Dari sudut ilmu geologi, situs Sangiran merupakan suatu struktur yang berbentuk kubah (dome). Sebelum 2,4 juta tahun yang lalu, Sangiran merupakan wilayah laut dalam. Dibuktikan terdapat banyak fosil moluska laut. Lapisan tanahnya juga memiliki formasi kalibeng, yang menunjukkan daerah endapan dasar laut. Namun karena adanya gerakan lempeng bumi, letusan gunung merapi, dan masa glasial maka air lautnya menyusut. Akibatnya, wilayah Sangiran terangkat ke atas. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan.
Gambar 1.1 Mekanisme Tektonik yang Menyebabkan Kubah Sangiran
Hal tersebut dibuktikan dengan lapisan-lapisan batuan yang pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Kemudian proses patahan, longsoran, dan erosi, menyebabkan terjadi nya perubahan bentuk menjadi lembah. Proses deformasi tersebut telah membelah kubah Sangiran, mulai dari kaki kubah sampai ke pusat kubah ditengahnya, sehingga menyingkapkan lapisan tanah purba dengan sisa-sisa kehidupan purba yang pernah ada di kawasan itu. Lapisan tanah yang tersingkap di Kubah Sangiran tersebut berturut-turut dari pusat kubah sampai ke bibir kubah terbagi menjadi empat formasi stratigrafi yaitu Formasi Kalibeng, Formasi Pucangan, Formasi Kabuh, dan Formasi Notopuro.
Formasi Notopuro adalah lapisan tanah termuda berumur 250 ribu – 15 ribu tahun yang lalu. Pada sekitar 250.000 tahun yang lalu, lahar vulkanik diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang juga mengangkut material batuan andesit berukuran kerikil hingga bongkah. Pengendapan lahar ini tampaknya berlangsung cukup singkat, sekitar 70.000 tahun. Di atasnya kemudian diendapkan lapisan pasir vulkanik, yang saat ini menjadi bagian dari apa yang disebut Formasi Notopuro. Formasi Notopuro terletak di atas Formasi Kabuh, dan tersebar di bagian atas perbukitan di sekeliling Kubah Sangiran. Formasi ini mengandung gravel, pasir, lanau, dan lempung. Juga terdapat sisipan lahar, batu pumisan, dan tufa dengan litologi breksi laharik dan batu gamping tufaan yang diakibatkan oleh banyaknya aktivitas vulkanik. Ketebalan lapisan mencapai 47 meter dan terbagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan lahar atas, lapisan teras, lapisan batu pumice. Berdasarkan adanya lapisan lahar tersebut, formasi notopuro dibedakan menjadi 3 yaitu formasi notopro bawah, formasi notopuro tengah dan formasi notopuro atas. Formasi Notopuro Tengah (lapisan teras) memiliki ketebalan maksimal 20 meter, dan Formasi Notopuro Lahar Atas dengan maksimal 25 meter. Hanya sedikit fauna yang sanggup bertahan pada Formasi Notopuro, karena perubahan iklim dimasa itu yang menyebabkan tanah Sangiran menjadi kering dan tandus. Hewan yang mampu bertahan dikala itu seperti kerbau, gajah purba, dan badak. Sungai-sungai mengering dari sabana subur berlimpah air, Sangiran beralih menjadi stupa yang gersang dan pepohonan menjelma menjadi semak belukar. Pada Formasi Notopuro ini sangat jarang dijumpai fosil, namun di dalam lapisan ini banyak ditemukan artefak batu hasil budaya manusia yang berupa serpih-bilah (sehingga Sangiran dijuluki industri serpih-bilah Sangiran), kapak perimbas, bola batu, kapak penetak, dan kapak persegi). (Karina Permata/Mahasiswa Teknologi Pangan-FKIK UKSW)
Daftar Pustaka
Rusmulia Tjiptadi Hidayat, 2004. Museum Situs Sangiran: Sejarah Evolusi Manusia Purba Beserta Situs dan Lingkungannya. Koperasi Museum Sangiran. Sragen.
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia I. Balai pustaka. Jakarta.
Soerdjono, R.P. ed. 1975. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.