Raja Mokodoludut, Sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow

Bolaang Mongondow merupakan suatu daerah yang terletak di bagian utara semenanjung Sulawesi. Daerah ini berbatasan dengan daerah Minahasa sebelah utara dan timur laut Bintauna dan Bolaang Uki dan Gorontalo di sebelah baratnya. Dalam legenda dikatakan bahwa asal mula manusia Bolaang Mongondow berasal dari 2 (dua) pasang suami isteri masing-masing Gumolangit atau manusia yang turun dari langit dengan isterinya Tendeduata atau putri Dewa, dan Tumotoi Bakal atau orang yang dapat berjalan di atas ombak dengan isterinya Tumotoi Bakal atau gadis yang keluar dari pecahan ombak.

Turunan kedua pasangan suami isteri tersebut berkembang dalam kurun waktu yang lama sehingga menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang besar dan memerlukan suatu pemukiman untuk mereka tinggal. Maka mulailah mereka berpikir untuk mencari pemukiman yang baru.

Karena sudah berkembang banyak menjadi anggota masyarakat turunan dari anak cucu Gumalangit/Tendeduata dan Tumotoi Bakal/Tumotoi Bakat mulailah mencari pemukiman baru dengan terlebih dahulu membentuk beberapa kelompok pencari pemukiman. Tiap kelompok dipimpin oleh seorang yang mempunyai kemampuan atau yang dianggap lebih kuat dari kalangan kelompok tersebut. Pemimpin-pemimpin yang kuat ini dinamakan “Bogani”. Para bogani inilah yang sudah mulai merintis mencari pemukiman baru, dan pemukiman itu dinamakan “Totabuan”.

Totabuan baru yang didapat antara lain; Totabuan Tudu in Yanggat, di Kecamatan Passi sekarang yang dikepalai oleh Bogani suami isteri Lingkit dan BaiBudia. Totabuan Tudu in Passi di Kecamatan Passi sekarang yang dikepalai oleh Bogani Damuluo dan Bogani Mongayow. Totabuan Tudu in Rumsion dan Tudu in Bakid yang terdapat di wilayah Kecamatan Passi sekarang yang dikepalai Bogani Malotong dan Bogani Binongkuyu. Totabuan Tudu in Poliau di Kecamatan Lolayan sekarang yang dikepalai Bogani Rondongbekiki, Bogani Bingkolai dan Bogani Megedeg. Totabuan in Babo di Kecamatan Sang Tombolang sekarang, dikepalai Bogani Damonegang. Totabuan Dumoga Molobeu dan Tudu in Bumbungon di Kecamatan Dumoga sekarang dikepalai Bogani Manggopa Kilat dan Bogani Suami isteri Amalie dan Inalie. Totabuan Kotaabunan di Kecamatan Kotabunan sekarang yang dikepalai Bogani perempuan Inde Doe.

Khusus totabuan Dumoga sebagai cikal bakal kelahiran kerajaan Bolaang Mongondow dengan raja pertamanya Mokodoludut. Alkisah para pendatang Dumoga memasuki tempat-tempat bernama Mohag, Bumbungon, Tabalinggot, Dumoga Mointok, Siniyow, dan Dumoga Moloben. Totabuan dumoga berpusat di Bumbungon dipimpin Bogani Amalie dengan Istrinya Inalie.

Pada suatu hari Amalie dan Inalie mencari ikan di sungai, mereka menyusuri anak sungai Tabagomamang (cabang sungai besar Dumoga), mulai dari muara berjalan ke hulu mata air, tiba di hulu belum mendapatkan ikan. Karena kelelahan mereka duduk istirahat. Sementara istirahat mereka melihat di tengah smak dan dahan-dahan sebuah sarang burung Duduk, dana dalam sarang itu menemukan biji telur, lebih besar dari telur ayam. Mereka bergembira memperoleh telur tersebut dan membawa pulang.

Menurut kisah lain bahwa Budolangit sebagai asal keturunan, bahwa telur ini datangnya dari Salamatiti putrid Budolangit. Putri ini bermimpi bahwa ia digauli oleh malaikat (binaya’an I malaikat) selanjutnya hamil dan melahirkan kandungan berbentuk telour yang ia suruh buang. Telur itu ditemukan oleh Amalie dan Inalie sewakti burung Duduk mengreaminya.

Setiba di rumah telur disimpan dalam bakul diatas dapur, sampai 6 hari mereka lupa merebusnya padahal berkali-kali teringat tapi lupa lagi. Pada hari ketujuh terjadilah angin rebut, gemuruh, dan kilat memenuhi angkasa, hujan lebat turun membanjir. Terdengar suatu ledakan hebat seperti suara meriam. Amalie dan Inalie amat terkejut dan kwatir, angin bertiup berhari-hari dan sementara itu orang banyak berdatangan di Bumbungon, dari desa sekitar, hingga dari pemukiman-pemukiman Mongondow dimana saja bahkan dari pesisir utara. Jumlahnya ratusan orang dibawah para bogani.

Rumah diperiksa dan mereka menemukan dalam bakul diatas para-para dapur, keluar dari pecahan telur seorang bayi lelaki. Setelah ketegangan atas peristiwa itu agak reda, datanglah para bogani membuat kesepakatan, yakni menamakan anak itu Mokodoludut (gemuruh bunyi), dan mengakui anak itu sebagai Punu (tuan/raja) dalam wilayah Bolaang Mongondow. Mereka menyatakan keturunan kita dari generasi ke generasi hendaknya setia dan tidak menentang pada ketuturnannya, mereka patut dihormati, mematuhi perintahnya, dan barang siapa menentang padanya dan keturunannya akan terkena kutuk.

Pada akhirnya para Bogani menetapkan pula, bahwa keturunan Mokodoludut dari generasi ke generasi diberi hak menjadi Raja, anak-anak raja disebut Abo dan putri raja dengan sebutan Bua, istri raja disebut Boki, keturunan mereka yang tidak jadi raja merupakan golongan Kohongian. Lehih rendah dari anak-anak raja dan terhadap para putrid digelaran Bai’ atau Kakia.

Berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat para Bogani dari seluruh Totabuan maka dipilih Mokodoludut diangkat sebagai pimpinan tertinggi sebagai “Punu” sekitar tahun 1400 m dan Baunia menjadi permaisurinya. Upacara penobatan Mokodoludut dilaksanakan secara meriah dan diiringi berbagai macam kesenian bertempat di gunung yang disebut ‘Bulud in Mokotangon” yang berarti gunung tempat terdengarnya berbagai macam bunyi seni.

Setelah selesai upacara pengangkatan Mokoduludut menjadi Punu maka poara Bogani sepakat membangun istana Punu Molantud pada sebuah batu besar dekat Sungai Tumpah, bagi para Bogani Mokodoludut lahir secara luar biasa maka diberi gelar Punu Molantud yaitu punggung tampuk pimpiban tertinggi kemudian dilaksanakan dengan kedudukan seorang raja (batu).

Sejak Mokodoludut menjadi Punu Montalud maka turun temurun pimpinan pemerintahan tertinggi di Bolaang Mongondow haruslah putra mahkota (anak Punu Molantud) yang menjadi penerus kepemimpinan. Mokodoludut dan permaisurinya Bunia mempunyai lima orang anak, yaitu: Galonggom, Ginupit, Pondadat, Gnisaponda (putri) dan Yayubangkai.

Berdasarkan sistem demokrasi para Bogani telah memilih Yayubangkai untuk menggantikan ayahnya Mokodoludut menjadi pimpinan tertinggi pemerintahan sebagai Punu Molantud. Yayubangkai kawin dengan seorang putri dari Butanlo bernama Silagondo. Sesudah Yayubangkai diangkat menjadi Punu Molontud mereka tidak tinggal di Bumbungon tetapi di gunung Babo, di tepi pantai utara Bolaang Mongondow.

Yayubangkai berkuasa mulai tahun 1460 M sampai tahun 1480 M. Yayubangkaiu dan Silagondo dianugerahi 3 orang anak yaitu: Kinalang atau Damopolii, Makaapo dan Pinomuko. Pinomuka adalah satu-satunya putri.

Kinalang atau Damopolii oleh para Bogani untuk diangkat sebagai Punu Molontud menggantikan ayahnya Yayubangkai. Ia memerintah tahun 1480-1510 setelah pindah dari Mahag Dumoga di kaki bukit Bumbungon yang selalu dilanda banjir, dengan petunjuk burung Monikulu pemerintahan pindah di Kotobangon di Kotamobagu sekarang. Namun Damopolii adalah seorang Punu Molantud yang gemar mengembara, dalam pengembaraannya dengan beberapa pengawalnya kearah utara hingga sampai daerah Minahasa. Di daerah Minahasa ini bertemu dengan seorang gadis bernama Tetion dan jatuh cinta lalu mereka menikah, dalam pernikahan ini tidak dianugerahi anak.lalu Damopolii kembali ke tempat asalnya, tertarik pada seorang gadis di Sungai Ranoyapo bernama Wulan Uwe Randen karena kecantikannya. Damopolii menikahinya dengan harta kawin tanah dari Ranoyapo sampai Sungai Ranoyapo yang menjadi sengketa antara Minahasa dan Bolaang Mongondow. Pada sekitar tahun 1927 pemerintah Belanda menetapkan batas antara daerah Minahasa dan Bolaang Mongondow, dan wilayah Sungai Poigar dan Ranoyapo resmi masuk dalam wilayah Minahasa.

Isteri yang lain dari Damopolii adalah Tende Duayo atau putri perkasa, dengan isterinya Tende Duayo ini memperoleh seorang putra yang bernama Busisi (Butiti), yang akhirnya menggantikan ayahnya Damopolii sebagai Punu Molantud dan berkuasa mulai tahun 1511. Busisi menikah dengan putri Minahasa bernama Limbatondo dan dianugerahi 4 orang anak yaitu: Bunu, Sakadu Makul, Makalunsenge, dan Makalalo. Putra Butiti yang bernama Makalalo yang menggantikan ayahnya menjadi Punu Malantud. Makalalo menikah dengan putri Wulan Ganting dari Mandolang merupakan salah satu daerah di Minahasa dekat Desa Tateli. Dari perkawinannya dengan putri dari Mandolang ini Makalalo dianugerahi seorang putra yang bernama Mokodompit yang menggantikannya sebagai Punu Molantud pada tahun 1540.

Mokodompit memiliki dua orang isteri, yaitu dari golongan bangsawan bernama Wulan Menggeadi dan melahirkan seorang putra bernama Mokoagow, dan dari isteri yang lain dari kalangan rakyat biasa bernama Gogunde. Perkawinan Mokoahow dengan kalangan rakyat biasa ini selalu disindir-sindir oleh para Bogani. Akhirnya Mokodompit membawa isterinya ke Siauw dan lahirlah di sana putranya dan diberi nama Tadohe.

Dalam perjalanannya ke Siauw dengan isterinya dari kalangan rakyat biasa ini Mokodompit digantikan oleh putranya Mokoagow menjadi Punu Molantud pada tahun 1600. Pada saat berkuasa Mokoagow banyak mengembara dan kawin dengan wanita Minahasa sehingga memperoleh keturunan di sana, tetapi putra-putri Mokoagouw tidak yang diketahui dengan jelas. Namun sampai sekarang banyak penduduk Minahasa yang bermarga Mokoagow, Koagow, serta Agow.

Putra Mokodompit yang lahir di Siauw bernama Tadohe (kisah lainnya Tadohe adalah putra Mokoagow). Tadohe bersama dua orang pengawalnya kembali ke Bolaang Mongondow dengan menumpang perahu (Bangku) bernama Kabalit, mereka pulang melalui laut selatan dan terdampar di salah satu pantai selatan Bolaang Mongondow. Ia berusaha meyakinkan tempat-tempat yang didatanginnya bahwa ia adalah putra Punu Molantud dengan menunjukan kesaktian dan beberapa tanda lainnya.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui Gunung Tagai dan singgah di suatu tempat bernama Insil dan melanjutkan perjalanan lagi melalui Gunung Longkow dan turun ke dataran rendah melalui sebuah sungai. Dan sungai yang mereka lewati itu diberi nama sungai Kinotobangon, salah satu desa di sebelah timur Kotamobagu sekarang.

Di tempat inilah Tadohe diangkat menjadi Punu Molantud pada tahun 1620. Tadohe mengundang semua rakyat dan para bogani berkumpul mengadakan musyawarah di atas bukit Tudu In Bakid (Puncak Gunung Musyawarah) sebelah utara desa Pontodon. Mulai sepakti adat istiadat dan bentuk pemerintahan yang baru, dalam menjalankan pemerintahan selalu dilandasi dengan kesepakatan dan musyawarah serta disusun pula tentang adat istiadat perkawinan sehingga dalam kehidupan masyarakat dibuat susunan atau tingkatan  sosial dalam masyarakat. Pada masa itu Tadohe berkediaman di Tudu im Bakid, sehingga pusat kerajaan Bolaang Mongondow berpindah ke daerah Tudu im Bakid.

Tadohe mulai mengatur sistem kehidupan masyarakat yaitu dengan membentuk desa-desa yaitu suatu kelompok masyarakat yang hidup dibawah pemerintahan seorang kepala desa. Desa-desa itu diberi nama-nama sendiri, di setiap desa dibangun semacam tempat upacara pengobatan yang disebut sigi-sigi dan berfungsi sebagai tempat penyembahan (semacam kuil) kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa). Di dalam sigi dapat disimpan piring tua benda antik lainnya yang berasal dari para leluhur.

Sigi juga merupakan tempat penghapusan dosa atau kesalahan bagi pesakitan, bagi pelanggar adat tertentu sebagai penghapus aib. Dapat dikatakan bahwa sigi merupakan suatu lukisan kesatuan desa, sewaktu-waktu diadakan semacam upacara pengobatan desa yang disebut Monibi.

Pemerintahan Punu berakhir pada “Punu Tadohe”. Pada masa pemerintahan Punu Tadohe inilah puncak kejayaan Punu di Bolaang Mongondow. Pada saat kerajaannya inilah istri Tadohe melahirkan seorang putra, dan Tadohe bersama pengawalnya berhasil mengalahkan Ternate dari Lalada di perairan Bolaang dan merampas semua harta yang ada dalam kapal-kapal orang Lalada, pada saat itu bertepatan lahirnya putra Tadohe yang diberi nama Mokoagow yang artinya dapat merampas.

Putranya inilah yang kelak menggantikannya dengan nama lengkap Laloda Mokoagow. Nama putranya mengingatkan keberhasilan ayahnya atas kemenangan mengalahkan pasukan Ternate dari Lalada. Loloda Mokoagow diangkat menggantikan ayahnya atas kesepakatan musyawarah di Tudu In Bakid dengan sebutan Datoe. Yang kelak dikemudian hari berubah nama Datoe Binangkang.

Sesudah datu Binangkang, beruturut-turut raja Bolaang Mongondow adalah Jacobus Manoppo (1695-1731), Fansiscus Manoppo (1731-1735), Salomon Manoppo (1735-1764), Eugenius Manoppo (1767-1770), Marcus Manoppo (1773-1779), Cornelis Manoppo (1811-1829), Ismael Cornelis Manoppo (1829-1833), Adrianus Cornelis Manoppo (1858-1862), Johannes Manuel Manoppo (1862-1880), Abram Sugeha (1880-1893), Riedel Manuel Manoppo (1893-1905), Datu Cornelis Manoppo (1928-1947), Henny Joesoef Cornelis Manoppo (1947).

Ibu kota kerajaan beberapa periode telah berada di desa Bolaang dan berakhir pada jaman raja Riedel Manoppo, dimana tahun 1901 eranya Datu Cornelis Manoppo berpindah ke Kotabangon pada saat Kontrolir Belanda berkedudukan di Kotabaru.