Dinamika Penelitian Alat Batu Jawa

0
1198

Hingga tahun 80-an, temuan alat batu Jawa von Koenigswald telah menjadi landasan munculnya penelitian dan telaah lanjutan, justru karena ia menuai perdebatan di kalangan publik ilmiah. Ketika alat serpih Sangiran diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh von Koenigswald tahun 1934, para peneliti mengemukakan dalih sulitnya membedakan mana yang alat serpih dan mana yang bukan, karena kecilnya ukuran temuan.

Debat seputar alat serpih Sangiran menguat karena tidak adanya kepastian di Lapisan mana artefak-artefak itu ditemukan. Celah itu membuka peluang munculnya adu argumentasi tentang usia kepurbaan dan siapa manusia pembuat alat-alat ini.

Tak jauh beda dengan budaya alat batu Pacitan. Perdebatan kembali mencuat ketika Helmut de Terra, Hallam L. Movius, dan Pierre Tellhard de Chardin dalam The American Southeast Asiatic Expedition for Early Man menggolongkan temuan von Koenigswald itu di kompleks kapak perimbas dan kapak penetak (Chopper-Chopping Tools Complex) yang berkembang di Asia Tenggara.

Selanjutnya di tahun 1940-an, Hallam L. Movius berpendapat bahwa budaya Pacitan memiliki karakter yang berbeda dengan industry kapak genggam Paleolitik Bawah dan Semenanjung India, Eropa, dan Afrika. Pandangan ini menguatkan teorinya sendiri yang dikenal dengan “Movius Line”.

Tahun 1972, van Heekeren seolah mengoreksi Movius ketika menyatakan bahwa alat batu Pacitanadalah bagian dari kompleks kapak perimbas dan kapak genggam Asia Timur, yang ditemukan di India, Burma, Thailand, Malaysia, dan Tiongkok. van Heekeren mengaitkan budaya Pacitan sebagai produk dari Homo erectus dari kala Plestosen Tengah hingga Plestosen Atas. Klaim itu didasarkan pada artefak yang diangkatnya dari teras Sungai Baksoka yang lebih rendah.

Tetapi tahun 1985, Bartstra justru menolak gagasan pendahulunya itu. Ia menegaskan bahwa usia budaya Pacitan tidak lebih dari 50.000 tahun. Menurutnya budaya alat batu Pacitan adalah manifestasi lokal dan budaya Hoabinhian  (budaya dari Kala Holosen di Vietnam). Di Indonesia budaya semacam ini sejaman dengan budaya Manusia Wadjak (Homo sapiens).

Riuh rendah debat ilmiah seputar usia dan pendukung budaya Sangiran dan Pacitan disebabkan oleh tak adanya pertanggalan absolute situs ini, juga karena sebagian besar artefak ditemukan dari konteks sekunder (bukan dari posisi awalnya), akibat terjadinya erosi dan sedimentasi ulang. Terlebih saat itu belum ada temuan fosil hominid yang sekonteks dan dapat diasosiasikan dengan artefak-artefak ini.

Sumber: Museum Manusia Purba Klaster Ngebung