Wayang Sejarah: “Sang Airlangga”

Tontonan Gotong Royong edisi I (pertama)

0
1717
wayang sejarah sang airlangga

BPNB DIY, 2020 – Gotong royong merupakan ciri khas warga Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Tradisi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” tercermin dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun 2020 sejarah kegotongroyongan kembali diuji dengan adanya wabah Covid-19 yang membutuhkan komitmen bersama untuk kompak menjalankan dan mengikuti keputusan pemerintah untuk menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Para pekerja seni dan seniman mengalami dampak mental dan ekonomi yang memerlukan sebuah ruang baru untuk membangkitkan ruang ekspresi berkesenian sebagaimana tugasnya dalam menjaga dan mentransformasikan nilai kepada masyarakat.

Untuk itu, para pekerja seni  dengan energi yang sama, akan bergerak melalui platform ‘Tontonan Gotong Royong” sebagai ekosistem kesenian baru ditengah-tengah pandemi dengan komitmen ‘Kreatif sebagai Solusi”.  Tujuan besarnya agar seniman pertunjukan dan para pemakai jasa kesenian  terdorong untuk saling membantu dan mewujudkan kehidupan baru yang lebih baik.

Berangkat dari semangat gotong royong untuk mewujudkan Indonesia Maju, BPNB D.I. Yogyakarta sebagai Unit Pelaksana teknis Ditjen Kebudayaan yang bergerak dalam bidang pelestarian, pemanfaatan, pengembangan dan pembinaan kebudayaan, maka BPNB D.I. Yogyakarta menjalankan amanah untuk turut gotong royong memfasilitasi Heri Lentho beserta para seniman Jawa Timur menyelenggarakan sebuah pergelaran seni pertunjukan Wayang Sejarah: “Sang Airlangga”. Hal ini juga dilakukan untuk memberikan semangat bagi para seniman, agar tetap kreatif dan terus berkarya walau berada pada masa pandemi Covid-19.

Wayang Sejarah “Sang Airlangga”

Tontonan Gotong Royong edisi pertama menggelar wayang sejarah SANG AIRLANGGA pada hari Sabtu, 22 Agustus 2020, 19.00 WIB. di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, jalan Gentengkali 85 Surabaya. Seni pertunjukan yang berlakon Raja Airlangga di awal abad ke 11, ini terbagi dalam 3 babak besar, yang dimainkan oleh sekurangnya 50 orang dengan iringan gamelan dari grup Baladewa Surabaya.

Di babak pertama (Prolog), dikisahkan Sang Garudea sedang mencari Tirta Amerta yang ada ditangan Dewa Wisnu di kahyangan. Sang Garudea ingin membebaskan Winata sang Ibu dari perbudakan Dewi Kadru. Sang Garudea merelakan dirinya jadi kendaraan Dewa Wisnu untuk selamanya, seperti pada relief candi-candi di Jawa  yang dimaknai bahwa nilai keahlian, kedigdayaan yang dikendalikan ilmu pengetahuan memberikan manfaat bagi kedamaian semesta.

Babak kedua (Dialog), berkisah tentang perjalanan Airlangga putera Raja Udayana dari pernikahan politik Jawa Bali dengan Dewi Sekar Galuh Kedaton putri Raja Darmawangsa. Dimana saat pernikahan dihelat diserang Raja Wura Wari yang kemudian digambarkan pelarian Airlangga berguru di lereng gunung Penanggungan. Kemudian dengan kesaktiannya, ia menaklukkan Raja Wura Wari. Dari kemenangan itu, dibangunkan Kerajaan Kahuripan yang  mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Di babak ketiga (EPILOG), bercerita tentang Airlangga yang sedang membangun bendungan Wringin Sapta, agar Sungai Brantas dapat dipakai sebagai sarana irigasi bagi rakyat, dan dapat menghantarkan perahu-perahu dari berbagai negara untuk saling bertukar barang dagangan dan ilmu pengetahuan demi memajukan dunia baru.

Kreatif itu solusi

Dalam Prasasti Kamalagian, sang Maharaja Airlangga menyampaikan himbauan kepada rakyatnya agar menjadi seorang pemutar roda dunia, yaitu manusia yang  mampu menciptakan sesuatu yang  baru dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Spirit itulah yang mendorong para pekerja seni dan komunitas seni pertunjukan di Jawa Timur untuk tekun  berlatih.

Kontributor: Heri Lentho

Pergelaran Wayang Sejarah: “Sang Airlangga”