
Jurnal Patrawidya, Volume 15, No. 3, September 2014
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena perkenanNya Balai Pelestarian Nilai BudayaYogyakarta dapat menerbitkan jurnal Patrawidya Seri Sejarah dan Budaya Vol. 15 No.3, September 2014. Jurnal Patrawidya edisi ini memuat artikel tentang sejarah dan budaya, dari peneliti Balai Pelestarian Nilai BudayaYogyakarta, peneliti tamu dan peneliti undangan.
Jurnal Patrawidya tidak mungkin bisa sampai dihadapan para pembaca tanpa kerja sama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan baik ini Dewan Redaksi Patrawidya dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari yang telah meluangkan waktu untuk membaca semua artikel dan memberi pertimbangan terhadap isi artikel. Ucapan terima kasih juga kami sampai kepada editor bahasa Inggris.
Edisi bulan September ini diawali dengan artikel dari Baha’Uddin tentang dampak sosial budaya yang terjadi pada kehidupan bangsawan di Kadipaten Pakualaman pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pada periode tersebut modal Barat banyak mengalir ke Hindia Belanda termasuk daerah Pakualaman. Modal dari para pengusaha Eropa tersebut ditanamkan untuk membuka perusahaan perkebunan dengan menyewa lahan-lahan milik para bangsawan. Fenomena tersebut telah mengubah pola pendapatan para bangsawan dan kemudian hal tersebut juga berdampak terhadap kehidupan dan gaya hidup para bangsawan Pakualaman. Perubahan apa yang terjadi pada para bangsawan Pakualaman dapat ditemukan dalam tulisan tentang Westernisasi dan Gaya Hidup di Kadipaten Pakualaman pada Masa Paku Alam V.
Rekonstruksi gerakan kiri di Klaten ditulis dengan lugas oleh H. Purwana. Menurut H. Purwanta berdasarkan hasil kajiannya gerakan kiri di Klaten telah tumbuh pada awal kemerdekaan dalam bentuk gerakan anti swapraja. Gerakan kiri tersebut tumbuh karena adanya masalah tanah dan kemiskinan. Pada tahun 1950an gerakan kiri mendapat respon positif dan dipandang membela rakyat kecil. Pada tahun 1960an gerakan kiri semakin intensif dan cenderung keras. Hal itu antara lain didorong oleh sikap bupati yang tidak bersedia melaksanakan berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah pusat.
Heri Priyatmoko mengusung artikel tentang Kedaulatan Rakyat dan Solopos: PilarKehidupan Bahasa Jawa dan Kebudayaan Lokal Masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Kedua koran tersebut memiliki halaman suplemen yang berbahasa Jawa. Melalui suplemen berbahasa Jawa tersebut kedua harian itu turut membantu meningkatkan peran bahasa dan sastra Jawa dalam menguatkan identitas lokal masyarakat pembacanya. Media tersebut memberdayakan kebudayaan lokal. Hasil penelitian Heri Priyatmoko menunjukkan bahwa materi yang disajikan dalam halaman suplemen sering digunakan untuk bahan mengajar oleh para guru.
Artikel berikutnya dari Lucia Juningsih yang membahas tentang sejumlah perempuan etnis Jawa yang beremigrasi ke Semenanjung Malaya untuk bekerja di perkebunan karet. Di perkebunan karet mereka menjadi buruh bersama dengan para buruh dari India dan Cina. Selesai bekerja sebagian dari mereka pulang ke Jawa namun ada juga yang memmutuskan untuk tetap tinggal di Semenanjung Malaya. Mereka yang menetap melakukan berbagai strategi dalam upaya membangun masa depan, salah satunya adalah menjadi etnis Melayu. Persoalan mengapa dan bagaimana perempuan Jawa mengambil bagian dalam transformasi sosial dari etnis Jawa menjadi etnis Melayu dapat dibaca secara lengkap dalam artikel Menjadi Melayu: Perempuan Jawa sebagai Agen Transformasi Sosial dalam Masyarakat Jawa di Semenanjung Malaya Tahun 1900-2000.
Devi Riskianingrum menyumbang artikel berjudul Selanjutnya Kami Memilih: Kisah-Kisah Etnis Tionghoa Asal Indonesia yang Kembali ke Taiwan 1950-1960an. Menurut hasil penelitian Devi Riskianingrum pada periode transisi pergantian kekuasaan sejak periode akhir kolonial sampai tahun 1965 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Perasaan tidak aman,tertindas serta masa depan yang suram menyebabkan mereka harus mempertimbangkan kembali keberadaannya di Indonesia. Setelah kemerdekaan pemerintah membuat kebijakan asimilasi dan integrasi etnis Tionghoa yang cenderung represif. Hal itu berakibat terjadinya tindak kekerasan, baik fisik maupun properti yang mereka miliki. Hasilnya, banyak diantara mereka memilih meninggalkan Indonesia demi keamanan. Kondisi tersebut terus berlanjut sampai akhir periode 1960an. Tulisan tersebut mengambil fokus pada etnis Tionghoa yang kembali ke Taiwan, dengan melihat alasan meninggalkan Indonesia, strategi bertahan serta formasi identitas mereka.
Tulisan lain membahas tentang strategi yang dilakukan oleh para petani yang bergerak bidang bidang budidaya rumput laut dalam usahanya untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Emiliana Sadilah melakukan penelitian tersebut di Kecamatan Talango, Sumenep. Hasil penelitainnya menunjukkan bahwa budidaya rumput laut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sumintarsih mengulas secara rinci tentang usaha gula kelapa yang berada di Kecamatan Cilongok, sebagai sebuah unit usaha ekonomi rumah tangga. Dalam kegiatannya nira menjadi
faktor produksi yang penting, selain penderes dan pengindel. Dalam aspek distribusi, pengepul menjadi pelaku ekonomi yang penting dalam usaha gula kelapa. Sumintarsih menunjukkan bahwa jalinan kerjasama dalam usaha gula kelapa ada pembagian tugas secara jelas, suami sebagai penderes dan istri sebagai pengindel. Jalinan pertukaran tidak memperhitungkan untung rugi. Namun jalinan pertukaran antara penderes dengan pengepul tampak adanya eksploitasi. Pemberian pinjaman dan perhatian yang bersifat sosial kemasyarakatan menjadi pengikat antara pengepul dengan penderes. Dan jalinan seperti itu menjadikan mata rantai hubungan kerja antara pengepul dengan penderes sulit diputus.
Edisi September ini ditutup dengan tulisan yang membahas tentang dampak pembangunan Suramadu terhadap mobilitas dan kondisi sosial budaya masyarakat. Tulisan dari Ernawati Purwaningsih tersebut mengambil sampel lima keluarga dari Desa Pangpong, Labang, Bangkalan. Hasil penelitian Enawati Purwaningsih menunjukkan wilayah Desa Pangpong mengalami perubahan pasca pembangunan Jembatan Suramadu. Mobilitas penduduk menjadi lebih bervariasi. Jika tadinya penduduk melakukan mobilitas permanen atau seminggu sekali kini mereka bisa melakukan mobilitas ulang alik. Walaupun daerah Pangpong menjadi lebih terbuka, namun dalam kehidupan sosial budaya tidak mengalami banyak perubahan. Uraian secara lengkap dapat ditemukan dalam artikel yang ditulis Ernawati Purwaningsih.
Ibarat pepatah “tiada gading yang tak retak”, penerbitan jurnal Patrawidya Seri Sejarah dan Budaya Vol. 15 No. 3, September 2014 ini masih ada kekurangannya. Namun begitu kami berharap semoga hasil terbitan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini. Selamat membaca.
Dewan Rekdasi
Selengkapnya download file pdf : Patrawidya Vol.15 No.3 September 2014