Kawruh Sangkan Paran Dalam Pandangan Masyarakat Jawa-Tengger

0
2830

Kawruh Sangkan Paran Dalam Pandangan Masyarakat Jawa-Tengger

Oleh: Suyami

 

Penelitian dengan judul “Kawruh Sangkan Paran dalam Pandangan Masyarakat Jawa Tengger” ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menggali kepercayaan khas masyarakat Jawa Tengger, khususnya mengenai kawruh sangkan paraning dumadi (pengetahuan mengenai asal-usul dan tujuan akhir hidup manusia). Dalam hal ini meliputi asal mula dari kehidupan manusia, tugas manusia dalam hidup di dunia, tujuan akhir dari hidup manusia, dan perjalanan manusia untuk kembali ke Dzat Illahi.

Penelitian ini berangkat dari permasalahan bahwa orang Jawa-Tengger memiliki paham kepercayaan yang khas. Mereka menganut kepercayaan yang merupakan campuran antara Hindu Buddha Jawa, yang disebutnya dengan istilah agama Budo atau agama Jawa.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa pandangan masyarakat Jawa Tengger mengenai kawruh sangkan paraning dumadi memiliki keunikan tersendiri. Walaupun mereka secara hukum tertulis sebagai pemeluk agama Hindu Darma, namun dalam hal religiusitas dan spiritualitasnya tetap tidak meninggalkan ajaran animisme dan dinamisme peninggalan para leluhurnya.

Pandangan masyarakat Jawa-Tengger mengenai kawruh sangkan paran adalah bahwa manusia itu semula tidak ada, lalu ada, kemudian akan tidak ada lagi. Untuk itu manusia harus mengetahui dari mana dirinya berasal. Kalau semula manusia itu tidak ada di dunia ini, lalu di mana dirinya berada sebelum berada di dunia. Kemudian siapa yang mengadakan manusia sehingga sekarang berada di dunia, dan kemana manusia akan kembali setelah tidak berada di dunia ini lagi. Dengan pemahaman tersebut orang Tengger sangat menyadari dan memahami tentang adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi.

Menurut orang Tengger, segala sesuatu yang berada di alam semesta ini berasal dari satu Dzat yaitu Dzat Illahi. Oleh karena itu mereka memiliki pandangan atau semboyan “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan segala makhluk adalah sama.” Dengan begitu, jika seseorang menolong orang lain berarti juga menolong dirinya sendiri, sebaliknya jika menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri.

Dalam kehidupan masyarakat Tengger ada ajaran tanggung jawab moral, bahwa keberadaan manusia di dunia ini karena diciptakan oleh Tuhan, maka manusia berhutang kepada-Nya. Oleh karena keberadaan manusia di dunia ini atas jasa kedua orang tua dan para leluhur sebagai perantara kelahiran kita di dunia, maka manusia berhutang kepada kedua orang tua dan para leluhur. Dalam keberadaannya di dunia ini manusia bisa memiliki pengetahuan yang didapatkan dari para guru (resi), manusia berhutang pula kepada para resi. Oleh karena manusia di dunia ini hidup dari alam semesta, maka manusia juga berhutang kepada alam semesta. Hutang-hutang tersebut harus dibayar dengan korban suci, baik kepada Tuhan, kepada orang tua dan leluhur, kepada para resi, kepada anak keturunan, dan kepada alam semesta.

Masyarakat Tengger juga sangat meyakini adanya karmaphala, bahwa segala perbuatan itu akan ada balasannya. Perbuatan yang baik akan mendapat balasan kebaikan, sebaliknya perbuatan yang buruk akan mendapatkan balasan yang buruk pula. Oleh karena itu orang Tengger sangat takut untuk melakukan kejahatan.

Masyarakat Tengger tidak mengenal paham “reinkarnasi”. Menurut pandangan masyarakat Tengger, manusia itu mengalami lahir hanya satu kali, hidup satu kali, dan mati pun hanya satu kali. Adapun tujuan akhir dari kehidupan manusia bagi masyarakat Tengger adalah setelah mati kelak bisa kembali ke sisi Tuhan, yaitu di alam surga, di alam kelanggengan abadi, bukan di neraka. Untuk itu manusia harus menjaga jiwa dan kehidupannya untuk senantiasa berada dalam kebaikan dan kesucian dengan cara berpikiran yang baik, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik.

Selengkapnya: Patra-Widya, Vol. 6 No. 3, Desember 2005.