Pengakuan Unesco terhadap Situs Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia pada tahun 1996 merupakan sebuah kebanggaan bagi Indonesia dan sudah seharusnya segenap pihak turut dalam upaya melestarikan situs ini. Salah satu pihak yang turut melestarikan situs ini adalah sebuah kelompok kesenian yang hidup di tengah-tengah Situs Sangiran. Kelompok itu menamakan diri Kelompok Tari Purba, mereka merupakan sekelompok masyarakat Desa Dayu, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Mereka berusaha untuk melestarikan Situs Sangiran melalui jalur kesenian tari yang mengetengahkan gerak dan musik disertai rias layaknya di jaman purba menjadi ciri khas mereka.
Karya yang mereka tampilkan mengambil kisah dari kehidupan mereka yang berada di tengah-tengah Situs Sangiran. Karya tari yang mereka bawakan dalam berbagai pementasan menceritakan kisah masa lalu yang terjadi di Situs Sangiran saat manusia purba berjenis Homo erectus berjaya di situs ini. Tari yang dibawakan kelompok ini, “Menceritakan kehidupan manusia purba yang hidup di Sangiran, di awal mereka hidup mencari makan dengan berebut. Kemudian lama kelamaan mereka berpikir bahwa hal itu tidak membawa manfaat sehingga mereka bersatu untuk mencari makanan dan kemudian membagi makanan untuk dimakan bersama-sama”, jelas Warseno selaku ketua Kelompok Tari Purba.
Terdapat pesan dalam tari yang dibawakan kelompok ini, manusia sebagai makhluk sosial harus hidup rukun dalam kebersamaan. Pertikaian akan menimbulkan kesengsaraan bagi semua pihak, kebersamaan dalam kedamaian dalam mencapai tujuan bersama menjadi pilihan terbaik. Pesan tersebut makin kuat tertancap dalam karya yang mereka tampilkan karena anggota kelompok ini terdiri dari berbagai latar belakang sosial ekonomi. Anggota kelompok ini terdiri, “Dari banyak kalangan, ada ibu rumah tangga, perangkat desa, penjaga loket klaster dan lain-lain”, jelas Novi salah seorang anggota Kelompok Tari Purba.
Selama pandemi melanda, kelompok ini harus vakum berkarya dan mulai lagi sejak pandemi usai. Saat ini, Kelompok Tari Purba mulai melakukan regenerasi dengan mengajak anak-anak usia sekolah dasar untuk menjadi penari. “Kami mencoba regenerasi dengan melibatkan anak untuk menari, ada 6 anak dari SD 2 Dayu kami ajak, kami latih secara singkat dan mereka sudah 2 kali pentas. Yang pertama saat perpisahan di sekolah dan kedua di Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Dayu”, ungkap Warseno.
Regenerasi merupakan kunci dalam melanjutkan eksistensi Kelompok Tari Purba dan itu sudah dimulai dengan melibatkan anak-anak usia sekolah dasar. “Ceritanya tetap sama dengan sebelumnya, hanya gerakannya yang sedikit diubah menyesuaikan dengan kemampuan anak-anak”, pungkas Warseno.
Mengambil peran dalam upaya melestarikan Situs Sangiran melalui jalur kesenian merupakan pilihan kelompok ini. Mengambil cerita dari kisah masa lalu yang mampu memberi penjelasan pada masyarakat melalui tari yang dapat mengibur sekaligus mengedukasi. (Wiwit Hermanto)