Tradisi Slup-Slupan Menempati Rumah Baru

0
1406
Bancaan sebagai kelengkapan acara slulupan

Selain menjadi warisan dunia yang sangat dibanggakan, wilayah Situs Sangiran masih kental memegang tradisi, salah satunya slup-slupan ialah tradisi selamatan rumah baru. Tradisi ini dilakukan ketika pemilik rumah akan menempati rumah yang baru selesai dibangun atau dibelinya. Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang mereka peroleh. Prosesi selamatan ini dimulai dengan mengundang keluarga besar dan tetangga sekitar, biasanya satu dusun. Setelah tamu undangan hadir, uba rampe berupa nasi gurih beserta pelengkapnya diletakkan di tengah undangan, kemudian didoakan. Setelahnya dibagi untuk dimakan bersama-sama.

Sajian selamatan terdiri dari nasi gurih, ayam ingkung, buah-buahan dan makanan lain

Bagi masyarakat Situs Sangiran, dalam hal ini dusun Ngampon, momentum pindah rumah baru masih dianggap sebagai saat yang sakral. Sebagai penanda awal sekaligus pengharapan agar diberikan keselamatan dalam menghuni rumah, maka dilakukan tradisi slup-slupan. Ritual slup-slupan yang lengkap biasanya diawali dengan orang memegang sapu lidi untuk menyapu, dan satu orang lagi memegang lampu minyak dan tempat air. Dua orang ini akan berdoa terlebih dahulu di depan rumah dan setelah berdoa, kemudian mereka mengitari rumah dengan menyapu dan menyirami sekeliling rumah dengan air. Prosesi tersebut bermakna agar rumah menjadi adem (nyaman) dan tenteram. Sapu lidi dan kegiatan menyapu agar semua kotoran bersih, baik kotoran fisik maupun non fisik. Sedangkan lampu berarti agar mendapat pencerahan dalam hidupnya. Selain ritual tersebut, juga dilakukan pemasangan padi, tebu, kelapa di posisi tengah atap rumah (blandar). Pemasangan ubarampe dimaksudkan agar pemilik rumah mendapatkan penghidupan yang baik sehingga hidup mereka terjamin.  Acara yang dilaksanakan di dusun Ngampon dipimpin oleh Pak Bayan Warsono. Meskipun tradisi Jawa, tetapi sudah sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam. Tradisi ini masih menggunakan kembang setaman tetapi sudah tidak menggunakan kemenyan lagi. Tradisi ini dilaksanakan dengan memperhitungkan hari baik sesuai pertanggalan Jawa. Tradisi yang masih dilakukan di masyarakat harus dilestarikan agar kita tidak kehilangan identitas kita. (Duwiningsih)