Membincangkan Sisi Lain Diponegoro

0
2375
Peter Carey, sang penulis dalam Bedah Buku "Sisi Lain Diponegoro

Rangkaian kegiatan Gerakan Melek Sejarah di Kota Magelang menampilkan salah satu mata acara yang cukup menarik, yakni bedah buku Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, Karya Peter Carey.

Dalam bedah buku yang berlangsung pada Jum’at 29 Maret 2019 pukul 14.00 WIB itu hadir Peter Carey dan para pembicara lain seperti Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro, Dr. Mikke Susanto dan Ki Roni Sodewo.

Bedah buku kali ini berlangsung dengan sangat menarik. Peter Carey mengawali pembicaraannya dengan menjelaskan dengan singkat gambaran umum buku. Buku yang ditulisnya kali ini didasarkan pada sumber Babad Kedung Kebo yang ditulis oleh Adipati Cokronegoro I yang merupakan musuh bebuyutan Pangeran Diponegoro.

Hal menarik yang disampaikan oleh Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro adalah bahwa Diponegoro adalah seorang mistikus, peggiat tarekat Syatariyah, yang memiliki kepekaan firasat yang mungkin sulit dipahami oleh kebanyakan orang saat ini.

Hal ini sekaligus menjawab spekulasi kebanyakan orang tentang Pangeran Diponegoro yang dianggap menganut Islam fundamental. Pernyataannya menguatkan bahwa Diponegoro adalah seorang Islam sufi yang kuat.

Berbeda dengan Wardiman Djojonegoro, dalam pemaparannya ia menekankan pembahasan tentang mulai menurutnya budaya literasi masyarakat. Hal ini yang kemudian berdampak pada menurunnya kesadaran membaca.

Dengan menurunnya minat baca tersebut, akhirnya berdampak pada menurunnya kesadaran sejarah. ‘Jika itu yang terjadi, bagaimana kita dapat mengambil hikmah dari sejarah? Bagaimana kita mau mengambil pelajaran dari kisah para pahlawan kita?’ Kata beliau dalam pemaparannya

Mikke Susanto dalam pemaparannya memberikan perbandingan karya lukis yang menggambarkan tentang Diponegoro. Menurutnya, kenapa Diponegoro selalu menarik untuk dikaji, hal itu karena tidak ditemukan satupun foto dirinya. Yang ada hanyalah sketsa yang dibuat saat Diponegoro diasingkan di Batavia.

Yang menarik lagi menurutnya, hingga kini Diponegoro selalu digambarkan mengenakan surban di kepala. Hampir semua karya lukisan menggambarkan demikian. Ia melihat terdapat stereotype dalam menggambarkan Diponegoro.

Menurutnya, sebaiknya lukisan-lukisan tentang Diponegoro yang ada sampai saat ini tidak dianggap sebagai sosok yang sebenar-benarnya. Karena bagaimanapun lukisan merupakan sebuah tafsir yang sangat mungkin terpengaruh dari berbagai aspek di sekitar perupa. ‘Oleh karena itu di kemudian hari biarlah muncul tafsir-tafsir baru tentang gambar sosok Diponegoro’, katanya menutup pemaparan.

Ki Roni Sodewo memberikan pemaparan yang tidak kalah menarik. Sebagai pembaca babad yang  tekun, ia begitu memahami kisah eyang buyutnya. Menurutnya ada kekeliruan tafsir mengenai tempat dijebaknya Pangeran Diponegoro, yang kini menjadi Museum Pengabadian Pangeran Diponegoro di eks Karesidenan Kedu.

Ia mengatakan bahwa dialog yang dilakukan antara De Kock dan Diponegoro tidak dilakukan pada tempat duduk yang terpisah seperti tata letak kursi yang kini ada di Museum. Diskusi antara keduanya justru dilakukan di kursi panjang, saat itu Diponegoro menarik tangan De Kock untuk duduk bersamanya. Menurutnya hal seperti ini harus kita rekonstruksi ulang berdasarkan sumber-sumber yang kredibel.

Bedah buku ini juga direspon dengan antusias oleh para peserta yang berasal dari siswa, guru, mahasiswa, dosen dan masyarakat umum dengan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Forum ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk membicangkan Diponegoro secara komprehensif. Tidak hanya melihat Diponegoro sebagai seorang pahlawan yang begitu dikagumi, namun juga sisi lain dari Diponegoro yang tidak banyak diketahui, yakni Diponegoro sebagai manusia biasa.

Kontributor: Dirga Fawakih