Diskusi Balung Butho dengan SMP Pangudi Luhur Yogyakarta

0
1429

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab di Ruang T. Jacob Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Krikilan, banyak pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh beberapa siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta pada Muhammad Mujibur Rohman, S.Hum sebagai narasumber. Calvin, salah satu siswa  SMP Pangudi Luhur Yogyakarta bertanya:

Apa yang disebut dengan Balung Butho, bagaiamana kisahnya?

Pada waktu itu, sekitar tahun 1930an masyarakat masih percaya bahwa fosil merupakan benda gaib, sebagai sarana pengobatan dan juga sebagai jimat. Kala itu masyarakat menyebutnya sebagai Balung Butho. Masyarakat menganggap Balung Butho sebagai sesuatu yang sakral dan masih banyak ditemukan disekitar mereka. Anggapan ini kemudian mulai diubah oleh von Koeningswald dan Toto Marsono, bahwa anggapan itu salah dan meyakinkan masyarakat bahwa Balung Butho itu adalah fosil yang dapat mengungkap kehidupan masa lalu. Dengan pengubahan anggapan masyarakat ini membuat mereka bersedia membantu penelitian yang dilakukan von Koeningswald yang didukung Toto Marsono.

Masyarakat membantu dengan menyerahkan fosil-fosil yang ditemukannya pada von Koeningswald dan Toto Marsono dengan sejumlah imbalan. Fosil-fosil yang ditemukan masyarakat ini semakin lama semakin banyak dan diletakkan di Pendopo Kelurahan Krikilan. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Museum dibangun diatas tanah seluas 1.000 m2 yang saat ini digunakan sebagai Balai Desa Krikilan dan Museum tersebut diberi nama ”Museum Plestosen”. Dari waktu ke waktu, koleksi museum bertambah banyak sehingga museum tidak mampu menampungnya. Kemudian pemerintah mendirikan bangunan yang lebih representatif yang kemudian makin berkembang hingga saat ini.

Jadi museum yang saat ini dijumpai dan dikunjungi publik, merupakan suatu perjalanan panjang yang dimulai dari penelitian von Koeningswald dan Toto Marsono. Saat ini Museum Sangiran sudah berkembang dengan memanfaatkan teknologi guna melengkapi koleksi kehidupan purba yang tersaji dimuseum. (Wiwit Hermanto)