Ringkasan Isi Naskah Serat Centhini (I)

0
13730
serat centhini
Serat Centhini Latin (Koleksi Perpustakaan BPNB D.I. Yogyakarta)

 

 

BPNB DIY, Maret 2019 – Naskah Serat Centhini lengkap koleksi milik Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I Yogyakarta, pada tahun 1976 sudah dilatinkan oleh sebuah tim yang terdiri atas: YB. Suparlan, AM. Renang Soebharso, Ny. Sri Punagi Sukardeman, Ny. Surasmini, Mardiyono dan Sutrisno Diponolo. Kemudian pada tahun 1986-1989 melalui Yayasan Centhini, Kamajaya (R. Karkono), menerbitkan hasil pelatinan naskah Serat Centhini tersebut. Penelitian naskah Serat Centhini juga dilakukan oleh tim Peneliti dari BPNB D.I. Yogyakarta yang terdiri dari Drs. Wahjudi Pantja Sunjata, Drs. Sumarno, dan Dra. Titi Mumfangati. Penelitian tersebut meneliti aspek kuliner yang ada di dalamnya. Pada buku hasil penelitian tersebut terdapat pula ringkasan isi Naskah Serat Centhini dari Jilid I – XII. Di bawah ini adalah ringkasan isi Naskah Serat Centhini Jilid I.

Serat Centhini diawali dengan cerita kedatangan Syekh Wali Lanang dari Tanah Arab di Tanah Jawa, yang kemudian menurunkan Sunan Giri I (Sunan Giri Gajah), Sunan Giri II (Sunan Giri Pura), dan Sunan Giri III (Sunan Giri Prapen). Wilayah Giri ditaklukan oleh Sultan Agung Mataram, kemudian Sunan Giri Prapen dan keluarganya sebagai tawanan perang diboyong ke Kerta, yang merupakan ibukota Kerajaan Mataram.  Sunan  Giri  Prapen  mempunyai  tiga  orang  putra  yaitu Jayengresmi, Jayengsari dan Niken Rancangkapti. Ketiga putra tersebut tidak ikut menjadi tawanan perang, karena mereka telah lebih dahulu meninggalkan Giri. Jayengresmi diiringi oleh 2 orang santri bernama Gathak dan Gathuk mengembara melewati wilayah Surabaya, Kediri, Bojonegara, Rembang, Purwadadi, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Purwakarta, Krawang dan Bogor.

Perjalanan Raden Jayengresmi disertai kedua santrinya Gathak dan Gathuk melewati hutan Lodaya kemudian sampai di sebuah pedesaan. Sampai di suatu surau, pada pagi hari disambut oleh penghuni rumah yang bernama Ki Carita. Ki Carita memerintahkan anak perempuannya, bernama Ni Rubiyah, menyiapkan hidangan untuk para tamunya. Hidangan makan berupa nasi, dhendheng menjangan, bayam ati, urap dengan empon-empon dan mentimun. Minuman penyegarnya adalah dawegan siwalan dan legen siwalan. Ketika sampai di Dukuh Prawata di wilayah Krajan Undakan, oleh Ki Darmajati, penguasa Dukuh Prawata, Raden Jayengresmi disambut dan diberi hidangan berbagai macam makanan, meliputi makanan pokok, camilan, dan minuman. Kemudian ketika sampai di Bogor rombongan Raden Jayengresmi diberi hidangan makan oleh Ki Wargapati, yang menjadi Kepala Dukuh di Bogor.

Syekh Ibrahim (Kyai Ageng Karang) kemudian memboyong Jayengsari ke Banten. Jayengsari dijadikan anak angkatnya, sebagai pengganti anak kandungnya yang telah lama pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Jayengsari dan adiknya Niken Rancangkapti diiringi oleh seorang santrinya yang bernama Buras. Mereka mengembara melewati wilayah Surabaya, Bangil, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Pegunungan Tengger, Besuki dan Banyuwangi. Ketika sampai di Dukuh Kandangan di wilayah Lumajang, hidangan yang disajikan kepada mereka adalah wedang kahwa eses ganten. Selanjutnya ketika sampai di Dukuh Argapura, Raden Jayengsari dan adiknya membayangkan makanan yang ingin mereka makan yaitu sekul pulen, panggang pudhak, jangan menir, pecel dhere, dhendheng manjangan gepuk, lalap sledri cambah kemangi, carabikang, koci, mendut, dan timus. Sedangkan abdinya yang bernama Buras membayangkan sekul gaga blenyik putih, pecel iso myang semanggi, dan dhendheng pendhul maesa. Namun ternyata yang disediakan oleh tuan rumah adalah makanan yang dibayangkan oleh Buras.

Dari Banyuwangi, ketiga pengembara tersebut kemudian diboyong oleh Ki Hartati (seorang saudagar kaya) menuju ke Pekalongan. Karena Ki Hartati tidak mempunyai anak, maka Jayengsari dan Niken Rancangkapti dianggap dan diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri. Setelah Ki dan Nyi Hartati meninggal dunia, Jayengsari dan Niken Rancangkapti meninggalkan Pekalongan mengembara lagi melalui perbukitan Dieng dan sampailah mereka di Padepokan Sokayasa yang terletak di kaki Gunung Bisma di daerah Banyumas. Pimpinan Padepokan yang bernama Syekh Akadiat dan isterinya yang bernama Sri Wuryan, sangat senang menerima kedatangan Jayengsari dan Niken Rancangkapi,  di padepokan ini pun mereka diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri, untuk menggantikan anak kandung satu-satunya yang bernama Cebolang, yang pergi meninggalkan padepokan. Cebolang di Sokayasa dikenal sebagai pemuda yang tidak baik pekertinya. Ia pergi meninggalkan Padepokan Sokayasa dengan membawa 4 orang santri yang bernama Saloka, Kartipala, Palakarti, dan Nurwitri.

 

sumber : buku “Kuliner Jawa dalam Serat Centini (Wahjudi Pantja Sunjata, dkk., 2014)” (Koleksi Perpustakaan BPNB D.I. Yogyakarta)
(bpw)