Patehan dan Jemparingan Jadi Kegiatan Budaya yang Menarik bagi Delegasi Pendidikan G20

0
475

Di hari terakhir perhelatan Pertemuan Pertama Kelompok Kerja Pendidikan G20 atau First G20 Education Working Group (EdWG) Meeting, delegasi G20 dikenalkan dengan budaya Indonesia di Tanah Jawa, yaitu upacara minum teh Patehan atau Royal High Tea dan Jemparingan. Para delegasi G20 mendapatkan pengalaman otentik prosedur komprehensif upacara minum teh tradisional yang biasanya dilakukan di Istana Sultan, yaitu Patehan. Mereka juga mencoba secara langsung olahraga tradisional memanah sambil duduk bersila, yakni Jemparingan.
 
Patehan dimulai dengan arak-arakan Abdi Dalem (pelayan kerajaan) yang mengenakan pakaian tradisional kerajaan dan menuangkan teh sebagai penghargaan kepada tamu dan doa untuk keharmonisan bumi. Nama Patehan sendiri berasal dari “teh”, yaitu jenis minuman yang diseduh. Sesuai dengan artinya, Patehan adalah orang yang bertugas menyiapkan minuman, khususnya teh, dan segala perlengkapan untuk keperluan Keraton Yogyakarta. Ritual ini awalnya merupakan kebiasaan upacara minum teh sehari-hari yang diikuti oleh para sultan sebelumnya, tetapi mendapat sedikit penyesuaian pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Cara menyajikan minuman di Patehan tidak sederhana. Setiap bahan memiliki takarannya dan ada cara-cara khas yang diberlakukan dengan tujuan tertentu. Para delegasi G20 EDWG pun merasakan langsung pengalaman otentik prosedur komprehensif upacara minum teh tradisional yang biasanya dilakukan di Keraton Yogyakarta.
 
Agenda budaya selanjutnya yang tak kalah menarik dan seru untuk delegasi G20 adalah Jemparingan, yakni olahraga memanah Kerajaan Mataram. Tidak seperti memanah konvensional yang dilakukan sambil berdiri, Jemparingan dilakukan sambil duduk bersila. Meskipun sulit dilakukan, para delegasi G20 tetap bersemangat dan mencoba memanah berkali-kali. Dengan mengenakan pakaian tradisional Jawa, mereka tampak sangat menikmati keseruan Jemparingan.
 
Jemparingan yang masih ada saat ini, khususnya di Yogyakarta, dikenal dengan Jemparingan gaya Ngayogyakarta. Gaya panahan ini sejalan dengan filosofi Jemparingan gaya Mataram, yaitu Pamenthanging Gandewa Pamanthenging Cipta. Filosofi ini berarti bahwa busur membentang seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada hal yang ditargetkan. Dalam kehidupan sehari-hari juga berarti bahwa orang yang memiliki ide harus berkonsentrasi penuh pada tujuannya untuk mewujudkan impiannya.
 
Melalui agenda kebudayaan, Ketua G20 EdWG, Iwan Syahril, berharap para delegasi bisa terinspirasi dari budaya gotong royong bangsa Indonesia yang tercermin lewat sejarah, pengetahuan, dan filosofi-filosofi yang ditemukan delegasi dari kunjungan ke Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Menurutnya, hal tersebut sejalan dengan kepemimpinan Kemendikbudristek pada G20 EdWG, yaitu untuk mendorong semangat gotong royong dalam menciptakan pendidikan berkualitas bagi Indonesia dan dunia.
 
Iwan mengatakan, dalam penyelenggaraan EdWG , Kemendikbudristek berupaya memperkenalkan kekayaan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang terbentuk sejak dahulu kala. “Selain menyelenggarakan pertemuan, kami juga memberikan kesempatan kepada para delegasi untuk melihat dan mengalami langsung unsur kebudayaan yang ada di Yogyakarta dan Magelang,” tuturnya. Agenda budaya Patehan dan Jemparingan untuk delegasi G20 EdWG berlangsung pada hari terakhir pertemuan, yaitu Jumat, (18/3/2022). (Desliana Maulipaksi)

Sumber: www.kemdikbud.go.id