Pendidikan terkait sejarah dan peradaban perlu diberikan sejak usia dini, hal ini dirasakan oleh pihak Sekolah Dasar (SD) Pangudi Luhur Surakarta. Guna memberi pengetahuan sejarah dan peradaban, pihak sekolah melaksanakan widya wisata ke Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Krikilan pada hari Rabu, 7 Desember 2023. Kegiatan ini dilaksanakan bagi kelas 6 untuk belajar bersama tentang sejarah dan peradaban.
T. Marsono Adi, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD Pangudi Luhur Surakarta mengungkap dalam surat tertulisnya tujuan widya wisata yang dilaksanakan bertujuan untuk, “Belajar tentang situs-situs manusia purba dan kehidupan prasejarah di Museum Manusia Purba Sangiran”.
Guna mencapai tujuan tersebut, SD Pangudi Luhur Surakarta diberi materi melalui koleksi yang ada di 3 ruang pamer Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Krikilan. Selain itu, siswa diajak diskusi terkait tentang koleksi museum sesuai dengan tingkat pendidikannya, dengan cara bertanya apa saja yang mereka saksikan di museum. Dengan antusias para siswa menjawab,
“Gajah”
“Buaya”
“Kerbau”
“Kerang”
“Homo erectus”
“Patung”
“Kura-kura”
Jawaban tersebut mengawali diskusi dengan bahasa yang mudah dipahami para siswa. Jawaban mereka mencerminkan bahwa perjalanan mereka keliling museum sudah banyak merekam koleksi yang dipamerkan. Kemudian dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, dijelaskan tentang kehidupan purba yang pernah terjadi di Sangiran. Perubahan lingkungan laut menjadi rawa, yang kemudian berubah menjadi kehidupan darat dengan bukti-bukti makhluk hidup yang hidup pada masa tersebut.
Setelah diskusi, siswa diajak menyaksikan film berjudul, “Balung Buto” yang merupakan film animasi yang sesuai dengan usia mereka. Film Balung Buto berceritakan kisah rakyat yang mempercayai bahwa dahulu pernah tejadi perang antara kebaikan yang diwakili oleh Raden Bandung melawan angkara murka yang terwakili dari Raja Raksasa, Tegopati. Perang yang akhirnya dimenangi Raden Bandung, kemenangan bagi kebenaran yang merupakan hasil kerja keras. Terjadi proses kerja keras yang dilakukan Raden Bandung agar dapat menang dan mengalahkan Tegopati.
Perang ini mengakibatkan banyak para raksasa tewas dan tulang belulangnya yang besar kemudian disebut masyarakat Sangiran sebagai Balung Buto (Tulang Raksasa). Masyarakat meyakini bahwa tulang itu memiliki makna magis yang kemudian dimanfaatkan masyarakat. Masyarakat memanfaat fosil yang mereka anggap Balung Buto itu sebagai benda magis dan pengobatan. Sebagai benda magis, Balung Buto ini dimanfaatkan sebagai jimat dan penolak bala bagi orang-orang yang mempercayainya. Bagi pengobatan Balung Buto digunakan mengobati orang sakit bahkan hewan juga dapat memanfaatkan Balung Buto guna menyembuhkan penyakit. Bagi ibu yang kesulitan melahirkan, Balung Buto dapat dimanfaatkan guna melancarkan proses kelahiran.
Diakhir film, para siswa diberi kesempatan untuk bertanya tentang film yang baru saja disaksikan. Sebuah pertanyaan dari seorang siswa, “Kenapa dinamakan Sangiran?” Sebuah mitos Balung Buto yang mereka saksikan menjawab pertanyaan tersebut, diawali dengan kata “Sangir” yang berarti mengasah kuku Raden Bandung yang merupakan pahlawan dalam mitos itu. Mengasah (menyangir) kuku yang digunakan sebagai senjata melawan raksasa pimpinan Tegopati, sebuah kisah kepahlawanan yang dapat menjadi pembelajaran bagi SD Pangudi Luhur Surakarta. (Wiwit Hermanto)