Pelindungan Paten Alat Musik Tradisional Penting sebagai Upaya Pelestarian Budaya

0
303

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan) melanjutkan Prakongres Musik Tradisi Nusantara dengan topik keenam, pada Kamis (26/8). Topik keenam mengangkat tema “Keadaan Instrumen Musik Tradisi Nusantara”. Sidang prakongres dengan topik keenam ini bertujuan mencari solusi atas permasalahan terkait instrumen atau alat musik tradisi Nusantara. Beberapa hal yang dibahas yaitu mengenai pelindungan paten, pewarisan, pengetahuan dan keterampilan, sumber daya manusia, teknologi, sumber daya alam, dan standardisasi.

Dalam sidang tersebut disepakati bahwa alat musik dan pembuat alat musik tradisional merupakan bagian penting dalam kehidupan dan perkembangan musik tradisi Nusantara. Sidang kemudian merekomendasikan beberapa hal, salah satunya terkait pelindungan hak paten. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)  Musik Tradisi Nasional yang pembentukannya difasilitasi oleh Kemendikbudristek diharapkan mampu melindungi dan mengadvokasi setiap anggotanya terhadap hak paten dan klaim yang kemungkinan terjadi. Karena itulah perlu dikembangkan sebuah sistem pendataan lintas disiplin dengan deskripsi menggunakan kaidah baku pendataan alat musik tradisi Nusantara (bank data).

Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, Kemenkumham, Dede Mia Yusanti, memaparkan materinya yang berjudul “Pelindungan Paten Alat Musik Tradisional dan Alat Musik Berbasis Tradisi”. Dede menjelaskan mengenai beberapa prinsip dalam perlindungan paten, di antaranya melakukan pemeriksaan universal dengan cara membandingkan dengan semua dokumen di seluruh dunia. Kemudian paten diberikan kepada pendaftar pertama dan berdasarkan permohonan. Paten juga mewajibkan pemilik untuk membayar biaya tahunan. “Beberapa paten hanya dilindungi di mana paten didaftarkan. Tetapi paten merupakan hak yang diberikan oleh negara dan diberikan terhadap invensi di bidang teknologi, berjangka waktu, dan dapat dialihkan,” ujar Dede.

Ia juga menegaskan perlu adanya pelindungan paten alat musik tradisional. Pelindungan paten tersebut diberikan apabila ada modifikasi, pengembangan, dan/atau perbaikan pada alat musik itu sendiri. Menurutnya, saat ini banyak permohonan paten yang didasarkan pada alat musik tradisional yang telah didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kemenkumham, yang menunjukkan bahwa alat musik tradisional berpotensi untuk dapat dikembangkan seiring dengan perkembangan teknologi.

Pelindungan paten ini terkait juga dengan keberlangsungan alat musik tradisional dari generasi ke generasi lain. Seperti yang dipaparkan narasumber lain, Rence Alfons, pendiri Molucca Bamboowind Orchestra. Ia memaparkan materi yang berjudul “Keberlanjutan Musik Tradisi Ambon”.  Rence mengidentifikasi beberapa alat musik tradisional Ambon, di antaranya Tifa, Rebana, Marwas Totobuang, Suling Bambu, Hawaian, Ukulele, dan Musik Katreji. Menurutnya, ada tantangan dalam menjaga musik tradisi Ambon, antara lain sistem pewarisan tradisional (opa ke anak, anak ke cucu, dst); keterbatasan instrumen untuk diajarkan ke generasi muda; instrumen making (enggan mewariskan cara pembuatan instrumen ke orang lain), dan pemanfaatan sarana platform digital untuk mendukung pengembangan musik tradisi. Ia kemudian mengusulkan agar dibuat sebuah bank data digital musik tradisi Nusantara, bisa memanfaatkan agregat digital sebagai pasar, melakukan kolaborasi dengan musisi dari luar negeri, dan membuat badan hukum demi keberlangsungan musik tradisi Ambon.  Ambon sendiri, sebagai Kota Musik yang ditetapkan oleh UNESCO, sudah memiliki regulasi yang diatur melalui Perda Nomor 2 tahun 2019 tentang Ambon Kota Kreatif Berbasis Musik yang sekaligus menjawab tujuan ke-11 (Sustainable Cities and Communities) dari tujuan pembangunan berkelanjutan PBB tahun 2030, demi kota dan masyarakat yang berkelanjutan di Ambon, UNESCO City of Music.

Isu keberlangsungan tidak hanya tentang alat musik tradisional, tetapi juga membahas tentang keberadaan produsen atau pembuat alat musik tradisional. Dwi Nugroho dari Idud Sentana Art memaparkan materinya yang berjudul “Eksistensi Pekriya Instrumen Musik Tradisi Nusantara dalam Geliat Inovasi Menghadapi Tantangan Global”. Pria yang akrab disapa Idud itu menyoroti mengenai nasib pekriya instrumen musik tradisi Nusantara. Menurutnya,  keberadaan pekriya instrumen musik tradisi Nusantara cenderung hanya dilihat sebagai tukang yang tidak dihubungkan konkret dengan karya musik. Keberadaan pekriya instrumen musik tradisi Nusantara juga kurang diapresiasi dalam hubungannya dengan kesuksesan sebuah pergelaran musik dan belum dihargai secara spesifik dalam kaitannya dengan hak ekonomi.

Idud kemudian memberikan konsep dan solusi strategis dalam menghadapi masalah tersebut. Ia melihat perlunya pengembangan ruang kreatif yang berkelanjutan untuk memperluas pengetahuan pekriya instrumen musik tradisi dengan orientasi interdisiplin. “Perlu adanya sinergi pekriya dengan komposer dan performer untuk pengembangan instrumen-instrumen inovatif yang saling memperkuat eksistensi bersama, dan diperlukannya ruang atau wadah diskusi intelektual seputar dunia produksi alat-alat musik tradisi nusantara yang konsisten dan berkesinambungan,” kata Idud.

Sementara itu, musisi Gilang Ramadhan yang juga menjadi narasumber, mengungkapkan keprihatinannya mengenai kondisi instrumen musik tradisional Indonesia, yang beberapa di antaranya sudah punah. Ia khawatir tidak banyak anak Indonesia yang masih dapat memainkan alat musik tradisional seperti Gamelan, Sasando, Saluang, Tifa, Kolintang, Kendang, Angklung, atau Kacapi. Menurutnya, jika permasalahan ini tidak ada solusi, maka untuk satu generasi berikutnya nasib alat musik tradisional hanya tinggal sebuah nama.

Gilang mengusulkan agar ada sebuah gerakan untuk memperkenalkan alat musik tradisional ke seluruh anak Indonesia, bahkan kepada dunia. “Kita tidak akan bisa berbicara musik tradisional Indonesia tanpa alat musiknya,” ujar Gilang. Ia berharap, kebutuhan akan alat musik tradisional terus ada dan alat musik tradisional bisa diperjualbelikan secara umum dengan lebih optimal lagi untuk pelestarian dan menaikkan taraf hidup bagi pembuatnya. Karena itu, Lembaga Manajemen Kolektif Musik Tradisi Nusantara dapat menjadi solusi bagi produksi alat musik tradisional agar lebih terjaga kesinambungannya.

Pelindungan atau konservasi budaya juga terkait dengan isu konservasi lingkungan. Ratna Hendratmoko memaparkan materinya yang berjudul “Konservasi Lintas Batas, Konservasi Berkeadilan untuk Alam dan Masyarakat”. Ia mengacu pada Pasal 44 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menjadi payung hukum dan mengatur bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ratna melihat beragam potensi pemanfaatan hutan konservasi, antara lain menjadi wisata alam, panas bumi, air, karbon dan hasil hutan bukan kayu. Ia mengatakan, konservasi merupakan nilai kearifan lokal  sebagai agenda bersama yang telah disepakati untuk saling menguatkan, dan bukan saling melemahkan.

Ratna memberikan beberapa contoh harmonisasi ruang kawasan konservasi dengan masyarakat adat, misalnya masyarakat adat di Papua, Taman Nasional Bukit 12, Kasepuhan Citorek, dan Lore Lindu, yang menghargai dan menjaga alam sehingga tidak menyebabkan kerusakan yang memicu bencana alam.  “Bahkan sebagian besar masyarakat adat Papua hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan dan memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Aturan adat bersifat temporer memberikan kesempatan kepada ekosistem untuk melakukan recovery secara alami,” tuturnya.

Selain itu, dalam prakongres topik kelima ini hadir juga narasumber lain, seperti Jack Arthur Simanjuntak, Dosen Konservatori Musik dari Universitas Pelita Harapan, yang memaparkan materinya berjudul “Instrumen, Teknologi, dan Bunyi Baru”. Jack menjelaskan  mengenai keterkaitan instrumen, teknologi, dan bunyi baru bagi musik tradisi Nusantara, karena instrumen atau alat musik merupakan bagian dari seni dan bunyinya dapat dieksplorasi lebih jauh. Kemudian ada Etnomusikolog, Endo Suanda, yang memaparkan materinya berjudul “Alat Musik Nusantara”. Endo membahas tentang keadaan instrumen dan ragam alat musik tradisi Nusantara. Ia mencontohkan Du’é yang merupakan alat musik petik dari pedalaman suka Taa Wana, Sulawesi Tengah, yang memiliki keunikan dengan hanya memiliki satu dawai namun dapat mengeluarkan bermacam nada. Narasumber lain adalah Seniman dan Budayawan Sunda, Sam Udjo. Udjo menjelaskan Saung Angklung miliknya yang sudah berdiri sejak 1966. Pada tanggal 23 Agustus 1968, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah memutuskan Angklung sebagai alat pendidikan musik di sekolah. Angklung juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO pada tahun 2010. (Desliana Maulipaksi)
Sumber : www.kemdikbud.go.id