Nguras Enceh: Tradisi di Makam Raja-raja Imogiri

0
3622
Peragaan upacara Nguras Enceh pada acara Workshop dan Festival Kesenian Daerah Tahun 2013 yang diselenggarakan oleh BPNB D.I. Yogyakarta. (Foto: Subiyantoro)

Nguras Enceh merupakan upacara tradisi yang ada di Desa Jimatan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya di kompleks makam raja-raja Mataram baik dari Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Setiap tahunnya, tradisi ini dihelat pada hari Jimat Kliwon pada bulan Suro dalam kalender Jawa yang dimulai pukul 09.00 wib. "Nguras" memiliki arti "menguras", sedangkan "enceh" berarti "genthong". Genthong atau enceh adalah wadah semacam tembikar yang terbuat dari tanah liat (lempung) yang telah dibakar sehingga dapat digunakan untuk menampung air. Pada masa lalu, genthong juga dapat digunakan untuk menyimpan padi.

Tradisi ini berangkat dari kisah perjalanan Sultan Agung saat bersilaturahmi dan tukar pengalaman dengan para sahabat-sahabatnya di kerajaan lain. Setelah selesai dan akan kembali pulang, Sultan Agung mendapatkan kenang-kenangan berupa genthong (enceh) yang berjumlah 4 buah. Adapun nama-nama dari genthong tersebut antara lain:
1. Genthong Kyai Danumaya berasal dari Kerajaan Palembang.
2. Genthong Kyai Danumutri berasal dari Kerajaan Aceh.
3. Genthong Kyai Mendung berasal dari Kerajaan Turki.
5. Genthong Kyai Siyem berasal dari Kerajaan Siam (Thailand).

Setelah wafatnya Sultan Agung, genthong-gentong tersebut diletakan di sebelah kiri dan kanan pintu masuk utama di makam raja-raja di Imogiri. Sampai saat ini sebagian masyarakat khususnya di Yogyakarta masih menganggap sakral dan keramat terhadap genthong-genthong tersebut.

Upacara nguras enceh dimulai dengan menyediakan sesaji dan memanjatkan doa secara bersama-sama (tahlilan) kepada Tuhan YME dimana hari sebelumnya telah digelar kirab budaya yang saat ini difasilitasi Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul dan masyarakat Imogiri. Proses selanjutnya yaitu mengisi genthong yang telah dikosongkan isinya dengan air baru dengan cara bergiliran atau bergantian dari orang yang berpangkat paling tinggi sampai dengan masyatakat umum/biasa. Pengisian air genthong sengaja dibiarkan sampai meluber sehingga luberan tersebut dapat diambil atau digunakan oleh siapa saja atau hanya untuk sekedar membasuh wajah. Sebagian masyarakat masih meyakini air tumpahan dari luberan genthong tersebut mengandung manfaat dan keberkahan

Teks dan foto: Subiyantoro