Tanggal 5-7 Oktober 2016, Direktorat Sejarah mengadakan kegiatan finalisasi Atlas Arsitektur Tradisional Indonesia Seri III di Hotel Permata, Bogor. Hadir dalam kegiatan ini diantaranya Nadia Purwestri (Penulis), Nasruddin (Penulis), Osrifoel Oesman (Penulis), Prof. Dr. Agus Aris Munandar (Editor), Prof. Ir. Gunawan Tjahjono M.Arch, P.hD (Narasumber), Drs. Nono Adya Supriyatno, MM, MT (Narasumber), Ferry Latief (Fotografer), dan Belonia Prihandini Utami (Ilustrator).
Acara yang dibuka oleh Direktur Sejarah, Ibu Triana Wulandari, merupakan kegiatan akhir dari tahapan-tahapan kegiatan sebelumnya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyusunan Atlas Arsitektur Tradisional Seri III. Atlas Arsitektur Tradisional Seri III merupakan program lanjutan yang telah berjalan selama 2 tahun ini. Untuk tahun 2016 ini, terdapat empat daerah yang menjadi fokus penulisan, yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara.
Dalam rapat tersebut, masing-masing penulis memaparkan hasil kajian mereka. Nadi Purswestri dari Pusat Dokumentasi Arsitektur selaku ketua tim menuliskan dalam paparannya menjelaskan tentang wilayah Sulawesi secara umum. Penjelasannya berupa kondisi geografi, sosial, budaya, dan sejarahnya. Nadia juga melanjutkan memaparkan tentang arsitektur tradisional Rumah Tambi di Sulawesi Tengah. Nadia menuturkan bahwa pembangunan Rumah Tambi sangat memperhatikan unsur kearifan lokal berupa konsep kosmologis dalam membangun rumah, sebagai contohnya adalah arah hadap Rumah Tambi yang selalu mengarah ke utara dan selatan. Selain Rumah Tambi, Nadia juga memaparkan arsitektur tradisional daerah Gorontalo, yaitu Rumah Brudel. Meskipun Rumah Budel di Gorontalo telah menerima pengaruh islam, namun pada pembangunannya juga masih menonjolkan unsur kearifan lokal seperti selalu menerapkan angka 3, 5, 7 dan juga menghadap ke timur dan kamar yang menghadap ke utara.
Oesrifol Oesman dari Ikatan Arsitek Indonesia dalam paparannya menjelaskan unsur-unsur kebudayaan banyak mempengaruhi arsitektur di Sulawesi Tenggara yaitu Buton dan Bajo. Menurut Oesrifol arsitektur di Kesultanan Buton dipengaruhi oleh beberapa fase pengaruh seperti dari cina, arab, dan sebagainya. Setelah masuk fase Islam, hampir seluruh detil di permukiman dipengaruhi oleh ajaran islam, dianalogikan dari ajaran Tauhid. Selain itu juga diuraikan sistem konstruksi dan bahan yang mencakup detil-detil dari komponen bangunannya. Masih menurut Oesrifol secara umum ada dua pola permukiman orang Bajo, yang pertama dari perkumpulan kapal di laut dan yang kedua adalah permukiman yang akhirnya merapat dari laut ke daratan.
Terakhir, Nasruddin dari Puslit Arkeologi Nasional memaparkan tentang rumah panggung Minahasa dari Sulawesi Utara. Nasruddin mengungkapkan bahwa Rumah tradisional Minahasa berbentuk rumah panggung atau rumah kolong, baik yang terdapat di atas air maupun di dataran. Rumah yang di diami oleh penduduk Minahasa disebut dengan istilah “wale” atau “bale”. Selain bangunan tempat tinggal, ada pula bangunan yang dibangun di areal perkebunan yang disebut “sabua/popollekou/terung”, yang fungsinya lebih bersifat praktis untuk tempat berteduh dan beristirahat atau memasak makanan dan menyimpan hasil panen sebelum dibawa ke rumah atau kampung.