Potrojayan: Kampung Pelestari Blangkon Surakarta

0
2335

Blangkon merupakan bagian perlengkapan pakaian adat pria Jawa yang dikenakan khusus di bagian kepala. Pada jaman dahulu blangkon merupakan pakaian sehari-hari namun sekarang hal itu tidak dapat ditemukan. Blangkon hanya digunakan dalam keperluan-keperluan khusus, seperti upacara adat pernikahan, maupun upacara tradisional lainnya yang memang dipandang penting untuk mengenakan blangkon.

Keberadaan blangkon sebagai hasil budaya Jawa sebenarnya tidak sekedar sebagai pelengkap berpakaian saja namun memiliki makna yang dalam. Blangkon memiliki berbagai motif kain batik, seperti: motif gadung mlati, gringsing, gruda, kawung, limaran lunglungan, menyan kobar, modang, nyesepsari, parang klitik, parikesit, rujak senthe, saton, semen, semen romo, sekar blimbing, sidoarja, sidoluhur, sidoasih sidomukti, truntum, surya ndadari, tirto teja, wahyu tumurun, wulung, gondosuli maupun tunggul wulung. Beragamnya motif blangkon sesuai dengan beragamnya motif kain batik (tradisional) di Jawa. Setiap motif memiliki makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian pemakaian yang benar sesungguhnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika pakaian itu digunakan. Namun sekarang hal itu tidak diketahui oleh masyarakat karena kurangnya informasi serta kepemilikan pakaian adat Jawa ini.

Seiring berkurangnya pemakai pakaian blangkon maka para pembuat blangkon pun ikut “hilang”. Dewasa ini tidak banyak pengrajin blangkon yang menekuninya, karena dianggap tidak dapat memberikan nilai ekonomi yang diharapkan. Konsumen pembeli yang terbatas merupakan faktor nyata penyebab surutnya pengrajin blangkon. Meskipun demikian, di Kota Surakarta terdapat sebuah kampung yang disebut sebagai kampung blangkon, yaitu Potrojayan. Kampung Potrojayan merupakan wilayah Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta.

Bengkel kerja produksi blangkon Surakarta di Kampung Potrojayan

Pada mulanya, pembuat blangkon dipelopori oleh tokoh yang bernama Mbah Joyo. Pada saat ini sudah dilestarikan oleh generasi ke-3, yang bernama Bapak Wardoyo dan ibu Rusmiyati. Keberadaan pengrajin blangkon di Kampung Potrojayan tidak lepas dari jasa Mbah Joyo. Karena, pengrajin blangkon yang ada sekarang merupakan siswa, pekerja yang pernah bekerja di tempat beliau. Pembuatan blangkon di kampung Potrojayan tidak mengkhususkan diri blangkon model Surakarta saja, melainkan pengrajin melayani setiap konsumen yang memesannya.

Pengrajin blangkon Surakarta dengan hasil karyanya

Pembuatan blangkon melalui berbagai proses, antara lain pemilihan bahan motif kain, pengukuran, dan model. Bahan pembuatan blangkon merupakan kain bermotif batik yang disebut destar. Kain lembaran motif tertentu pada kain batik. Destar ini berbentuk blangko (separuh isi dan separuh bundaran) kemudian dipakai di kepala dengan cara mengikatkan. Setelah ditentukan motif maka pembuatan disesuaikan dengan ukuran kepala seseorang dan kemudian dibuat. Agar cara pemakaiannya praktis maka pembuatannya diatur sedemikian rupa dengan penguat pengeras sehingga ketika dilepas tidak terurai. Hasil itulah yang kemudian disebut dengan blangkon. Pada blangkon terdapat beberapa nama bagian, diantaranya cekokan (mondolan), kuncung, wiron, jengger, cetet, dan lain sebagainya.

Blangkon sebagai perlengkapan berpakaian adat, sebenarnya dimiliki oleh beberapa daerah, namun demikian jika menyebtu kata blangkon maka yang muncul adalah Surakarta dan Yogyakarta. Oleh sebab itu, dalam seni busana adat Jawa maka umumnya sebutan blangkon ada dua gaya yaitu gaya Surakarta dan Yogyakarta. Orang awam mengetahui perbedaan blangkon gaya Surakarta dengan Yogyakarta berdasarkan satu bagian blangkon yang dinamakan mondolan. Gaya Surakarta mondolan blangkon berbentuk lebih tipis dari gaya Yogyakarta. Orang sering menyebutnya dengan istilah trepes. Sedangkan blangkon Yogyakarta mondolannya berbentuk bulat atau sering disebut dengan endhog.

Teks dan Foto: Sumarno