[contact-form][contact-field label=”Name” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Email” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Website” type=”url” /][contact-field label=”Message” type=”textarea” /][/contact-form]
RANGKASBITUNG – Rangkaian Festival Seni Multatuli (FSM) 2019 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Platform Indonesiana salah satunya adalah Simposium Membaca Ulang Max Havelaar. Sebuah Novel yang membawa peristiwa besar bagi eksistensi penjajahan kerajaan Belanda di Hindia Timur. Hadirnya Novel Realis Max Havelaar baik secara pribadi maupun secara kekaryaan, keduanya memancing pembacaan yang terus-menerus, lintas disiplin, yang menghasilkan pelbagai pemaknaan yang tidak selalu sejalan antara satu dan lainnya.
Multatuli dan karyanya dimitoskan dan diagungkan, tapi sekaligus dinistakan dan dicurigai. Karyanya tidak hanya memengaruhi ranah kesusastraan, melainkan juga telah menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara, menginspirasi tindakan, dan memengaruhi kebijakan dalam ranah sosial-politik, baik di Indonesia maupun di Belanda. Berbagai kontroversi pun telah menyertainya sejak Max Havelaar pertama kali terbit pada 1860. Artinya, telah lebih dari 159 tahun Multatuli dan Max Havelaar dirayakan sekaligus hendak dilupakan. Kontroversi tersebut tidak hanya terjadi di negerinya sendiri, namun juga terjadi di kota kecil Rangkasbitung, Lebak, tempat Multatuli pernah menjadi asisten residen; dan sekaligus menjadi setting cerita Max Havelaar.
Simposium Membaca Ulang Max Havelar di FSM 2019 menghadirkan perspektif baru realitas keadaan Indonesia masa Hindia-Belanda. Lima Belas makalah berhasil tersaring untuk dipresentasikan dan dijadikan buku pada Simposium tersebut. Tidak kurang lebih dari 131 Abstrak masuk untuk direviu oleh tim simposium FSM 2019. Hingga akhirnya tim reviu berhasil menjaring 15 Abstrak dan menyatukan makalah dalam sebuah buku simposium dengan judul: “Membaca Ulang Max Havelaar”.
Ke-15 abstrak tersebut cukup menarik karena di antaranya, ada yang berusaha untuk meneliti bagaimana peran Max Havelaar/Multatuli yang dikonstruksi sebagai ikon parawisata yang menjadi inspirasi dan sumber bagi pengembangan pariwisata, pendidikan, dan penelitian; ada yang menawarkan perspektif comparative literature dengan muatan isu pascakolonial, namun ditulis dan dengan latar waktu yang berbeda; ada pengkajian interdisiplin yang akan memperkaya kajian tentang Max Havelaar terkait identitas berkaitan dengan ‘outward appearances’ tokoh-tokoh yang merepresentasikan Belanda dan Indonesia; dan upaya-upaya pengkajian lainnya yang menarik yang disajikan dalam pembahasan makalah pada acara simposium.
Kegiatan Simposium diadakan selama dua hari tanggal 11-12 September 2019 dalam rangkaian FSM 2019. Hadir dalam salah satu pembicara kunci pada Pembukaan Simposium Prof. Peter Carey, Laithwaite fellow Sejarah Modern di Trinity College, Oxford. memberikan paparan akan kekaguman terhadap pemerintah Lebak yang sudah berani membangun museum Multatuli, menurutnya Indonesia adalah satu-satunya negara G-20 yang tidak bisa menceritakan dirinya sendiri.
Lebih lanjut ia menyatakan kemampuan orang Indonesia untuk menceritakan kisah tentang diri mereka sendiri agar cerita-cerita ini didengar dan dipahami secara global, dan ini fungsi pokok dari Museum Multatuli. Saat ini, kisah-kisah ini diceritakan hampir secara eksklusif oleh orang asing. Mengutip, Tony Reid, dalam paparannya sebanyak 90 persen dari semua artikel akademik dan monograf ilmiah tentang Indonesia yang diterbitkan di luar negeri ditulis oleh orang asing atau orang Indonesia yang memiliki kewarganegaraan asing. Harapan pengembangan Museum Multatuli menjadi pusat kajian disampaikan, daya tarik Lebak akan bertambah jika museum didukung dengan pusat kajian baik perpustakaan dan lembaga penelitian yang representatif.
Kegiatan Simposium pada 12 September 2019 dilanjutkan dengan paparan 15 makalah yang lolos dalam seleksi dalam FSM 2019. Kegiatan dilakukan dalam diskusi panel yang terbagi atas tiga lokasi paparan makalah, Diskusi panel dilakukan di Pendopo Museum Multatuli, Aula Multatuli Setda Pemkab Lebak dan Aula Setda Pemkab Lebak. Rangkain Kegaiatan Festival Seni Multatuli akan dilaksanakan hingga tanggal 15 September 2019 dengan berbagai acara pada setiap harinya. (IAF)