Makam Sekar Kedaton berada di Kelurahan Mahakeret Barat Kecamatan Wenang kurang lebih 1 km, berada di Jalan Diponegoro (di belakang dan disamping Yayasan Eben Haezer). Makam Sekar Kedaton ini berada dalam satu komplek dengan makam lain yang terletak di dalam sebuah bangunan.
Sejarah singkat tentang Sri Ratu Sekar Kedaton diambil dari buku “Keresahan yang pernah dialami satu Keluarga di tahun 1883 di Yogyakarta”. Isinya secara singkat digambarkan bahwa Sri Ratu Sekar kedaton atau yang dikenal dengan sebutan Gusti Ratu Sekar Kedaton merupakan permaisuri atau prameswari dari Sri Sultan Hamengku Buwono V, raja Jawa yang berkedudukan di Yogyakarta. Pada tanggal 18 Ramadhan 1783, raja meninggal, 13 hari kemudian (1 Syawal, Crebek 1783 Jw). Permaisuri Gusti Ratu Sekar Kedaton melahirkan putra mahkota. Karena masih kecil putra kerajaan diserahkan pada kerabat raya yang akhirnya menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Tiga belas tahun kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI meninggal, digantikan oleh kerabatnya juga, yang akhirnya bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Bermula dari inilah mulai terjadi keributan dalam kerajaan, karena semestinya yang akan menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII adalah putra mahkota dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke V, yaitu Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga (yang mempunyai nama kecil Kanjeng Gusti Timur Mohammad), tetapi Sri Sultan Hamengku Buwono VII malah menunjuk putranya (Gusti Kanjeng Pangeran Ngalaga) dan atas dukungan rakyat desa bermaksud mengadakan perlawanan. Walaupun perlawanan belum sempat terjadi, tetapi maksud tersebut sudah lebih dahulu diketahui oleh raja Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Oleh raja Gusti ratu Kedaton bersama putranya dibuang ke Manado, karena dianggap telah membangkang pada raja, pergi dari kota tanpa pamit, serta berniat melakukan perang. Setibanya di Manado mereka tinggal di daerah Kampung Pondol (sekarang daerah Rike). Akhirnya mereka meninggal di Manado dan dimakamkan di daerah Lawangirung sekarang.