[KLIPING BUDAYA] Tradisi Lisan: Dilestarikan, tetapi Tidak Dipaksakan

0
2964
Kompas (3 Februari 2015)
Kompas (3 Februari 2015)

JAKARTA, KOMPAS – Dari 96 warisan budaya tak benda Indonesia yang sudah ditetapkan pada Jumat (17/10), 14 diantaranya adalah tradisi lisan yang tersebar di sebelas provinsi di Indonesia. Tradisi lisan yang di dalamnya juga memuat banyak kearifan local dan petuah bijak ini perlu dilestarikan.

Namun, antropolog dari Universitas Padjajaran, Bandung, Budi Rajab, mengatakan, pemerintah atau budayawan tidak perlu bersikeras menghidupkan tradisi lisan yang sudah sekarat. “ Kalau memang sudah sekarant, tidak lagi dituturkan, ya biarkan saja mati. Namun, kalau ada bagian yang bisa diselamatkan, ya selamatkanlah. Bisa pesannya atau catatannya tradisi lisan itu,” papar Budi, Minggu (19/10).

Tradisi lisan yang ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda diantaranya adalah Guritan Bersemah dari Sumatera Selatan (Sumsel), Didong dari Aceh, Berahoi dari Sumatera Utara, dan Seloko Melayu Jambi dari Jambi. Tradisi lisan itu, meskipun makin luntur dimakan zaman, masih hidup dan dipraktikan di sejumlah kesempatan. Suku Besemah merupakan suku besar di Sumsel yang berpusat di sekitar Gunung Dempo di daerah Pagaralam dan Lahat.

Guritan Besemah ini sejenis sastra daerah masyarakat. Besemah yang ditampilkan dalam bentuk teater tutur. Penutur menembangkan baik-baik guritan dengan menggunakan sambaing ( bambu yang dipotong, diambil satu ruas, dan dilubangi di ujungnya) dan dililit dengan kain. Sambang ditopangkan di bawah dagu atau kening penutur.

Menurut penutur Guritan Besemah, Vebri Al Lintani, guritan ini pada masa lalu dituturkan pada malam hari di rumah warga dusun yang ditimpa musibah kematian sejak jenazah dikebumikan hingga tiga hari berturut-turut. Penutur biasanya laki-laki berusia 50 tahun ke atas.

Menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Prudentia MPSS, ditetapkannya tradisi lisan menjadi warisan budaya tak benda ini memberikan harapan untuk pelestariannya. Perhatian pemerintah dan masyarakat menjadi lebih besar. Menurut Budi, jika mau diselamatkan sebaiknya pemerintah membuat aturan yang jelas. “Artefaknya itu diselamatkan dulu, dalam bentuk tulisan. Itu menjadi bukti sejarah katanya. (IVV)

Sumber: Kompas cetak (3 Feb 2015)