Jurnal Jantra Volume VII No. 2, Desember 2012

0
3247

Jantra_VII-2_2012

Jurnal Jantra Volume VII No. 2, Desember 2012

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas perkenanNya Jantra Volume VII No. 2, Desember 2012 dapat hadir kembali di hadapan pembaca. Edisi Jantra kali ini memuat 10 (sepuluh) artikel di bawah tema Musik dan Lagu. Tema ini dipandang penting karena Indonesia memiliki aneka budaya daerah yang tercermin pada musik dan lagu di berbagai daerah tersebut.

Adapun ke sepuluh artikel ini masing-masing yaitu: 1). Musik dan Lagu pada Pengamen Anak Jalanan di Bandung yang ditulis oleh Ani Rostiyati, yang menguraikan tentang keberadaan pengamen anak jalanan yang tidak terlepas dari kemiskinan dan penelantaran orang tua. 2) “Bershalawat Bersama Habib: Transformasi Baru Relasi Audiens Muslim NU di Indonesia,” yang ditulis oleh Nur Rosyid, menguraikan tentang tradisi shalawat yang berkembang dari Surakarta dan cukup menarik untuk dikaji karena ada perkembangan yang signifikan dalam hubungan antara praktik keagamaan dan industri budaya. 3). “Kesenian Rebana (Musik dan Lagu Tradisional Islami),” yang ditulis oleh Rubingat, menguraikan fungsi kesenian rebana sebagai hiburan, komunikasi, estetis, pengungkapan simbolik, respon fisik, penguatan dan penyelarasan norma-norma sosial, media dakwah dan ritual religi. Dalam media dakwah dan adat religi aktifitas kesenian rebana hadir dari berbagai kegiatan kelompok pengajian, kegiatan peringatan hari besar islam, tasyakuran, Walimatul Urusy, Walimatul Khitan, Walimatul Hamli, maupun perayaan yang lain 4) ” Kesenian Tradisional Kenthongan Wahana Remaja dan Pemuda Purbalingga Mencintai Kesenian Rakyat,” yang ditulis oleh Th. Ani Larasati menguraikan bahwa pada umumnya kenthongan digunakan untuk ronda atau siskamling, mengundang orang untuk datang ke suatu pertemuan, atau menandai waktu ibadah, namun dalam perkembangannya kenthongan menjelma menjadi seni musik tradisional yang indah, rancak, dan semarak. 5) “Musik Cengklung: Dari Tanah Lapang ke Panggung Hiburan” ditulis oleh Sri Retna Astuti menguraikan bahwa musik cengklung berawal dari kebosanan para pangon dalam menunggui ternaknya makan rumput. Untuk mengusir kebosanan itu salah satu dari para pangon ini menciptakan satu alat musik dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya, yaitu dengan menggunakan suket grinting dan payung krudhuk yang akhirnya terciptalah satu alat musik semacam gitar yang dimainkan dengan cara dipetik, dinamakan cengklungan. 6). “Makna Filosofis “Tembang Ilir-ilir” karya Sunan Kalijaga,” yang ditulis oleh Endah Susilantini, menguraikan bahwa setelah berguru kepada Sunan Bonang dan Nabi Khidir, Sunan Kalijaga menjadi ulama yang cukup terkenal, karena kecerdasannya dan kesaktiannya. Kecuali sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai seniman dan budayawan. Hasil karya Sunan Kalijaga yang sampai sekarang cukup populer adalah tembang Ilir-Ilir, yang mempunyai makna lambang yang sangat dalam, yang harus ditafsirkan secara jernih. 7). “Melagukan masa Lalu, melantunkan Identitas: Peran Kapata dalam Studi Sejarah Budaya di Maluku,” yang ditulis oleh Marlon Ririmasse menguraikan bahwa kapata adalah tradisi bertutur di Maluku yang dilantunkan dengan berirama. Syair yang disampaikan dalam bentuk nyanyian rakyat ini umumnya merupakan kisah-kisah yang terkait dengan sejarah setempat. Bagi masyarakat lokal di kepulauan ini kapata merupakan tradisi yang menjadi salah satu penanda identitas lintas generasi 8). “Kesenian Madihin, Perpaduan Antara Musik, Lagu dan Kecerdasan Linguistik Etnis Banjar,” yang ditulis oleh Hendraswati menguraikan bahwa kesenian madihin adalah salah satu bentuk kesenian tradisional Banjar yang memadukan antara unsur seni suara dan seni musik. Kesenian ini merupakan penyampaian jenis sastra lama yang berbentuk syair atau pantun yang diungkapkan secara lisan dan spontan dengan diiringi oleh alat musik terbang (tarbang) atau rebana. 9). “Makna Filosofis dalam Lagu-lagu Dolanan Jawa: Kajian Serat Rarya Saraya,” yang ditulis oleh Suyami berbicara tentang lagu-lagu dolanan Jawa, yang sepintas lalu hanya merupakan rangkaian kata-kata yang dilagukan guna mengiringi sebuah permainan, ternyata di balik rangkaian kata-kata tersebut mengandung makna simbolik atau makna filosofis yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada pendengar atau penikmatnya. 10). “Upaya Pelestarian Kesenian Daerah: Musik dan Lagu” ditulis oleh Sukari menguraikan tentang upaya pelestarian dari keberadaan kesenian daerah terutama musik dan lagu perlu jejaringan dan kerjasama dari semua unsur, yaitu pemerintah, pelaku seni, masyarakat dan swasta. Pelestarian merupakan upaya mewariskan sesuatu kepada generasi penerus atau generasi muda yang siap melestarikan. Untuk pelestarian dengan generasi muda ada 3 jalur yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yang telah bekerja keras membantu dalam penyempurnaan tulisan dari para penulis naskah sehingga Jantra edisi kali ini bisa terbit. Selamat membaca.

 Redaksi Jantra

Selengkapnya download file pdf : Jantra_Vol._VII_No._2_Desember_2012