Di ujung timur Pulau Jawa terdapat tradisi unik saat hari raya Idul Fitri, tepatnya di hari ke-2 bulan Syawal merupakan hari yang istimewa bagi warga Banyuwangi karena di hari tersebut Barong Ider Bumi dilaksanakan. Desa Kemiren, Kecamatan Glagah merupakan salah satu daerah di Banyuwangi yang masih mempertahankan budaya adat tradisi Osing, dimana Barong yang telah berumur ratusan tahun, diarak sepanjang jalan desa mulai dari Kemiren Wetan menuju Kemiren Kulon.

“Masyarakat Desa Kemiren sangat berinisiatif dalam menyelenggarakan tradisi leluhur yang turun temurun ini. Sehingga bisa menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal khususnya adat istiadat Suku Osing Desa Kemiren,” ungkap Suhaimi, tokoh masyarakat Desa Kemiren.

Barong Ider Bumi mulai dilaksanakan pada tahun 1800-an, saat itu di Desa Kemiren sedang terjadi pagebluk atau wabah penyakit yang mengakibatkan sawah-sawah gagal panen bahkan banyak penduduk yang terkena penyakit hingga meninggal. Situasi di Desa Kemiren saat itu sangat mencekam hingga banyak warga yang tidak berani tidur di kediaman sendiri, mereka lebih memilih untuk tidur secara berkelompok dan menghadapi situasi alam bersama-sama.

Usai berpikir bersama, para pemuka masyarakat saat itu mencoba untuk berziarah ke sebuah makam leluhurnya yang diyakini bernama Buyut Cili. Usai berziarah, pemuka masyarakat Desa Kemiren itu mengaku mendapat wangsit melalui mimpi yang mengisyaratkan untuk menggelar upacara selamatan dan arak-arakan melintasi jalan desa. Dari situlah tradisi Barong Ider bumi dilaksanakan, karena Barong merupakan satu-satunya kesenian yang ada pada saat itu.

Selama dua tahun terakhir tradisi ini tetap dilaksanakan dengan sangat sederhana tanpa menimbulkan kerumunan. Kondisi Indonesia yang semakin membaik dalam penanganan Covid-19, pelaksanaan Barong Ider Bumi di tahun ini dilaksanakan lebih meriah dengan tetap menerapkan protokol Kesehatan.

“Meskipun masih dalam keadaan pandemi, tradisi digelar dengan mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Dan kami semua berpesan kepada masyarakat untuk saling menjaga prokes,” lanjut Suhaimi.

Kegiatan dimulai dari pukul 10.00 WIB dengan melaksanakan ziarah kubur ke makam leluhur Buyut Cili, setelah itu mulai dibunyikan alunan-alunan musik Bonang yang mengiringi nyanyian macapat (tembang Jawa) yang berisi doa dan pemujaan terhadap Tuhan. Iringan barong dimulai dengan sembur uthik-uthik yang dilaksanakan oleh 2 orang tetua dengan menebar beras kuning, bunga dan uang logam sebagai simbol mengusir kejahatan dan menolak penyakit. Di belakangnya berbaris 7 orang othek, para Wanita yang membawa bokor beras kuning dengan mengenakan jarit tenun (wastra sakral warisan keluarga Osing). Dilanjutkan dengan para pemudi dengan pakaian tradisional khas Banyuwangi membawa potret para kepala desa sebagai penghormatan kepada mereka yang telah memimpin dan memakmurkan Desa Kemiren. Kemudian dilanjutkan dengan para pejabat dengan menunggang kuda yang dihias. Menyusul belakangnaya Barong khas Banyuwangi berjumlah 12 personel dengan 2 orang sebagai barong, 2 orang penari dengan kostum berbentuk ayam dan sisanya memainkan musik gamelan.

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Sjamsul Hadi sangat mengapresiasi inisiatif masyarakat Osing di Desa Kemiren yang telah menjaga dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.

“Ke depan, kiranya ini tetap dilestarikan oleh generasi muda, sehingga budaya dan adat istiadat Osing Banyuwangi tetap lestari. Ini bukan sekedar atraksi wisata, lebih dari itu tradisi ini merupakan upaya keberlanjutan hidup melalui jalan kebudayaan,” kata Sjamsul.

Arakan barong diakhiri dengan makan bersama tumpeng pecel pithik yang digelar di tengah jalan tempat pemberhentian terakhir barong. Semua warga baik para pejabat, pemain barong, serta para pengunjung saling duduk bersila sederajat menyantap hidangan khas Banyuwangi yang sederhana namun banyak makna. Setelah makan Bersama selesai, kepada desa mengucapkan syukur dan berterimakasih kepada segenap warga yang melaksanakan dan memeriahkan acara ini, kemudian mempersilahkan mereka untuk meninggalkan tempat. (DH)