Kompas (27 Agustus 2015)
Kompas (27 Agustus 2015)

JAKARTA, KOMPAS – Penyusunan Rancangan Undang-Undang Kebudayaan semestinya melibatkan orang-orang yang benar-benar aktif dan paham tentang seni budaya. Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu menggelar rapat kebudayaan untuk menyusun RUU tersebut.

Pelukis Hardi menyampaikan usulan ini meski perumusan RUU Kebudayaan kini sudah sampai pada tahap pembahasan di Badan Legislasi DPR RI. “Apa kebudayaan itu? Siapa pelakunya? Dan apa lembaganya? Semua itu masih menjadi pertanyaan sehingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengadakan rapat kebudayaan,” katanya di Jakarta, Rabu (26/8).

Gagasan tentang forum kebudayaan melalui seminar, konferensi, kongres, dan diskusi budaya sudah disinggung dalam Pasal 33 (d) RUU Kebudayaan. Meski demikian, Hardi berpendapat, rapat kebudayaan perlu digelar khusus untuk penyusunan RUU ini.

Menurut dia, saat ini kata-kata kebudayaan sering kali diobral menjadi hal-hal bendawi. Padahal kebudayaan adalah sesuatu yang abstrak.

“Yang mengerikan, di Indonesia seniman-seniman akan mati karena pemerintah cenderung berorientasi pada ‘seni kerumunan’, yaitu pengerahan massa dan kerumunan, seperti pawai, karnaval, dan lomba. ‘Seni Kerumunan’ seperti ini kadang dicap sebagai kegiatan kebudayaan yang menghabiskan anggaran banyak karena melibatkan massa besar, “ tuturnya.

Sejumlah kegiatan pengerahan massa yang kadang menggunakan stempel kata-kata kebudayaan seperti itu, menurut Hardi, rawan untuk dibelokkan ke ranah politik. Sebaliknya, perhatian pemerintah terhadap para pelaku budaya, khususnya individu-individu seniman, justru kurang.

“Dulu, Presiden Soekarno rajin berkunjung ke seniman-seniman. Beliau benar-benar memperhatikan mereka. Sementara sekarang seniman-seniman sebagai pelaku budaya tak lagi diperhatikan. Mereka bahkan tidak memiliki organisasi, “ katanya.

KOMUNITAS LOKAL

Secara terpisah, Ketua Umum Penghayat Sapta Darma Indonesia Naen Duryono mengatakan, RUU Kebudayaan semestinya menampung aspirasi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Mereka sangat banyak di berbagai daerah.

“Teman-teman di daerah masih percaya tradisi leluhurnya, ini harus diakomodasi. Kalau kami tidak diakomodasi, itu berarti pelemahan,” katanya.

Pasal 16 RUU Kebudayaan menyebutkan, sasaran penyelenggaraan kebudayaan meliputi antara lain hak berkebudayaan, jati diri dan karakter bangsa, serta multikulturalisme. Soal jati diri dan karakter bangsa di sebut beberapa kali pada pasal-pasal awal, termasuk Pasal 3 yang menyebutkan, kebudayaan nasional Indonesia bertujuan untuk meneguhkan jati diri bangsa Indonesia,

“Pasal-pasal itu semestinya dijabarkan ke dalam sesuatu yang lebih kongkret. Jati diri seperti apa? Ini juga menyangkut masyarakat penghayat kepercayaan. Budaya itu kan banyak, termasuk nilai-nilai tradisi dan budaya spiritual di daerah, “ katanya.

Menurut Naen, para penghayat kepercayaan juga ingin berbuat sesuatu bagi bangsa, terutama dalam menjaga tradisi. “Penghayat kepercayaan itu organisasinya ada dan komunitasnya banyak. Negara ini disatukan oleh nilai-nilai tradisi,” katanya.

Dirjen Kebudayaan Kendikbud Kacung Marijan mengatakan, pemerintah telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan draf. Usulan para budayawan juga telah dirumuskan dan dimasukkan dalam daftar inventarisasi masalah. Secara formal akan diajukan lagi setelah proses pembahasan di Badan Legislasi DPR selesai.

“Kami tetap membuka telinga lebar-lebar untuk berdiskusi dengan komponen masyarakat lain guna memperkaya rumusan, termasuk masyarakat tradisi,” katanya. (ABK/IVV)

Sumber: Kompas (27 Agustus 2015)