Untaian Mutiara Kebangsaan di Balik ‘Bilik’ Pesantren: Halaqoh Kebangsaan yang Mencerahkan

0
774
Searah jarum jam: K.H. Agus Sunyoto, K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus, K.H. Hamim Hudori (moderator) dan K.H. Zawawi Imron.

Lirboyo, Kediri – Satu dari tiga rangkaian kegiatan yang menjadi agenda Pena Bangsa (Penanaman Nilai Kebangsaan di Pesantren) di Pondok Pesantren Lirboyo adalah Halaqoh Kebangsaan. Halaqoh Kebangsaan merupakan ruang diskusi sejarah dan tradisi kebangsaan di pesantren. Hal ini penting untuk merefleksikan peran pesantren, kiai, dan santri pada masa lalu, serta menakar peran pesantren di masa yang akan datang. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2019 di Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo.

Pesantren tidak pernah absen dalam lembaran-lembaran sejarah Indonesia, baik pada masa kerajaan, masa kolonial, masa pergerakan nasional, revolusi kemerdekaan, bahkan hingga saat ini. Dalam sejarah, pesantren telah menjadi ruang bagi tumbuhnya para begawan cendikiawan yang sumbangsihnya sangat penting bagi bangsa. Lebih dari itu, pesantren adalah lahan subur bagi tumbuhnya semangat cinta tanah air. Hubbul wathan minal iman, adalah ungkapan yang sering digemakan di pesantren, bukan saja di lisan, tapi dalam perbuatan para civitas pesantren.

Dalam Halaqoh Kebangsaan menghadirkan pembicara kiai-cendikiawan yakni, K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus yang merupakan pengasuh Ponpes Lirboyo, sastrawan kawakan K.H. Zawawi Imron dan budayawan-akademisi sekaligus ketua Lesbumi Nahdlatul Ulama, K.H. Agus Sunyoto. Para santri memadati ruang Aula Muktamar yang menjadi tempat penyelenggaraan Halaqoh Kebangsaan. Bahkan di antaranya rela duduk di lantai dan berdiri. Antusiasme yang sungguh besar yang menjadi bukti besarnya curiosity atau keiingintahuan santri.

K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus mengawali diskusi dengan mengangkat kisah Nabi Muhammad SAW saat berdakwah di Mekkah. Kala itu, Nabi mendapat pertentangan keras dari kaum kafir Quraisy. Dalam hal ini, menurutnya, Nabi lebih memilih jalan untuk menghindari perseteruan fisik yang dapat menimbulkan kerugian. Oleh karena itu Nabi memilih hijrah ke Madinah.

Menurutnya, inilah yang dinamakan menghindari atau mencegah keburukan jauh lebih penting dari pada menegakkan kebenaran. Nabi telah mencontohkan bahwa melawan haruslah tetap dengan cara-cara yang baik dan santun. Lisan dan sikap kita tidak boleh dinodai dengan perbuatan dan ungkapan kotor. Nilai inilah yang penting untuk kita semaikan dan terapkan saat ini. Menurutnya, nasionalisme tidaklah cukup saat ini. Yang kita butuhkan lebih dari itu, yakni pejabat dan rakyat yang jujur dan baik yang berakhlakul karimah.

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa pesantren sejak dahulu telah berperan penting dalam mewujudkan kemerdekaan. Para ulama sejak dahulu menjadi agen dalam menyemaikan benih-benih kemerdekaan. Bahkan hingga kini pesantren dan kiai berperan penting dalam mengisi kemerdekaan dengan berbagai perwujudan.

K.H. Zawawi Imron mengawali pembicaraanya dengan ungkapan ‘rumus tanah air’. Menurutnya, tanah air yang indah ini jika ingin subur makmur dan indah, harus diurus oleh hati yang indah dan hati yang taqorrub pada Allah, serta budi pekerti yang indah yang dalam bahasa pesantren disebut akhlakul karimah.

Menurutnya, sejak dahulu pesantren punya adagium-adagium atau kata berhikmah yang luar biasa indahnya. Ia mengambil contoh ungkapan Sunan Drajad yang pernah berkata: dadi wong iso rumongso ojo dadi sing rumongso iso. Jadilah kamu orang yang bisa merasa dan jangan jadi orang yang merasa bisa. Orang pesantren adalah orang yang tawadhu’ atau rendah hati. Inilah pentingnya nilai-nilai pesantren untuk tetap dijaga hingga saat ini, katanya.

Ia melanjutkan, kenapa kita harus cinta pada bangsa dan tanah air? Ini harus kita renungkan. Dan saya telah merenungkannya selama sepuluh tahun lebih, katanya. Alasannya tertuang dalam untaian puisinya:

‘Kita semua minum air Indonesia menjadi darah kita, kita makan beras dan buah-buhan Indonesia menjadi daging kita, kita menghirup udara Indonesia menjadi nafas kita, kita bersujud di atas bumi Indonesia berarti bumi Indonesia adalah sajadah kita, dan bila tiba saatnya kita mati semua akan tidur dalam pelukan bumi Indonesia.’ Jadi, adakah alasan kita untuk tidak mencintai tanah air ini?

Kemudian Agus Sunyoto mengawali pembicaraannya dengan mengupas sejarah kerajaan di Jawa dan persinggungannya dengan Islam. Ia mengatakan bahwa Pesantren sesungguhnya lahir dari keluarga kerajaan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diajarkan di pesantren adalah ilmu pengetahuan yang sifatnya umum; tentang teknologi, pemerintahan dan seterusnya. Ia memberikan contoh Raden Fatah yang merupakan seorang santri. Raden Fatah menyusun hukum undang-undang atau serat Angger Suryangalam, menurutnya kitab itu merupakan hukum positif pada masanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, sejak dahulu pesantren adalah pusat pembelajaran teknologi dan ilmu pengetahuan. Arah kecenderungan pembelajaran pesantren baru mulai berubah ketika mulai derasnya frekuensi perjalanan haji dari Nusantara ke Mekkah. Sejak itulah banyak mukimin Nusantara yang ada di Mekkah, merekalah yang kemudian membawa kitab-kitab bahasa Arab ke Nusantara dan mengajarkannya.

Sejak itulah pembelajaran di pesantren mulai berorientasi pada ilmu agama terutama fiqih. Dan hal ini juga berpengaruh bagi penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ilmu pengetahuan para santri di Jawa kala itu, karena mulai digunakannya aksara pegon Arab. Sejak itulah warisan Walisongo tidak dipelajari lagi, karena bahasa Jawa dianggap bahasa orang Hindu. Menurutnya, inilah kemudian yang membuat santri kehilangan keahliannya pada ilmu-ilmu umum.

Untaian kisah, hikmah, dan petuah dari para pembicara mendapatkan sambutan dari para santri dan mahasiswa yang hadir dalam acara ini. Para santri dan mahasiswa berdialog aktif melontarkan berbagai ungkapan dan pertanyaan. Halaqoh Kebangsaan kemudian ditutup dengan pembacaan Puisi Resolusi Jihad yang dibacakan oleh K.H. Zawawi Imron. Seluruh peserta tertegun, menikmati untaian puisi yang mengoyak perasaan.

 

Kontributor: Dirga