Anjungan ini berdiri di atas lapisan tanah yang terbentuk 250.000 tahun yang lalu
Notopuro, demikian ahli Geologi menunjukkan keadaan lingkungan Sangiran pada suatu periode tertentu. Telaah kandungan bebatuan pada lapisan tanah, dapat menandai kegiatan geologis, berikut kutipan titimangsanya.
Analisa karakter tanah-sebutlah litologi-sangat membantu para paleontology dan arkeolog mendapat kerangka waktu bagi temuannya.
Demikian, berbagai temuan di lapisan Notopuro dapat dipahami lebih jauh, dalam kaitan kondisi lingkungan hidup kala itu; di seputar wilayah anda berdiri sekarang. Inilah Sangiran, 250 ribu tahun yang silam. Hamparan padang rumput berseling belukar dialiri sungai, dengan iklim kerontang di musim kemarau. Pada Kala Plestosen Atas, Sangiran banyak dihuni fauna pemakan rumput.
Kelompok Bovidae seperti kerbau, banteng, sapi, dan gerombolan babi hutan (Suidae) mendominasi kawasan ini. Hidup pula gerombolan gajah purba (Elephantidae) yang merayah semak belukar, kacang-kacangan, dan bunga – bungaan khas lingkungan stepa. Tak jarang, punggung bukit Sangiran diramaikan oleh banteng dan badak yang berebut pangan dan ruang hidup. Di lembah sungai yang surut, buaya mesti berbagi ruang dengan kuda sungai (Hippopotamidae). Predator seperti Macan Ngandong (Panthera tigris soloensis) kerap singgah di bukit Sangiran untuk mencari makan. Demikian pula, kelompok manusia Homo erectus merambah lembah Sangiran untuk mempertahankan hidup.
Memburu dan diburu!
Meski air masih melimpah di musim hujan, musim kemarau menjadi masa yang tak ramah bagi penghuni Sangiran. Di musim ini, debit air sungai mengecil dan mendangkal. Persaingan pun semakin sengit. Hukum Evolusi pun berlaku : survival of the fittest (siapa siap dia akan bertahan).
Satuan batuan ini memiliki ketebalan sekitar 47 meter, terbentuk dari endapan berbagai material gunung api lalu mengeras menjadi batuan breksi-laharik. Hanya sejumlah kecilfosil vertebrata ditemukan di lapisan terbawah lapisan ini. Mengapa demikian?
Setelah sekitar 250.000 tahun lalu, alam pulau Jawa seakan kembali memproses dirinya. Erupsi gunung api tua yang terjadi selama 70.000 tahun tak henti menggelontorkan kerikil, kerakal, hingga batu bongkahan ke bumi Sangiran.
Seiring terjadinya perubahan iklim yang mengering, tanah Sangiran menjadi semakin gersang. Pepohonan menjelma jadi semak belukar. Sangiran pun berubah menjadi stepa. Pada saatyang sama tumbuhnya gunung-gunung terus menghimpit Sangiran, menyempurnakan bentuknya sebagai kubah. Sungai purba yang mengalir di tengah kubah mengikis dan menguak lapisan hingga kedalaman lebih dari 60 meter. Karena proses itu, fosil-fosil yang pernah terendapkan bermunculan dan terserak di bumi Sangiran. Sumber: Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Dayu