Oleh : Ivan R.B Kaunang[1]
Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu isu globalisasi. Ada lima dimensi yang terjadi dalam proses globalisasi, yaitu (1) ethnoscape, mengalirnya para imigran dan turis ke berbagai negara; (2) technoscape, terciptanya mesin, pabrik, dan perkembangan teknologi canggih yang dihasilkan dari berbagai kawasan dunia; (3) finanscape, mengalirnya arus pertukaran uang dan saham pada pasar bebas sejalan dengan arus informasi; (4) mediascape, melimpahnya informasi melalui berbagai (bentuk) media ke berbagai belahan dunia (internet, cyberspace) yang mempermudah komunikasi antar dan inter pelaku korporasi; (5) ideoscape, derasnya gerakan ideologi terutama akibat inspirasi ide-ide pencerahan (rasionalitas) Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan, keterbukaan dan kesejahteraan.[2] Ke lima gerakan (dimensi) ini oleh Ardana Putra[3] diselipkan (ditambahkan) dua dimensi, yaitu: (1) leisurescape, suatu fenomena yang menggambarkan kecenderungan wisata nonfisik dalam arti wisata terjadi (dilakukan) melalui penggunaan media televisi, internet, dan media elektronik lainnya, jauh dari pengertian wisata yang sesungguhnya; (2) Sacriscape, menyangkut distribusi ide dan nilai-nilai keagamaan, fundamentalisme, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha maupun Yahudi. Pariwisata sebagai salah satu isu globalisasi, erat hubungannya dengan dimensi ethnoscape dan dan leisurescape.
Adanya pengaruh arus budaya global di Minahasa, implikasinya pada praktik-praktik budaya kapitalisme, seperti munculnya industri budaya yang mengacu pada turistifikasi bentuk-bentuk budaya, sebagai industri hiburan, budaya massa, budaya populer, dan budaya konsumerisme. Tari Maengket[4] mengalami pergeseran bentuk, fungsi dan pemaknaan. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan fungsi TM adalah turistifikasi. Istilah turistifikasi dalam tulisan (judul) ini mengandung arti sesuatu yang awalnya bukan untuk ditujukan atau digelarkan bagi wisatawan (tourism) sebagai (suguhan) seni hiburan, tetapi sekarang ini dipertunjukan untuk wisatawan sebagai seni hiburan (tourist arts). TM Minahasa sebagai kesenian tradisi yang awalnya sakral mengalami pergeseran fungsi dan pemaknaan ketika berhadapan dengan wisatawan (kegiatan kepariwisataan). Dampak pariwisata terhadap lingkungan penerima, di mana suatu seni budaya dan masyarakat dijadikan sebagai produk (objek) pariwisata disebut turistifikasi.[5]
Selain itu, membicarakan pariwisata terkait erat dengan ekonomi dan pariwisata. Aspek ekonomi mengarah pada pariwisata sebagai suatu industri jasa. Kesenian (seni budaya) merupakan salah satu faktor penting sebagai bagian dari industri budaya dalam pembangunan pariwisata suatu destinasi. Sebagai atraksi wisata melalui berbagai macam kesenian menambah kualitas dan keanekaan suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW), selain Objek Atraksi dan Daya Tarik Wisata (ODTW).
Turistifikasi hadir sebagai bagian dari industri pariwisata, relasinya dengan kebutuhan untuk mengonsumsi penduduk asli dan kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global yang sedang berkembang sekarang. Hal semacam ini, tidak bisa ditolak dan tentu saja mengarah pada turistifikasi kebudayaan sejalan dengan pelayanan jasa yang ditawarkan oleh industri pariwisata dengan menjual pertunjukan-pertunjukan kesenian (seni pertunjukan), ritual-ritual (atraksi-atraksi, gelaran adat) arsitektur, kuliner, dan sebagainya sebagai paket tour.
Membahas kesenian TM dan seni budaya lainnya dalam konteks pariwisata (tourism) di Minahasa, Sulawesi Utara secara akademik masih sangat kurang. Hal ini terkait dengan apresiasi masyarakat secara umum dengan kesenian dan kebudayaan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Apresiasi masyarakat dimaksud, tidak terbatas pada masyarakat (penduduk/pendukung) pada umumnya, tetapi juga dalam hal ini tidak bisa lepas dari keterlibatan unsur (ke)kuasa(an) yaitu pemerintah (penguasa politik), pemodal atau kuasa modal (kapitalisme) dalam dinamika perkembangan seni budaya lebih khususnya TM Minahasa. Masih terkait dengan apresiasi di atas yang relatif sangat kurang, sebagai ukurannya, yaitu sulitnya menemukan sumber-sumber representatif kesenian lebih khususnya TM di Minahasa berupa buku teks yang mengkaji khusus Tari Maengket dan kesenian Minahasa pada umumnya.
Sumber Tari Maengket Minahasa
Sepanjang pengetahuan penulis melalui observasi lapangan dan studi dokumen (khususnya penelusuran dan penemuan buku teks), sumber buku TM relatif ada. Sumber data TM pada umumnya merupakan bagian dari isi buku tertentu, selain berupa brosur, buklet, tulisan populer dalam koran, majalah atau bacaan di internet yang terbatas kajiannya. Selain itu, informasi Maengket lebih banyak dilakukan oleh mereka yang bergerak dalam industri (jasa) pariwisata sebagai bagian dari atraksi wisata. Sumber tertulis sejarah kesenian di Minahasa (sangat) langka, hal ini jika dibandingkan dengan sumber-sumber (ke)seni(an) rupa yang lebih mudah didapatkan dengan adanya peninggalan-peninggalan kebudayaan materi seperti tradisi waruga (kuburan batu kuno dengan berbagai ornamennya) di Minahasa.[6]
Usaha yang terarah dan terprogram untuk menginventarisasi dan mendokumentasi seni musik dan seni tari di daerah Sulawesi Utara, termasuk Minahasa, baru dilakukan pada tahun 1977. Penelitian ini diketuai oleh Ticoalu Lomban (1979) dengan laporan berjudul “Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara”, di bawah Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (P3KD) Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Utara. Adapun yang sempat diinventarisasi adalah Tarian Maengket Imbasan, bukan Tarian Maengket yang “asli” di samping tari-tarian tradisional yang lain, tari modern dan tarian kreasi baru. Laporan penelitian ini relevan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui potensi kesenian yang pernah ada di Minahasa dan yang masih berkembang sampai sekarang ini terutama laporan TM.
Satu-satunya sumber representatif, berupa (sudah dalam bentuk) buku adalah karya yang ditulis oleh (Dr) Perry Rumengan (M.Sn), yaitu “Maengket: Seni Tradisional Orang Minahasa: Perkembangan dan Permasalahan (Jilid I)”; “Maengket, Seni Tradisional Orang Minahasa: Estetika, Struktur Musik, Tari dan Sastera (Jilid II). Secara umum kedua buku ini monumental, dalam pengertian, bahwa belum ada buku teks TM yang purna seperti karya ini. Pada umumnya sebagaimana dijelaskan masih dalam bentuk naskah-naskah ketikan atau bagian (kecil) dari isi suatu buku. Walaupun kajian buku ini masih terperangkap dalam lingkup (pendekatan) kajian seni pertunjukan, di mana struktur tari dan bagian utuh lainnya masih digambarkan secara positivistik atau bersifat enografi TM, seperti bentuk, struktur, dan penyajiannya, akan tetapi buku ini merupakan satu-satunya buku teks yang ada.
Karya lain yang (cukup) representatif adalah penelitian Kaunang (2010) dalam bentuk disertasi dengan judul “Komodifiasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara di Era Globalisasi”[7]. Kajian ini dilihat dari sudut kefilsafatan ilmu, secara ontologis (eksistensi TM sebagai seni sakral dan seni profan), epistemologi (penggunaan teori-teori mutakhir, varian teori postmodernisme: teori komodifikasi, teori budaya populer, teori dekonstruksi, dan teori (post)representasi), dan aksiologi (dampak dan makna TM pascamodern) sudah tentu berbeda paradigmanya dengan kajian-kajian TM yang (sudah) pernah ada.
Selanjutnya, hasil penelitian (tesis) yang disusun oleh Sunarmi (2004) dengan judul “Tari Maengket: Perspektif Pemikiran di Balik Ritual Pergaulan di Minahasa” pada Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Seni (STSI) Surakarta. Di dalam tesis ini, Sunarmi menyatakan bahwa TM merupakan salah satu bentuk tari pergaulan rakyat, yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi secara berkelompok yang penyajiannya dilaksanakan dengan paduan gerak, nyanyi sastra serta diiringi alat musik tambor. Penyajian terdiri dari tiga babak yang menjadi tema serta disajikan sekaligus menjadi satu bentuk sajian berurutan. TM merupakan ritus yang ada simbol-simbolnya sebagai pesan, sebagai penampakan dari tiga lingkaran hidup manusia, yaitu pangan, papan, dan kembang biak. Di dalamnya terkandung dua hal dalam komunikasinya, yaitu secara vertikal kepada yang kuasa (dunia atas) dan horisontal sebagai tata kekerabatan hingga membentuk suasana kejiwaan masyarakat Minahasa. Secara spasial penelitian ini terfokus pada salah satu suku(bangsa) di Minahasa yaitu etnik Tombulu, sedangkan fokus tematis pada latar belakang pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar konseptual sehingga membentuk proposisi artistik dalam penyajiannya. Tesis ini menggunakan pendekatan fenomenologi, etno-art, hermeneutik, dan simbolik, dengan sudut pandang (paradigma) kajian seni pertunjukan.
Selanjutnya karya Suoth (2005) dalam bentuk laporan penelitian dengan judul “Kajian Nilai Budaya Tarian Maengket” dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado, menyatakan bahwa TM telah menjadi alat hiburan dan menjadi budaya populer di kampung-kampung di Minahasa dalam berbagai kegiatan masyarakat. Dijelaskan pula adanya pembagian kelompok umur, dengan klasifikasi anak-anak, remaja, dan kelompok dewasa dalam pelaksanaan TM. Penelitian ini dengan pendekatan deskriptif, menggambarkan secara umum arti dan sejarah singkat TM, di samping kajian nilai-nilai budayanya.
Sekilas Tari Maengket
Maengket sekarang ini dikenal sebagai suatu tari dan nyanyian. Nyanyian-nyanyian Maengket awalnya adalah bagian dari suatu upacara foso ritual, sakral (suci), yang lahir dari suatu tradisi budaya mapalus (gotong-royong) masyarakat agraris di Minahasa dalam kegiatan bercocok tanam, yang kemudian berkembang sampai sekarang.
Membicarakan mapalus, erat kaitannya dengan corak kehidupan leluhur Minahasa masa lampau dalam tradisi pertaniannya. Dari tradisi pertanian dengan masyarakat dan budaya agrarisnya dikenal adanya (nyanyian) Maengket yang kemudian (sekarang) disebut sebagai tari. Sambil menyanyi mereka kemudian berdiri, membentuk lingkaran, sambil berpegangan tangan satu dengan yang lain, gerakan dimulai dengan selangkah maju, selangkah mundur, selangkah ke kiri dan ke kanan, dan tangan mengikutinya, diangkat ke atas diturunkan, begitu seterusnya sampai tidak terasa malam semakin larut bahkan bisa sampai subuh/pagi. Gerak-gerik tubuh yang secara sederhana ini merupakan hal yang khas mengikuti nyanyian-nyanyian tradisi di Minahasa yang berkaitan dengan alam kepercayaan (kosmos) mereka kepada yang Mahakuasa.
Apa pun Maengket, nyanyian atau tarian, tetapi kenyataannya sekarang, Maengket telah terangkat dan berkembang menjadi tiga tema dan menjadi milik budaya bersama Minahasa. Tarian ini telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam corak kehidupan (budaya) orang Minahasa. Ketiga tema Maengket dapat dibawakan sekaligus secara terstruktur (babakan) yang dimulai dari tema Maowey Kamberu, dilanjutkan dengan Rumamba(k), dan diakhiri dengan Lalayaan. Sekarang ini, dapat saja dibawakan satu atau dua tema saja, sesuai dengan situasi dan konteks acara. Misalnya, yang berkaitan dengan pesta pernikahan, dibawakan satu tema saja, yaitu TM Lalayaan. Untuk peresmian rumah baru, gedung baru dan sejenisnya, dibawakan TM Rumamba. Kemudian yang berhubungan dengan ucapan syukur perorangan, komunitas tertentu, kegiatan pengucapan syukur desa, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan sebagainya, dibawakan TM Maowey Kamberu.
Menurut Rumengan, Maengket awalnya bukanlah suatu tari sebagaimana yang di kenal sekarang ini. Maengket lebih tepat kalau disebut “seni Maengket” yang di dalamnya terdiri atas seni musik (alat musik), seni vokal atau nyanyian, dan seni tari (gerakan). Maengket dikatakan sebagai suatu tari, adalah sesuatu yang baru dikenal awal abad ke-20. Lebih lanjut dikatakannya seperti di bawah ini.
“Pada masa lampau para leluhur kita tidak menyebut Maengket itu sebagai tari tetapi disebut Maengket saja, karena itu sebenarnya adalah nyanyian dan bahasa syair yang dominan digunakan adalah bahasa Tombulu. Jadi sebenarnya Maengket itu asalnya dari Tombulu. Dapat dikatakan bahwa pelopor Maengket itu sebenarnya adalah dari suku Tombulu. Hal ini dapat kita ketahui dari fungsi Maengket itu sendiri dalam tradisi budaya agraris masyarakat Minahasa tempo dulu adalah untuk panen padi ladang, kebun kering, bukan sawah” (Wawancara, Rumengan, 30 April 2009).
Dapat dipastikan bahwa nyanyian dan tarian yang kemudian dinamakan TM itu berawal dari upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan panen padi. Apa yang kemudian dikenal sebagai owey kamberu adalah berasal dari suatu foso, tarian sakral yang mengagungkan panen berhasil, demikian pula tarian-tarian yang kemudian dikenal sebagai maramba dan lalayaan yang berasal dari masyarakat suku (tribal society) yang telah menetap di suatu wilayah tertentu (Leirissa, dalam Anonim 2006: 197).
Turistifikasi Tari Maengket Minahasa
Fenomena turistifikasi Tari Maengket Minahasa menunjukkan hal yang biasa, karena di banyak tempat Tari Maengket Minahasa sudah menjadi atraksi wisata dan dapat disajikan dalam berbagai peristiwa (pertunjukan), dan dalam waktu, ruang, dan (sembarang) tempat. Fenomena turistifikasi memperkenalkan TM sebagai bagian dari pengembangan industri (jasa) pariwisata, dan hal ini menimbulkan banyak permasalahan sebagai akibat pemanfaatan TM sebagai daya tarik atraksi wisata untuk konsumsi (hiburan) wisatawan. Pariwisata juga merupakan salah satu bentuk penjajahan dalam bentuk yang berbeda (neokolonialisme), di mana setiap Negara destinasi (Daerah Tujuan Wisata) berusaha mengemas seni dan budayanya untuk di jual bagi wisatawan dengan harga yang (relatif) terjangkau (murah), sedangkan wisatawan memiliki nilai mata uang yang lebih besar nilainya (dolar) dari jumlah rupiah destinasi.
Dikatakan demi dolar wisatawan, seluruh komponen, pekerja di bidang jasa pariwisata tidak peduli (tidak tahu atau pura-pura tidak tahu) padahal label TM adalah tari sakral (suci), yang mereka tahu adalah bagaimana mendatangkan dolar (keuntungan ekonomis) dengan sajian atraksi TM.[8] Proses penyajian seni pertunjukan TM, mulai dari ide, gagasan, persiapan dan pelaksanaan pertunjukan untuk (hiburan) atau untuk menyenangkan wisatawan adalah turistifikasi.
Turistifikasi TM diadakan karena adanya wisatawan dalam rangka memenuhi kepentingan pariwisata selain terpacunya kreativitas seniman TM, juga munculnya organisasi-organisasi sanggar, tim-tim kesenian TM Kota dan Kabupaten, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan industri jasa (paket-paket tour) pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, untuk kepentingan pariwisata melalui komponen industrinya, seperti travel biro perjalanan, hotel, dan restoran, menjadikan TM sebagai salah satu paket wisata yang terkadang disatukan atau dikemas dengan paket wisata lainnya. Tidak hanya itu, komponen lainnya, seperti organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga, instansi swasta, negeri, dan kalangan Perguruan Tinggi pun melakukan hal yang sama, dengan bentuk promosi yang sama, dan sama-sama bergerak dengan jargon “dalam rangka melestarikan” memajukan, mengembangkan dan memenuhi kepentingan industri pariwisata. Apalagi mau menjadikan suatu kota sebagai kota pariwisata, Manado misalnya disebut sebagai kota pariwisata dunia 2010. Banyak contoh menunjukan TM menjadi alat legitimasi pemerintah kota yang peduli atau (sekedar peduli saja) dengan perkembangan dan pelestarian seni budaya. TM menjadi seni pertunjukan jemput tamu (wisatawan), mengisi acara welcome drink di hotel-hotel berbintang, peresmian suatu acara seremonial pariwisata, dikemas dalam bentuk VCD/DVD dan dijual sebagai salah satu bentuk promosi (ikon) wisata.
Perkembangan kekinian menunjukkan tendensi industri budaya menempatkan seni hiburan sebagai prioritas utamanya, karena lebih menghasilkan keuntungan, sementara di pihak lain, yang mulai ditinggalkan adalah genre-genre seni yang serius (ritual), yang sungguh membutuhkan usaha keras untuk mempromosikannya.[9] Estetika TM bergeser dari estetika religius menjadi estetika profan; dari estetika wanua/desa, komunal, estetika komunitas menjadi estetika kota, publik/umum; dari estetika seremonial desa menjadi estetika selebritas kekotaan; dari estetika tradisi menjadi estetika modern, bahkan estetika postmodern.
Karakteristik wisatawan salah satunya adalah mengunjungi DTW dengan waktu yang tidak terlalu lama (ditentukan) dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Hal seperti ini oleh industri pariwisata diterjemahkan dengan ekonomis juga, yakni produk TM dijadikan paket wisata yang pertunjukannya disajikan padat dan sesingkat-singkatnya. Waktu pentasnya singkat dan diusahakan dengan biaya yang dapat dijangkau wisatawan. Sering pula dibedakan tourist art untuk wisatawan domestik/nusantara (wisnu) maupun wisatawan mancanegara (wisman). Bakuan mutu TM sebagai tourist art tidak menjadi ukuran yang penting wisatawan dapat menikmati (terhibur, senang) dengan produk wisata budaya yang ditawarkan. Menurut Soedarsono (1999: 121, 129) wujud seni wisata (tourist art) atau budaya wisata memiliki ciri-ciri: (1) berbentuk tiruan dari tradisi yang asli, (2) bentuk miniatur, (3) waktunya singkat atau padat penyajiannya, (4) penuh variasi dan disajikan dengan sarana pendukung yang menarik (5) tidak sakral, (6) murah dan terjangkau oleh wisatawan.
Penutup
Gejala turistifikasi dan industri pariwisata akhirnya hanya menjadikan TM sebagai produk komoditas belaka dan komoditinya sebenarnya adalah ‘kreativitas seniman’. Padahal jika ditarik ulur ke latar sejarah, hakikat TM adalah produk seni komunal yang di dalamnya unsur kebersamaan, kerjasama, dan persatuan menjadi landasan hidup manusia Minahasa. Akan tetapi, oleh karena arus globalisasi dengan gejala turistifikasinya, pasar industri jasa pariwisata, justru TM yang berkembang adalah ditentukan oleh kreativitas individual yang bukan semata-mata eskpresi seni tetapi kreativitas dalam menciptakan proyek-proyek kesenian untuk kebutuhan (sesaat) memenuhi industri wisata. Dari sinilah muncul kelompok-kelompok sanggar dengan nama-nama yang memiliki status, prestis tertentu dibanding dengan yang lain, dan terjadilah apa yang selalu dibongkar (dekonstruksi), yaitu oposisi biner hierarkis (Hakim, 2003: 92-93) atau membongkar struktur ideologi dominan. Fungsi TM pun bergeser dari fungsi ritual melebar konteksnya menjadi nonritual, dan nonreligius, menjadi seni wisata (turistifikasi TM) yang komersial, terkomodifikasi, dan menjadi seni profan tidak suci lagi. Alasan pelestarian memang dapat diterima, tetapi juga harus diperhatikan kesakralan TM dalam perkembangannya ke depan. TM populer boleh saja berkembang untuk berbagai ideologi tetapi TM sakral harus tetap dipertahankan sebagai sumber ilmu pengetahuan budaya dan identitas orang (tou) Minahasa.
Daftar Pustaka
Appadurai, Ajun. 1993. “Disjungture and Difference in the Global Economy” dalam Featherstone, M. (ed.), Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity. Pp: 295-310. London: SAGE Publication.
Ardana Putra, I Made. 2002. “Budaya Lokal dalam Konteks Global” Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Poestaka. No. 3 Tahun XIII. Januari. Bali: Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Hakim, Abdul. 2003. “Nietzsche, Derrida dan Dekonstruksi” Jurnal Filsafat Driyarkara. Tahun XXVII, No. 1. Jakarta: STF. Driyarkara.
Kaunang, Ivan R.B. 2010. “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara di Era Globalisasi” Disertasi (segera terbit). Bali: Program Pascasarjana, Program Doktor (S3) Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Leirissa, R.Z. 2006. “Komentar Atas Naskah Sejarah Maengket dari Yessy Wenas” Anonim, 2006. Buku Panduan Seminar Nasional Tari Maengket. Juni. Jakarta: Panitia Festival Seni Budaya Sulawesi Utara.
Picard, Michael. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Forum Jakarta Paris. Ecole Francais d’Extreme-Orient.
Rumengan Perry. 2010. Maengket, Seni Tradisional Orang Minahasa: Perkembangan dan Permasalahannya. (Volume I) Yogyakarta: Program Pascasarjana-Institut Seni Indonesia.
———————-. 2010. Maengket, Seni Tradisional Orang Minahasa: Estetika, Struktur Musik, Tari, Sastera. (Volume II) Yogyakarta: Program Pascasarjana-Institut Seni Indonesia.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata: Rangkuman Esai tentang Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: Badan Penerbit Institut Seni Indonesia.
Sedyawati, Edy. 1998/1999. “Seni Pertunjukan dalam Perspektif Sejarah” dalam “Keragaman dan Silang Budaya, Dialog Art Summit” Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia. Th.IX. Bandung: MSPI.
Sunarmi, Sri. 2004. “Tari Maengket: Perspektif Pemikiran di Balik Ritual Pergaulan di Minahasa” Tesis Surakarta: Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Seni (STSI).
Suoth, Anneke J. 2005. “Kajian Nilai Budaya Tarian Maengket” Laporan Penelitian. Manado. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisi.
Yoeti, H. Oka. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.
[1] Penulis Dosen Tetap Jurusan Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unsrat Manado. S1 Sejarah Unsrat Manado; S2 Sejarah – Ilmu-ilmu Humaniora UGM-Yogyakarta; S3 Kajian Budaya, Universitas Udayana Bali.
[2] Ajun Appadurai. 1993. “Disjungture and Difference in the Global Economy” dalam Featherstone, M. (ed.), Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity. Pp: 295-310. London: SAGE Publication.
[3] I Made Ardana Putra. 2002. “Budaya Lokal dalam Konteks Global” Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Poestaka. No. 3 Tahun XIII. Januari. hlm. 6.
[4] Untuk selanjutnya Tari Maengket disingkat TM.
[5] Michel Picard. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Forum Jakarta Paris. Ecole Francais d’Extreme-Orient. Hlm. 164.
[6] Lebih jauh mengenai kebudayaan (tradisi) batu di Minahasa, lihat: Kaunang, Ivan, “Mitos di Balik Batu” dalam Majalah Kebudayaan WALETA Edisi 4 Tahun I, September-Oktober 2010.
[7] Segera terbit secara nasional dalam bentuk buku dengan perubahan teknis terutama pada sistematika, dan diberi judul: “Tari Maengket: Kristalisasi Politik Identitas Keminahasaan.
[8] Yoeti, H. Oka. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita. hlm. ix.
[9] Edy Sedyawati. 1998/1999. “Seni Pertunjukan dalam Perspektif Sejarah” dalam “Keragaman dan Silang Budaya, Dialog Ar Summit” Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia. Th.IX. Bandung: MSPI. hlm. 6. (hlm 1-7).