SANG GARUDA: PERSPEKTIF BUDAYA MASYARAKAT JAWA TENTANG SOSOK PENGAYOM DALAM PANCASILA

oleh Indra Fibiona

0
2488
SANG GARUDA: PRESPEKTIF BUDAYA MASYARAKAT JAWA
Lambang Negara Indonesia Hasil Sketsa oleh Sultan Hamid II beserta Surat dari Bung Karno; sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id (koleksi Yayasan Sultan Hamid II)

BPNB DIY, Juni 2020 – 1 Juni 1945 menjadi hari besejarah bagi republik Indonesia karena lahirnya Pancasila. Berselang 5 tahun kemudian, simbol Garuda yang awalnya diajukan oleh Muhammad Yamin disempurnakan menjadi Garuda Pancasila. Penggunaan burung Garuda sebagai symbol tentunya telah melalui pertimbangan yang matang. Sosok garuda sebagai mitologi dalam kehidupan masyarakat Hindu-Jawa menjadi representasi ideal menggambarkan Pancasila dari beberapa prespektif.  

Lambang negara Indonesia (Garuda Pancasila) memiliki nilai estetik yang bergaya modern. Keperkasaan burung garuda digambarkan dalam kitab Mahabarata, kemudian ditulis ulang di bawah pemerintahan kerajaan Hindu-Mataram, Dharmawangsa (991-1007). Kisah Mahabarata menceritakan sosok garuda sebagai burung yang  menyelamatkan  ibunya dari perbudakan. Kisah mengenai garuda menjadi warisan secara turun temurun di kalangan masyarakat golongan bawah maupun  di kalangan bangsawan istana

Hal inilah yang menyebabkan  banyak candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki relief garuda. Relief dan patung garuda  juga digambarkan sebaga kendaraan Wishnu di beberapa candi tersebut. Simbol garuda juga digunakan Raja Airlangga (1006-1042) sebagai segel atau cap kerajaan.  Garuda tersebut dikenal dengan Garudhamukha. Raja Airlangga juga dinobatkan sebagai Wishnu, dan dibuatkan monumen seperti yang dijumpai  di beberapa candi, salah satunya Candi Dieng.

Simbol garuda juga dijumpai pada benda-benda yang digunakan sehari-hari oleh  masyarakat Jawa kuno, seperti lampu gantung, pengetuk pintu, anglo untuk memasak. hingga lampu pelita. Ragam hias burung garuda digunakan untuk menambah unsur estetik. Simbolisme patung  garuda juga terdapat di lingkungan keraton Yogyakarta, salah satunya patung garuda dengan sangkar berukir. Pada masa pendudukan Jepang juga terdapat mata uang bergambar Wishnu (Airlangga), mengendarai burung garuda. Hal ini mengindikasikan bahwa burung garuda diterima di berbagai kalangan masyarakat Jawa bahkan sebelum lambang negara (Garuda Pancasila) lahir. Oleh karena itu, simbol burung garuda menjadi  bagian dari unsur dekoratif, maupun metafora.

Sosok garuda yang perkasa merupakan manifestasi sifat pengayom. Banyak fragmen cerita mengenai pengayoman garuda, salah satunya dalam cerita mengenai  ibunda Garuda yaitu Dewi Winata sebagai ibu pertiwi yang harus dibebaskan dari perbudakan (penjajahan). Fragmen cerita tersebut memiliki keterkaitan konteks dengan suasana kebatinan perjuangan bangsa Indonesia pada awal abad XX. Perjuangan pembebasan penjajahan serta pengayoman garuda tersebut pada akhirnya mewujudkan sebuah kebebasan, kemerdekaan dan kedaulatan,seperti dalam sila ketiga “Persatuan Indonesia”.

Pengayoman lainnya juga ditunjukkan dengan sikap Garuda saat membantu ibundanya dengan segenap tenaga untuk merawat seribu ekor naga. Kasih sayang Garuda tersebut melambangkan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sosok garuda sebagai pengayom saat ini tidak banyak disadari oleh generasi muda. Mereka sibuk menguggulkan diri dan kelompoknya, seolah-olah lupa bahwa mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain. Polaritas akibat kondisi politik yang telah lalu sudah saatnya diakhiri.  Saling mengayomi dan menghargai saat ini menjadi senjata utama untuk bangkit dari keterpurukan di tengah pandemi. Sudah saatnya garuda-garuda muda  muncul sebagai pengayom yang mengantarkan bangsa ini lebih maju, tentunya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila.

Referensi :

Agus Sachari. 2007. Budaya visual Indonesia: membaca makna perkembangan gaya visual karya desain di Indonesia abad ke-20. Femi Eka

Rahmawati. 2019. Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah Garudeya: Sebuah Kajian Budaya Visual. Universitas Brawijaya Press