenian Jakarta, seperti belajar akting, pantomim, penulisan, dan penyutradaraan, ia berkeyakinan bahwa seni tradisi tutur lisan dapat dikembangkan lebih menarik dengan pendekatan yang modern.

Lebih jauh Agus menjelaskan, “Pertama saya harus menyerap, mendengar, melihat, merasa persoalan-pesoalan yang ada dimasyarakat dan persoalan tersebut saya padukan dengan cerita, kemudian cerita tersebut saya kembalikan kepada masyarakat. Hal terpenting adalah dimensi imajinasi, kalau seni bertutur itu pemainnya berlaku sendiri sehingga harus memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Kemudian bercerita atau dimensi oral menjadi dimensi imajinasi dengan mengunakan berbagai benda yang saya temukan sehari-hari, seperti sabuk kelapa, gayung, boneka, dan lain-lain.”

Selanjutnya dikatakannya, “Prinsipnya seni yang tidak mahal yang tidak perlu beli apa-apa untuk sekali pakai kemudian dibuang, dengan imajinasi ini saya yakin waktu itu saya bisa mempopulerkan kesenian yang berakar dari seni tradisi. ”Seni tutur yang dibawakan Agus menjadi lebih menarik karena mengolah kekuatan unsur vokal dengan cara bernyanyi. Unsur vokal berupa lantunan-lantunan irama, seperti irama angin, gunung atau irama ombak dilaut membuat hikayat yang diceritakan Agus lebih hidup dan dinamis, sehingga tak sadar membuat penonton terlena dengan pertunjukan yang dibawakannya.

Seni Tradisi mulai kehilangan Panggung
Agus Nuramal adalah segelintir dari seniman yang memiliki kepedulian dalam melestarikan seni tradisi. Menurut Agus saat ini seni tradisi sudah kehilangan panggung dan diambil alih televisi. Hal tersebut kian diperburuk dengan realitas bahwa tidak banyak seniman muda yang menekuni seni tutur. Keprihatinannya itu tercurah dalam ungkapan hati berikut ini, “Selama hampir 25 tahun menekuni seni hikayat, saya merasa sendiri, kesepian karena tidak ada teman penghikayat dari wilayah lain di tanah air.” Sedikitnya seniman-seniman muda yang bergiat dalam “lading” seni tutur tentu membuat Agus sulit menjalin diskusi, komunikasi, atau tukar pengalaman. Namun hal tersebut tidak menyurutkan Agus untuk terus berkarya dan berbagi ilmu, seperti yang dilakukan saat ini yaitu mengajak masyarakat untuk mencintai seni tradisi. Mimpi Agus suatu saat kelak ia dapat mendirikan sekolah yang bisa mengajarkan kepada banyak orang tentang seni tradisi, sehingga akan ditemukan bakat-bakat baru yang akan melanjutkan tradisi bangsa Indonesia.

Agus Nuramal adalah sosok seniman muda yang patut dihargai karena kepedulian pada seni tradisi. Melestarikan seni tradisi dengan pendekatan pertunjukan modern yang khas, yaitu kekuatan spontanitas, imajinasi dan lantunan syair-syair serta irama alam, seakan membawa kesadaran bagi kita bersama untuk ikut hanyut dalam renungan seni hikayat yang lama dilupakan orang. Semoga dimasa mendatang akan lahir seniman seni tutur dari berbagai daerah sebagai upaya melestarikan seni tradisi bangsa Indonesia. KecintaanAgus pada seni tradisi didukung kemampuan akting yang mumpuni serta sikap rendah hati untuk belajar dengan para tokoh hikayat ternama di bumi serambi Aceh merupakan sinergi cermin bagi generasi muda.

Terkait dengan penghargaan yang diterima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk kategori Penghargaan Seni Tradisi, Agus mengatakan “Hal tersebut merupakan sebuah apresiasi kerja bukan hanya untuk dirinya sendiri namun apresiasi terhadap sahabat-sahabat, para tokoh seni tradisi dan masyarakat dibidang seni. Disisi lain penghargaan tersebut sekaligus tantangan untuk berkerja lebih baik lagi.Apresiasi ini bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi untuk generasi-generasi Nusantara, untuk mencintai seni tradisi, ketika satu orang mendapatkan apresiasi mudah-mudahkan makin banyak lagi yang mendapatkan apresiasi lagi.”