Keterlibatan Masyarakat dalam Sejarah Situs Sangiran

0
904

Sangiran memberi sumbangsih terhadap upaya memecahkan misteri “missing link” yang telah diungkap selepas gegap gempita buku Darwin terbit. Untuk memecahkan misteri itu, banyak peneliti menjelajah dunia guna mencari jawaban berupa bukti, data, dan fakta. Salah satu tujuannya adalah Indonesia, khususnya Situs Sangiran.

Sejak Sangiran diteliti oleh von Koenigswald tahun 1930-an yang dibantu oleh tokoh lokal kala itu bernama Toto Marsono. Mereka berdua memiliki jasa besar dalam memperkenalkan Sangiran pada dunia. Pada waktu itu, masyarakat masih mengenal fosil sebagai sebuah benda magis yang bermanfaat sebagai jimat bahkan obat beberapa jenis penyakit. Hal ini didorong oleh sebuah mitos yang dipercaya oleh masyarakat kala itu sebagai “Balung Buto”. Fosil kala itu dianggap masyarakat sebagai suatu benda sakral, banyak berada  ditengah-tengah masyarakat kala itu yang percaya bahwa fosil adalah tulang belulang para raksasa yang mati di bunuh Raden Bandung dalam sebuah peperangan.

Kedatangan von Koenigswald merubah pandangan masyarakat terkait mitos dan legenda Balung Buto menjadi sebuah pengetahuan tentang fosil yang memiliki nilai keilmuan yang tinggi dan juga ekonomis. Masyarakat diajak untuk menyerahkan fosil temuan mereka pada von Koenigswald untuk mendapatkan uang. Masyarakat kala itu bersedia bekerjasama dengan von Koenigswald karena informasi Balung Buto sebagai fosil yang merupakan pengetahuan dari von Koenigswald disampaikan kepada masyarakat oleh Toto Marsono yang merupakan tokoh masyarakat yang bertindak sebagai Lurah Desa. Selaku Lurah, Toto Marsono memiliki pengaruh yang besar dalam merubah pemahaman masyarakat.

Melihat kisah perubahan pemahaman masyarakat itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan von Koenigswald melibatkan masyarakat lokal. Untuk menjembatani itu, Koenigswald memerlukan pengaruh Toto Marsono guna menyampaikan keinginan Koenigswald pada masyarakat.

Kisah masa lalu dalam pelibatan masyarakat dalam penelitian Koenigswald kala itu menjadi cerminan melibatkan masyarakat dalam pelestarian Situs Sangiran. Situs yang bukan saja milik masyarakat Sangiran atau Indonesia saja tetapi menjadi milik dunia. (Wiwit Hermanto)