CERITA PARA RAKSASA: dari Zeus hingga Balung Buto Sangiran

0
1449
Gambar 3. Informasi tentang Balung Buto tampak di dalam ruang pamer Museum Manyarejo, salah satu klaster pengembangan di Situs Sangiran (sumber: BPSMP Sangiran)

Secara etimologi fosil diartikan sebagai sisa tulang belulang binatang atau sisa-sisa tumbuhan dari zaman purba yang membatu atau yang tertanam di bawah lapisan tanah (Badudu dan Zein, 2001). Suatu benda bisa disebut fosil apabila memiliki syarat antara lain: merupakan sisa organisme, terawetkan secara alamiah, pada umumnya padat/kompak/ keras, mengandung kadar oksigen dalam jumlah sedikit, dan berumur lebih dari 10.000 tahun (Palmer, 2002). Fosil sebagai peninggalan penting bagi ilmu pengetahuan juga memiliki sisi lain yang menarik, karena menghadirkan cerita yang berujung mitos dibalik bentuk dan ukurannya maupun kisah penemuannya. Banyak mitos atau dongeng dari berbagai wilayah di dunia yang berawal dari penemuan, imajinasi dan interpretasi tentang fosil. Mitos tentang fosil dapat dijumpai di berbagai wilayah di dunia, seperti Cina, kawasan Mediterania, Yunani, bahkan Indonesia.

Cerita tentang fosil dari Cina melahirkan mitos tentang naga. Pada zaman dahulu di Cina, fosil dinosaurus dianggap sebagai “tulang naga” atau dragon bone sehingga naga dipercaya benar-benar ada. Dalam sejarahnya, penggalian fosil dinosaurus di lokasi yang termasuk provinsi Sichuan dianggap sebagai penemuan tulang naga (Zhiming, 1992), dan bahkan didokumentasikan dalam suatu dokumen (abad ke-3 SM) oleh sejarawan Cina bernama Chang Qu. Karena naga adalah makhluk mitologis-sakral di Cina, segala hal yang berkaitan naga dianggap berkhasiat, termasuk tulang-belulangnya. Oleh karena itu, fosil naga dicari dan dipakai sebagai ramuan obat tradisional.

Penemuan fosil tengkorak gajah purba di Pulau Sicilia, Italia (termasuk kawasan Mediterania, Eropa Selatan) melahirkan legenda Cyclop, raksasa bermata satu dari dongeng Yunani kuno. Tengkorak gajah purba yang sangat besar dianggap sebagai kepala raksasa. Secara anatomis, tengkorak gajah tersebut memiliki lubang rongga hidung lebar (untuk saluran belalai) yang ditafsirkan sebagai rongga mata, karena dianggap terletak di dahi.

Gambar 1. Saluran belalai yang diinterpretasikan sebagai rongga mata (Sumber:http://lms.aau.ac.id/library/ebook/R_1930_03_PB/files/res/download/downloads_0008.pdf)

Bangsa Yunani kuno juga mempelajari fosil purba dan diperkirakan menjadikannya sebagai sumber inspirasi mitos mereka. Sepotong tulang paha hewan purba telah menjadi sumber inspirasi dalam pembentukan mitos bangsa Yunani kuno. Potongan tulang yang dikenal dengan nama tulang Nichoria itu diperkirakan merupakan bagian dari tubuh mamalia purba raksasa yang hidup di selatan Yunani sekitar satu juta tahun yang lalu. Setelah orang-orang Yunani kuno menemukannya, muncul makhluk-makhluk buas dalam mitologi Yunani klasik yang inspirasinya bersumber dari tulang tersebut.

Gambar 2. Ilustrasi orang Yunani Kuno berdiri di samping tulang paha gajah purba
(Sumber: Adrienne Mayor. 2000. The First Fossil Hunters: Paleontology in Greek and Roman Times. Princeton and Oxford: Princeton University Press)

Fosil-fosil hewan purba raksasa, seperti halnya tulang Nichoria, kemungkinan besar menjadi sumber inspirasi dan imajinasi bagi terciptanya makhluk-makhluk buas legendaris dari mitologi klasik. Tedapat hubungan antara beberapa mitos Yunani klasik dengan bukti yang menunjukkan fosil prasejarah ditemukan di tempat yang sama berkembangnya mitos tentang makhluk raksasa tersebut muncul. Orang Yunani kuno diperkirakan menemukan fosil tulang tersebut dalam tambang batu bara muda di sebuah daerah yang dikenal dengan nama cekungan Megalopolis, yang dalam kajian prasejarah dikenal sebagai “medan pertempuran para raksasa”. Banyaknya fosil tulang raksasa di tempat itu memunculkan mitos tetang terbunuhnya seluruh tentara raksasa oleh hantaman petir Dewa Zeus, salah satu dewa utama dalam mitologi Yunani klasik (Mayor, 2000).

“Medan pertempuran para raksasa” juga ditemukan di Indonesia, tepatnya di Sangiran (Sragen) dan Patiayam (Kudus)-kedua daerah ini termasuk dua situs purbakala penting yang ada di Indonesia. Masyarakat Sangiran mengenal istilah raksasa dengan sebutan Buto. Berkaitan dengan fosil, kemudian muncul mitos Balung Buto di masyarakat. Balung Buto merupakan istilah dalam bahasa Jawa, balung berarti tulang, sedangkan buto berarti raksasa. Dengan demikian secara harfiah Balung Buto memiliki arti tulang raksasa.

Nama Balung Buto tidak hanya dikenal sebagai tulang raksasa, tetapi terekam pula di dalam ingatan masyarakat Sangiran dalam bentuk mitos. Selama puluhan tahun penduduk Sangiran percaya kepada mitos yang mengisahkan perang besar antara ksatria yang bernama Raden Bandung dengan raksasa yang dipimpin Raja Tegopati yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran. Dalam pertempuran tersebut banyak raksasa yang gugur dan terkubur di bukit. Oleh karena itu, fosil-fosil yang memiliki ukuran besar yang banyak bermunculan di lereng-lereng perbukitan Sangiran dinamakan Balung Buto (Sulistyanto: 2003). Di samping itu beberapa peristiwa yang terjadi di dalam mitos ini juga terabadikan dalam bentuk nama-nama wilayah di kawasan Sangiran yang oleh sebagian masyarakat masih dipercaya kebenarannya.

Mitos tentang Balung Buto juga dikenal oleh masyarakat yang berdiam di sekitar daerah Patiayam (± 74 Km sebelah utara Situs Sangiran). Narasi mitos Balung Buto yang hidup dalam benak masyarakat Patiayam hampir sama dengan yang ada di Sangiran, yakni mengisahkan peperangan antara raksasa dengan ksatria. Pada akhirnya dalam peperangan tersebut sang raksasa berhasil dikalahkan, namun karena kesaktian sang raksasa maka setelah mati akan hidup kembali setelah jasadnya utuh. Oleh karena itu, tubuh sang raksasa akhirnya dipotong-potong lalu dipisahkan jauh satu sama lain, dan pada akhirnya bukti tulang-belulangnya ditemukan (Siswanto, 2013). Perbedaan mitos di kedua tempat ini salah satunya adalah mitos Balung Buto di Patiayam tidak menyebutkan tokoh yang berperang, sedangkan mitos Balung Buto di Sangiran memunculkan nama Raden Bandung dan Tegopati sebagai tokoh dalam mitos.

Beberapa mitos di atas menunjukkan sisi lain makna fosil bagi masyarakat maupun khazanah ilmu pengetahuan. Secara geografis lokasi tempat mitos berkembang tersebut berjauhan satu sama lain, tetapi mitos-mitos di atas agak mirip dalam satu atau beberapa bagiannya, seperti imajinasi dan interpretasi tentang  makhluk raksasa yang hampir selalu dapat ditemukan dalam mitos-mitos di atas. Mitos tentang fosil ini dapat memperkaya pengetahuan masyarakat, khususnya mitos sebagai produk imajinasi manusia maupun sebagai fenomena budaya. (Muh. Mujibur Rohman)