Perang Pasifik usai. Jepang hengkang dari Nusantara. 17 Agustus 1945, Hindia Belanda memproklamirkan nama barunya: Indonesia. Di dalam negeri, kehidupan kembali menggeliat. Bagaimanapun, ranah penelitian manusia purba yang beku di masa pendudukan Jepang tak serta- merta kembali hangat seperti semula.
Selangkah demi selangkah, penelusuran jejak kehidupan purba Sangiran kembali dilanjutkan oleh Teuku Jacob, S. Sartono, dan R.P Soejono, murid-murid von Koenigswald.
Baru pada 1953, nyaris sewindu pasca- kemerdekaan RI, fosil rahang bawah dan geligi hominin kembali diumumkan oleh Peter Marks, setelah ditemukan oleh warga lokal di permukaan tanah dekat Desa Glagahombo setahun sebelumnya. Jejak manusia purba yang mula- mula dimasukkan dalam takson Meganthropus itu kemudian dinamai Sangiran 8 (S8), salah satu spesimen Homo erectus.
Tahun i960, fosil rahang bawah hominin kembali ditemukan di dekat Desa Mandingan/Bojong. Temuan yang diidentiflkasi dan diumumkan oleh R. Sartono setahun setelahnya ini kemudian memicu inisiatif untuk melakukan penelitian gabungan di Dusun Tanjung, Dayu, Sangiran tahun 1963.
Sayang, tragedi nasional 1965 kembali membekukan gerakan penelitian. Pasca-tragedi, dalam situasi sulit mendapatkan izin dan pendanaan penelitian kepurbakalaan, muncul gagasan untuk mendirikan lembaga khusus yang memayungi kegiatan penelitian.
Cita-cita R.P Soejono dan kolega-koleganya itu baru dapat terwujud di tahun 1975, dengan didirikannya Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PUSP3N, kelak berganti menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional/Puslit Arkenas).
Di bawah naungan lembaga ini, kegiatan penelitian lingkungan purba Sangiran dapat dilakukan secara lebih intensif. Sejumlah penelitian keijasama an tar lembaga dalam negeri. semisal dengan jurusan Antropologi Ragawi UGM dun Pusat Penelitian dan Perkembangan Geologi turut menuai hasil.
Tahun 1979. dalam rangkaian Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala Yogyakarta, dilakukan penggalian di Ngebung. Salah satu capaian penelitian ini adalah fosil atap tengkorak hominin yang dinamai Sangiran 31 (S31).
Sejak itu, bumi Sangiran seolah tak henti mengantarkan fosil temuan, baik hominin maupun fauna vertebrata, ke meja para peneliti. Hingga tahun ’80-an, puluhan fosil hominin berhasil diangkat dari lapisan bumi Sangiran oleh sejumlah ilmuwan dan lembaga dalam dan luar negeri. Kekayaan ini mengantar Sangiran menjadi salah satu situs penuai hominin yang dipandang oleh dunia.
Sumber: Museum Manusia Purba Klaster Ngebung