Pendhalungan: Sebuah ‘Periuk Besar’ Masyarakat Multikultural

0
2046

Pendhalungan:

Sebuah ‘Periuk Besar’ Masyarakat Multikultural

Oleh: Christanto P.Raharjo

Dalam konteks sosio-politik Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Beberapa peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut antara lain: (a) Peristiwa Jenggawah, konflik antara petani dan pihak PTPN X di Jember, (b) Aksi pembakaran gereja di Situbondo tahun 1995, (c) Kasus perebutan tanah antara penduduk dan militer di Sukorejo Jember, (c) Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998, dan (d) Aksi masyarakat ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan tahun 2002. Peristiwa-peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah-wilayah tersebut beserta komunitas pendukungya sebagai tempat bersemainya kekerasan karena latar belakang budaya Madura sebagai warga mayoritas. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa kekerasan tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini mem-blow up peristiwa kekerasan di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Probolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan wilayah ini dinamakan Pendhalungan.

Pendhalungan dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Pendhalungan memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan’. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Pendhalungan hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other) yang kurang diminati. Di samping itu, masyarakat Pendhalungan dianggap kurang memiliki atraksi kultural yang bisa dijadikan ikon seperti halnya wilayah kebudayaan lain di Jawa Timur (semisal Tengger, Osing, Panaragan, Mataraman, Arek, Madura ataupun Samin) sehingga kurang menarik untuk dijadikan bahan kajian. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan Pendhalungan kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis? Tulisan berikut merupakan naskah awal untuk membahas potret sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Pendhalungan.

Selengkapnya download file pdf: Pendhalungan