Jantra Volume 10 No. 1, Juni 2015

0
2400
Jantra, Vol. 10 No.1 Juni 2015

Jantra Volume 10 No. 1, Juni 2015
Jantra Volume 10 No. 1, Juni 2015

Puji syukur kami panjatkan kehadirat  Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenanNya  Jantra Volume 10, No. 1, Juni 2015 dapat hadir kembali di hadapan pembaca. Edisi Jantra kali ini memuat 11 (delapan) artikel di bawah tema “Keteladanan dalam Kepemimpinan Tradisional” ini dipandang penting karena Indonesia memiliki aneka budaya daerah yang di dalamnya tercermin bentuk-bentuk keteladanan dalam kepemimpinan tradisional.

Adapun ke delapan artikel ini masing-masing yaitu: 1). “Kusumawicitra sebagai Sosok Kepemimpinan Ideal Jawa,” tulisan Akhmad Nugroho dan Anung Tedjowirawan, berisi tentang Kusumawicitra yang menerapkan pedoman seorang raja, yakni: Asthabrata; Sama-bedadana-dhendha; Nistba-madya-utama; Ananta-anti-apariksa-amisesa maupun Panca Pratama sehingga dapat dijadikan sebagai sosok pemimpin ideal Jawa. 2). “Keteladanan dala Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren,” tulisan Arifin Suryo Nugroho, yang menguraikan andil seorang kiai dalam membentuk dan membangun karakter bangsa melalui pesantren, model pendidikan yang khas di pesantren menjadikan kiai sebagai tauladan sepenuhnya dalam berbagai kegiatan hidupnya. 3). “Ajaran Kepemimpinan dalam Beberapa Karya sastra Jawa,” tulisan Aryo Priyanggono dan Nur Rosyid, menguraikan adanya ajaran kepemimpinan tradisional Jawa yang terdapat dalam beberapa karya sastra Jawa serta beberapa wejangan yang pada umumnya menunjukkan berbagai ajaran moral. 4). “Proses Marginalisasi Peran Pemimpin Tradisional pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat,” tulisan Bambang Hendarta Suta Purwana yang menguraikan proses marginalisasi kepemimpinan tradisional masyarakat Dayak Kanayatn dalam konteks sosial dan politik yang melingkupinya, khususnya kehadiran lembaga negara, lembaga kapital dan agen-agen perubahan lainnya. 5). “Peran Pemimpin dan Warga Desa Gumelem Wetan di Banjamegara dalam Penguatan Seni-budaya,” tulisan Bambang Hudayana menguraikan bahwa desentralisasi dan otonomi desa memberikan kontribusi terhadap penguatan seni-budaya lokal. Di tingkat desa penguatan seni-budaya tersebut dilakukan oleh para pemimpin formal, pemimpin informal dan warga sebagai upaya mewujudkan desa wisata berbasis pada potensi lokal. 6). “Wong Pinter sebagai Model Keteladanan Kepemimpinan Jawa,” tulisan Sartini menguraikan wong pinter mempunyai kontribusi sebagai pemimpin informal individual yang mampu memberikan contoh dan mempengaruhi masyarakat dengan nasihatnya. Wong pinter biasanya tidak menonjolkan kelebihannya. Wong pinter bukanlah pemimpin manajer atau eksekutor yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu masalah dan melakukan suatu tindakan karena pada umumnya mereka bukan pemimpin formal, melainkan berkontribusi dalam memberikan pertimbangan kepada masyarakat termasuk para pemimpin mengenai suatu keputusan yang sebaiknya diambil. 7). “Kumbakarna Profil Pahlawan Teladan,” tulisan Endah Susilantini menguraikan Kumbakarna sebagai ksatria tangguh,  diangkat menjadi pimpinan prajurit dan diberi kedudukan di Daksina. Demi membela tanah air, orang tua dan keluarganya, Kumbakarna rela mati tanpa memiliki rasa permusuhan melawan Prabu Rama. 8). “Nilai-nilai Kepemimpinan dan Kepahlawanan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar,” tulisan Hendraswati menguraikan Kepemimpinan, perjuangan, dan kepahlawan Pangeran Antasari diakui secara luas oleh banyak kalangan, karena Pangeran Antasari memiliki model kepribadian luhur yang bisa diteladani seperti jujur, sederhana, hemat dan bersahaja, teguh memegang dasar-dasar ajaran agama dan keyakinannya, dan berjuang untuk kepentingan masyarakatnya. 9). “Kiai pada Masyarakat Desa Kotah Madura,” tulisan Siti Munawaroh menguraikan peran kiai tidak hanya soal agama saja, tetapi sebagai konsultan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan. 10). “Kepemimpinan Tradisional di Pemerintahan Daerah, Menuju Paternalisme Baru,” tulisan Yeremias T. Keban menguraikan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia telah memberikan peluang terpilihnya tokoh-tokoh terdidik untuk menjadi pemimpin formal di daerah seperti bupati dan walikota, figur pemimpin harus lebih rasional dalam menggunakan kekuasaannya dan menunjukkan kebaikan hati yang tulus, serta moral dan integritas yang tinggi untuk kepentingan publik. 11). “Keteladanan Kepemimpinan Trah Banakeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas,” tulisan Suyami menguraikan komunitas Trah Banakeling mcmpunyai sistem kepcmimpinan yang bersifat tradisional dan berbeda dengan sistem kepemimpinan pada masyarakat umum. Sistem kepemimpinan dalam kehidupan warga Trah Banakeling yang begitu kuat mengikat ketaatan seluruh warganya.

Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yang telah bekerja keras membantu dalam penyempurnaan tulisan dari para penulis naskah sehingga Jantra edisi kali ini bisa terbit.

Selamat membaca.

Selengkapnya Jantra Vol. 10 No. 1 Juni 2015