MULTI-ETNIS KOTA GORONTALO : abad ke-19

Oleh : Hasanuddin

 

  1. Pengantar

Sejarah Indonesia ditinjau dari terbentuknya sebagai suatu negara (nation-state) baru terlihat pada awal abad ke-20. Sebelumnya periode sejarah Indonesia dalam arti politik mengacu pada kerajaan-kerajaan tradisional yang pendukungnya berasal dari berbagai multi-etnik dan multi-kultural dengan dominan “nasion Indonesia lama”–perkataan nasion lama dapat dikaitkan dengan kerajaan-kerajaan tradisional yang dalam pengertian politik dari suku bangsa—mempunyai sejarahnya sendiri. Namun dewasa ini muncul beberapa gejala yang potensial melahirkan desintegrasi untuk tidak mengatakan sebuah bangsa. Saat inilah adalah momen yang tepat bagi para ilmuwan dengan pendekatan multi-disiplin dan multi-dimensional diharapkan mampu menggali dan mengangkat sumber-sumber atau referensi yang secara dinamis dapat merumuskan identitas “nation” Indonesia.

Perlu dipahami bahwa peristiwa-peristiwa masa lalu Kota Gorontalo hanya dapat dipetakan dengan memahami ciri sosial-kulturalnya yang mempengaruhi kekuasaan politik di wilayah itu. Salah satu ciri mendasar adalah peranan Limo lo pahalaqa (persekutuan lima kerajaan) terdiri dari Gorontalo (Hulontalo); Limboto (Limuttu); Bone-Suwawa-Bintauna; Bolango selanjutnya kedudukannya diganti oleh  Boalemo (Baolemo); dan terakhir Atinggola (Andagile).[1] Dalam pergulatan persekutuan tersebut, peranan Gorontalo mempunyai arti penting dalam arti luas mendominasi politik kerajaan-kerajaan Limo lo pahalaqa. Dalam perjalanannya, raja dan pembesar Kerajaan Gorontalo bersama-sama dengan individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dipandang telah memberikan sumbangan pada usaha perubahan-perubahan di lingkungan mereka, baik di dalam maupun di luar kerajaan.

Penulisan ini mencoba memandang bahwa setiap perkembangan masyarakat Kota Gorontalo sebagai satu kesatuan. Konsep kesatuan tercakup segala aspek perkembangan sejarah pada masa lalu. Salah satu konsep kesatuan yang mencakup berbagai unsur dan dimensi yaitu interaksi antara penduduk asli dan pendatang/pedagang dapat saling mempengaruhi dimensi kesatuan itu. Sehubungan dengan itu, maka masalah komunikasi sangat penting karena jalur-jalur komunikasilah yang membentuk jaringan golongan lapisan sosial dengan menciptakan komunikasi sosial dan menimbulkan aliran besar kultural dengan membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.

Munculnya interaksi antarunit terjadi lewat komunikasi diantaranya melalui hubungan perkawinan, perang, diplomasi sampai pada pelayaran dan perdagangan menciptakan proses integrasi di antara daerah-daerah sekitarnya dan unsur-unsur sosialnya. Dengan perkembangan pusat kekuasaan Gorontalo, maka secara jelas menunjukkan kecenderungan ke arah integtrasi progresif yang sudah barang tentu proses tersebut mengalami pasang surut.

Selain hubungan dengan Ternate, hubungan interaksi melalui Kerajaan Gowa—mempunyai intervensi atas hegemoninya di kawasan utara Sulawesi, serta pelayaran dan perdagangan dari dalam dan luar Nusantara. Ciri utama pelayaran niaga dalam kurun waktu itu telah menciptakan adanya kaum pendatang dan pedagang sebagai suatu komunitas dalam mendirikan dan mengembangkan perkampungan Bugis, Cina dan Arab yang secara langsung menciptakan perluasan Kota Gorontalo. Dampak dari dibukanya berbagai perkampungan tersebut telah memberi arti pada keragaman (pluralism) komposisi penduduk yang setiap tahun mengalami peningkatan cukup berarti bagi pertumbuhan Kota Gorontalo.

Demikian pula pada bagian pelayaran niaga, letak geografis Gorontalo yang cukup strategis berdekatan dengan Ternate—sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, Manado dan Makassar telah menguntungkan pelabuhan Gorontalo sebagai daerah penghasil komoditas perdagangan dan menjadi daerah transito jalur pelayaran antara Ternate, Manado dan Makassar. Jalur inilah merupakan jalan atau kemudahan terpenting untuk menyelenggarakan transportasi dan hubungan komunikasi. Dalam pelayaran dan perdagangan di Gorontalo yang paling utama adalah tersedianya komoditas emas, di samping komoditas kopi dan hasil hutan yang secara langsung telah memberi pengaruh terhadap kemajuan Gorontalo. Di pihak lain, hubungan Gorontalo dengan daerah sekitar (city periphery) Limboto, Suwawa, Bone, Bintauna, Bolango, Atinggola,  Boalemo, Banggai dan Donggala sekitarnya, telah menempatkan Gorontalo sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan administratif Assistant-Residentie.

 

  1. Perkampungan Kelompok Etnis

 

Berbagai kategori pengelompokan sosial timbul berdasarkan ras, agama dan etnisitas yang seringkali tumpah tindih dan paralel. Hal ini mengakibatkan semakin dipertegasnya batas-batas solidaritas dan pengelompokan. Pengelompokan sosial berdasarkan etnis meliputi komunitas Gorontalo dan etnik setempat yang berada di Provinsi Gorontalo—Limboto, Suwawa, Bone, Atinggola, Boalemo, Sumalata, Kwandang dan sebagainya—dianggap sebagai penduduk asli dan merupakan kelompok mayoritas dan dominan di Kota Gorontalo. Selanjutnya etnis dari luar atau pendatang telah hadir di Kota Gorontalo sudah barang tentu didasari atas alasan ekonomi dipandang telah memberi kontribusi akan perkembangan Kota Gorontalo seperti tampak dewasa ini.

Penduduk yang mendiami daerah Gorontalo, pertama sebagai penduduk asli hidup mengelompok dalam unit-unit kecil (linula) dan merupakan satu kesatuan sosial ekonomi, pemukiman mereka menyebar di sekitar pegunungan Buliohuto dan Tilongkabila[2], sekitar Danau Limboto dan daerah-daerah perbukitan. Masuknya para imigran dan pedagang dari Ternate, Makassar dan Bugis, selanjutnya Cina, Arab, Eropa–terutama Belanda—dan Minahasa memberikan nuansa tersendiri atas pembentukan dan perkembangan Gorontalo.

Faktor berkembangnya jalur pelayaran niaga menarik kapal-kapal Nusantara dan asing ke pelabuhan Gorontalo membawa barang-barang dagangan untuk dipasarkan di daerah Gorontalo. Kembalinya kapal-kapal tersebut mengangkut barang komoditi utama berupa emas, selain itu terdapat juga kopi, kelapa, kopra, indigo (nila), kapas, sagu, damar dan rotan. Komoditi ini kemudian dipasarkan ke wilayah dalam dan luar Nusantara.

Beberapa para pedagang tertarik bermukim di Gorontalo, kemudian  mendirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pedagang tersebut berasal seperti Kampung Bugis, Arab dan Cina, Donggala, Siendeng, dan Tamalate. Di samping itu terdapat juga perkampungan Belanda (Tenda) yang umumnya bertugas sebagai pegawai pemerintahan Assitant Residentie. Demikian pula terdapat perkampungan yang berasal dari daerah sekitar Kota Gorontalo di antaranya Paguyaman dan Tapa. Berdasarkan nama-nama kampung tersebut dapat diketahui bahwa meningkatnya jumlah penduduk Kota Gorontalo, khususnya golongan pribumi, Arab, Cina, dan Belanda berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan pertanian, ekonomi dan perdagangan.

Kolonisasi Bugis/Makassar sangat erat hubungannya disepakatinya perjanjian Bungaya[3] yang menyebabkan terjadinya imigran dalam skala besar di daerah itu. Para imigran Bugis/Makassar meninggalkan negerinya dan menuju ke daerah-daerah yang pernah di bawah pengaruhnya termasuk Gorontalo[4]. Bermula dari imigran Bone membentuk perkampungan serta mengembangkannya dalam kerajaan kecil–nama sesuai daerah asalnya. Mereka mendiami sekitar Sungai Bone dan Pantai Bone. Menurut laporan Rosenberg bahwa terdapat 5 kampung yang dihuni orang-orang Bone[5].

Munculnya Kampung Bugis (Kelurahan Bugis, Kecamatan Kota Selatan sekarang) diawali dari permintaan Raja Monoarfa kepada Lasimpala untuk membantu mengusir para perompak Minadanao dan Tobelo. Akhirnya Lasimpala berhasil mengusir para perompak tersebut. Kemudian Raja Monoarfa memberikan lahan kepada Lasimpala untuk dihuni dan dikembangkannya menjadi sebuah perkampungan yang dikepalai seorang bergelar matoa (orang yang dituakan). Lokasi kampung Bugis berdekatan dengan pelabuhan karena sesuai dengan pekerjaannya pada sebagai pelaut dan nelayan.

Sementara kolonisasi Cina dan Arab membangun pemukiman di sekitar muara Sungai Bolango (Kecamatan Kota Selatan) sebagai kawasan perdagangan. Para pedagang Arab umumnya berasal dari Surabaya,[6] di samping berdagang mereka juga berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Penduduk umumnya memberi gelar “Said” dan dianggap sebagai orang suci serta sangat dihormati oleh penduduk, sedangkan “Syech” yang lebih disegani sangat kurang jumlahnya.[7] Dalam perkampungan Arab dan Cina dikepalai oleh seorang bergelar Luietnan, sehingga perkampungan Arab, Cina maupun Bugis di bawah pengawasan langsung Controleur, serta diwajibkan membayar pajak khusus.

Adanya Kampung Siendeng diawali dari perkawinan Raja Amai dengan Owutanggo—putri Ogomonjolo (Kumojolo) Raja Palasa-Siendeng di Teluk Tomini, dan merupakan peletak Islamisasi di Gorontalo setelah Raja Amai memeluk agama Islam. Setelah perkawinannya di Siendeng, Raja Amai kembali ke Gorontalo bersama istrinya didampingi delapan raja-raja kecil di bawah kekuasaan Raja Palasa, seperti Raja Tamalate, Lemboo, Siyendeng, Hulangato, Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo. Mereka diberikan lokasi pemukiman tersendiri oleh Raja Amai di daerah Hunto (Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan sekarang). Di daerah tersebut juga didirikan tempat ibadah disebut Tihi Lo Hunto (Mesjid Sultan Amai sekarang). Bangunan inilah menjadi pusat kegiatan pendidikan dan kebudayaan Islam bagi masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan berupa memperkenalkan dan mengembangkan prinsip adat dan kebiasaan yang berlaku pada kerajaan dengan cara ajaran Islam, sehingga adat memegang peranan penting dalam saluran Islamisasi. Pada tahun 1566 agama Islam secara resmi menjadi agama kerajaan dan mengatur adat istiadat dengan memasukkan pengaruh Islam di dalamnya.[8]

Perkampungan Belanda (Kelurahan Tenda, Kecamatan Kota Selatan sekarang) berada pada kompleks perkantoran Kolonial Belanda terletak di tengah kota sebagai pusat pemerintahan administratif Assisten Residentie meliputi Kantor Asisten Residen, Controleur, Hooft Agent Stad Politie, Nederlandsch-Indische Handels-Bank, Copra Fonds, Telepon, Pos dan Telegrap, Keuangan dan Kesehatan. Dalam kawasan tersebut pejabat dan pegawai rendahan maupun anggota militernya mendirikan pemukiman khusus dengan pos keamanan terletak di tepi jalan besar kota dan terpisah dari pemukiman pribumi.

  1. Kehidupan Penduduk dan Pola Pemukiman

Masalah penduduk sudah tentu berkaitan erat dengan pemukiman yang tersebar dalam bentuk perkampungan-perkampungan. Pada 1862 negeri Gorontalo dibagi dalam 5 distrik dengan jumlah 106 kampung. Distrik Kota mempunyai kampung terbanyak dengan jumlah 32 kampung, bandingkan dengan Telaga 26 kampung, Kabila 26 kampung, Tapa 11 kampung dan Pagoeat 11 kampung. Umumnya setiap kampung mempunyai kepadatan penduduk cukup tinggi dihuni antara 600–900 jiwa, sedangkan kampung kepadatan penduduknya rendah antara 100–200 jiwa.[9]

Penduduk Afdeeling Gorontalo secara keseluruhan berjumlah 186.000 jiwa.[10] Khusus pengetahuan komposisi penduduk Gorontalo tahun 1856 dapat diketahui dari laporan van Baak sekitar 40.000 jiwa, dan 1/3 berada dalam perbudakan.[11] Beberapa kampung terdapat kepadatan penduduk lebih tinggi seperti Kampung Ipilo, Biawau, Liato, Talumolo, Limba, dan Heludulaa, namun kepadatan penduduk lebih tinggi terletak di Kampung Bugis. Jumlah penduduk perkampungan tersebut secara keseluruhan 4.600 jiwa. Angka komposisi penduduk meliputi Eropa berjumlah 41 jiwa. Bugis, Arab, Cina dan Jawa berjumlah 2.400 jiwa.[12] Kecenderungan kepadatan penduduk pada kampung-kampung tersebut disebabkan letaknya berdekatan dengan pusat administratif asissten residentie dan pusat perdagangan.

Kondisi ini berlainan dengan Kampung Bolango dalam Distrik Tapa yang penduduknya hanya berjumlah 500 jiwa.[13] Sebelumnya Bolango mempunyai jumlah penduduk cukup besar, namun masuknya pengaruh kolonial menyebabkan sebagian besar penduduk mengungsi keluar dari kampung halamannya.

Laporan C.B.H von Rosemberg tahun 1862 memberi pengetahuan komposisi penduduk dalam 5 distrik di seluruh Negeri Gorontalo sejumlah 36.800 jiwa. Penduduk dalam Distrik Kota dengan ibukota Gorontalo berjumlah 10.200 jiwa; Distrik Telaga ibukota Bolila jumlah penduduk 12.100 jiwa; Distrik Kabila ibukota Padeboela jumlah penduduk 9.400 jiwa; Distrik Tapa ibukota Taloeloboeto jumlah penduduk 3.500 jiwa; dan Distrik Pagoeat ibukota Bomboela jumlah penduduk 1.600 jiwa.[14] Jika diamati gambaran di atas terdapat tingkat penduduk lebih banyak menetap di Distrik Telaga sebesar 32,8 persensedangkan Distrik Kota sebagai ibukota Negeri Gorontalo sebesar 27,7 persen. Besarnya jumlah penduduk Distrik Telaga disebabkan faktor tersedianya lahan yang cukup luas sebagai daerah agraris, sehingga umumnya distrik ini dihuni oleh kaum petani. Bagian paling rendah jumlah penduduknya di Distrik Pagoeat hanya 4,34%.

Demikian pula laporan G.W.W.C. Baron van Hoevell tahun 1889 mendaftar jumlah penduduk Gorontalo berdasarkan jenis kelamin dan anak-anak sejumlah 61.249 jiwa. Distrik Kota terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 17.862 jiwa, terdapat laki-laki 3.506 jiwa, perempuan 5.803 jiwa, dan anak-anak 8.553 jiwa. Distrik Telaga terdapat penambahan jumlah penduduk sebesar 14.982 jiwa dengan perincian laki-laki 2.927 jiwa, perempuan 4.454 jiwa, dan anak-anak 7.601 jiwa. Distrik Kabila secara keseluruhan berjumlah 8.394 jiwa terdapat laki-laki 1.581 jiwa, perempuan 2.297 jiwa, dan anak-anak 4.516 jiwa. Distrik Tapa berjumlah 8.477 jiwa terdapat laki-laki 1.670 jiwa, perempuan 2.128 jiwa, dan anak-anak 4.679 jiwa. Bagi Distrik Bone—Suwawa dan Bintaoena—sejumlah 6.453 jiwa dengan perincian laki-laki 1.330 jiwa, perempuan 1.906 jiwa, dan anak-anak 3.217 jiwa. Distrik Boalemo keseluruhan 3.123 jiwa terdapat laki-laki 693 jiwa, perempuan 887 jiwa, dan anak-anak 1.543 jiwa. Distrik Pagoeat secara keseluruhan hanya berjumlah 1.958 jiwa dengan perincian laki-laki 804 jiwa, perempuan 352 jiwa, dan anak-anak 802 jiwa.[15] Dalam gambaran di atas terdapat jumlah penduduk terbesar di Distrik Kota dengan jumlah 29 persen, sedangkan jumlah penduduk terkecil hanya 3 persen berada di Distrik Pagoeat.

G.W.W.C. Baron van Hoevell memberi laporan tahun 1889 secara terperinci mencatat jumlah penduduk pendatang dan pedagang di Disrik Kota sebesar 678 jiwa dengan hidup secara mengelompok. Faktor kedatangan mereka telah mencerminkan bahwa Distrik Kota merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan. Sukubangsa Eropa yang umumnya pegawai assisten residentie sejumlah 71 jiwa, dengan perincian laki-laki sebanyak 23 jiwa, perempuan 16 jiwa, dan anak-anak 32 jiwa. Demikian pula sukubangsa Cina sejumlah 246 jiwa terdiri laki-laki 123 jiwa, dan anak-anak 123 jiwa, sedangkan perempuan tidak dapat dicatat karena ketertutupan komunitas mereka dalam bergaul. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan sukubangsa Arab yang tercatat 32 jiwa dengan perincian laki-laki 18 jiwa dan anak-anak 14 jiwa. Sukubangsa Cina dan Arab umumnya sebagai pedagang. Demikian pula sukubangsa Bugis, di samping sebagai pedagang terdapat juga pelaut dan nelayan. Jumlah mereka tercatat sekitar 63 jiwa dengan perincian laki-laki 30 jiwa, perempuan 12 jiwa, dan anak-anak 21 jiwa. Bagi sukubangsa Minahasa umumnya bertugas pada bagian pemerintahan assisten residentie  dengan jumlah keseluruhan 266 jiwa dengan perincian laki-laki 65 jiwa, perempuan 60 jiwa, dan anak-anak 141 jiwa.[16] Jika diamati bahwa jumlah penduduk pendatang dan pedagang di Distrik Kota sejumlah 678 jiwa dengan penduduk tertinggi berasal dari sukubangsa Minahasa dan Cina.

Beberapa gambaran jumlah penduduk tersebut memang suatu perkiraan, karena belum diadakannya sensus penduduk baik Kerajaan Gorontalo maupun Pemerintahan Kolonial Belanda dalam kurun waktu itu. Namun berbagai laporan dari para pembesar Kolonial Belanda dapat digunakan sebagai acuan, sehingga menghasilkan cerminan dari jumlah penduduk tersebut di atas.

Mengenai makanan pokok sehari-hari penduduk berupa jagung (gamineae, Gorontalo disebut milu, mais, atau binte), beras (pale) dan sagu (Maranatha arundinacea, Gorontalo disebut labia).[17] Penanaman jagung diusahakan di ladang dan kadangkala di sawah. Demikian pula beras diusahakan pada persawahan, umumnya beras didatangkan dari Kwandang. Tanaman sagu diusahakan di daerah pantai berpasir di Paguyaman, Paguat, Kwandang dan Atinggola. Makanan sagu dikonsumsi sebagai makanan pengganti jagung bagi penduduk. Selain jagung dan beras sebagai makanan pokok, penduduk juga menkonsumsi ikan gabus (Ophicephalus striatus) sebagai lauk yang dihasilkan dari Danau Limboto.[18]

Demikian pula peranan lingkungan alam mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pola pemukiman. Di samping hubungan melalui maritim sebagai lalu lintas komunikasi, juga pola aliran Sungai Bone dan Bolango memberikan kecenderungan penduduk memanfaatkan sungai-sungai sebagai prasarana lalu lintas utama. Peranan dan fungsi pantai maupun sungai semakin besar dapat menarik penduduk Gorontalo dengan mengembangkan pemukiman ke arah tersebut. Pada mulanya bersifat memanjang dan mengelompok sesuai dengan kemudahan yang tersedia oleh alam, artinya pemilihan lokasi pemukiman tidak disertai dengan usaha penaklukan alam lebih dahulu. Dengan demikian lokasi pemukiman berpola mengelompok padat dan memanjang mengikuti alur sungai dan pesisir pantai. Pola ini juga terdapat pada pemukiman penduduk di daerah pertemuan Sungai Bone dan Bolango yang awalnya membangun pemukiman (fondachi) dan dikembangkan menjadi perkampungan Bugis dan Cina.

Bagian pertemuan Sungai Bone dan Bolango menjadi ancaman serius bagi penduduk yang menetap disekitarnya, setiap tahunnya daerah ini sering dilanda banjir cukup besar. Bencana ini menyebabkan orang-orang Bugis dan Cina mengungsi ke daerah-daerah pinggiran kampung yang dihuni orang-orang Minahasa yang umumnya bekerja sebagai tenaga pengajar. Rendahnya perhatian pemerintah kolonial dalam mengurus pemukiman penduduk, utamanya sarana air minum—pipa air minum diusahakan tahun 1845, sanitasi dan kesehatan mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit dan menelan korban ribuan penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 1823, 1824 dan 1839 pemerintah kolonial melalui Geneeskundingen Dienst (Dinas Kesehatan) melakukan penyuntikan penyakit cacar, walaupun tahun 1833 dan 1834 penduduk kembali terserang penyakit cacar dan banyak korban meninggal.[19] Pada tahun 1883-1884 penduduk umumnya terjangkit penyakit cacar, dan tahun 1885-1886 terjangkit penyakit kolera.[20] Akibat munculnya wabah kolera, menyebabkan jumlah penduduk meninggal sebesar 4.000 jiwa, di antaranya terdapat 600 jiwa laki-laki yang produktif.[21]

Pada bulan Januari 1889 seorang opsir kesehatan Gorontalo melakukan penyelidikan ke daerah untuk memeriksa kondisi kesehatan penduduk. Dalam laporannya mengusulkan agar perlunya didirikan sebuah tempat perawatan penderita sakit dan penerangan tentang kesehatan. Selanjutnya diadakan pertemuan baik dari pemerintah kolonial maupun kepala pribumi, orang Cina dan Arab. Hasil keputusan pertemuan tersebut diputuskan untuk mendirikan lembaga perawatan dan penerangan kesehatan melalui pengumpulan dana. Lembaga ini bertujuan untuk memberi pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan cara pengobatan gratis.[22]

Pada bagian lain, daerah Gorontalo umumnya mempunyai tanah yang subur yang dilalui sungai-sungai besar dan kecil. Sebagian besar dataran dijadikan persawahan dan saluran-saluran air dapat dibuat dengan mudah karena kontur tanah yang lunak. Dataran persawahan juga dikelilingi oleh pegunungan sebagai sumber air untuk irigasi dan kebutuhan penduduk. Daerah persawahan ditanami padi dengan cara menanam sangat rapat, sehingga hasil panen tidak memuaskan. Dengan demikian kebutuhan akan beras tidak terpenuhi bagi penduduk dan mengimpor beras dari luar. Selain tanaman padi, kelapa juga ditanam di daerah persawahan dengan jumlah besar, maka tidak mengherankan komoditi kelapa menjadi barang ekspor setiap tahunnya. Tanaman jagung (milu) yang dibudidayakan di kebun-kebun dataran dengan membajak dan di ladang-ladang pegunungan dengan menebang dan membakar. Pada pemetikan jagung biasanya dilakukan 2 – 3 kali setahun, kadangkala terjadi pemetikan terlalu cepat (masih muda), sehingga mudah diserang bubuk (kabubu atau bubug) dan menyebabkan ekspor milu tidak dilakukan.[23]

 

  1. Penutup

Keberadaan berbagai kelompok etnis di Gorontalo telah membawa kemajuan sosial yang penting bagi perkembangan Gorontalo. Di samping itu, perkenalan antar-etnis khususnya yang dilakukan oleh para pendatang, memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran berbagai pengalaman yang dibawa dari daerah asalnya yang akan menjurus pada kesadaran tentang kesatuan dari suku bangsa di seluruh Indonesia.

Interaksi sosial merupakan faktor penting pada kehidupan masyarakat, menurut Varshney bahwa keberadaan masyarakat sangat diperlukan untuk menjelaskan kehadiran dan ketidakhadiran konflik sosial. Konflik sosial antar-etnik/agama lebih disebabkan oleh menguatnya tingkat kohesivitas internal dalam kelompok-kelompok etnik/agama (internal engagement). Sedangkan perdamaian sosial lebih didorong oleh menguatnya jaringan pertalian antar warga lintas etnik/agama (intercommunal engagement). Menurut Coser bahwa hal tersebut dapat dipahami mengingat konflik sosial seringkali dimaksudkan untuk membangun dan mempertahankan identitas dan batas-batas sosial suatu kelompok masyarakat.[24]

Untuk itu pentingnya upaya-upaya dalam lebih merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kota Gorontalo yang keterkaitan warga masyarakat baik secara formal maupun informal akan mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan masyarakat yang pluralistik.

KEPUSTAKAAN

Abdussamad, K, et al., (peny.). 1985. Empat Aspek Adat Gorontalo. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942.

Abidin, Andi Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar Tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar. Bandung: Alumni.

Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Nurhady Sirimorok (terj.). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) In the Seventeenth Century. Makassar: Ininnawa bekerjasama Media Kajian Sulawesi.

Arsip Nasional Republik Indonesia. 1976. Inventaris Arsip Gorontalo 1810-1865.

Haga, B.J. 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo): Volksordening, adatrecht en bestuurspolitiek. Deel LXXI. Bandoeng: A.C Nix & Co.

Hoevell, G.W.W.C Baron van. 1891. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is Gebracht”, De Assistant-Residentie Gorontalo. Leiden: E.J Brill.

Lipoeto, M.H. 1947. Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, Jilid V. Gorontalo: Volks Drukkerij.

Nur, S.R. 23 Januari 1992. Ikilale Lo Bate Walu  (Ikrar Delapan Kepala Adat) Kerajaan-Kerajaan Gorontalo. Ujung Pandang: tanpa penerbit.

Pamungkas, Cahyo. 2005. “Interaksi Sosial Antar Umat Beragama di Maluku: Sebelum dan Sesudah Konflik Sosial 1999”, dalam Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Rosemberg, C. B. H. von. 1865. Reistogten In De Afdeeling Gorontalo. Amsterdam: Frederik Muller.

Tacco, Richard Tacco. 1935. Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch. Gorontalo: Gorontalo Drukkerij.

 

 

 

 

 

 

[1] G.W.W.C Baron van Hoevel. 1891. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is Gebracht”, De Assistant-Residentie Gorontalo. Leiden: E.J. Brill, hlm. 4.

[2] Lihat secara keseluruhan S.R. Nur. 23 Januari 1992.  Ikilale Lo Bate Walu (Ikrar Delapan Kepala Adat) Kerajaan-Kerajaan Gorontalo. Ujung Pandang: tanpa penerbit. Lihat juga M.H. Lipoeto. 1947.  Sedjarah Gorontalo, Doea Lima Pohalaa, V. Gorontalo: Volks Drukkerij.

[3]  Perjanjian Bungaya disepakati pada 18 Nopember 1667, beberapa orang Makassar meninggalkan negerinya menuju daerah-daerah yang pernah ditaklukan oleh Gowa, termasuk Gorontalo dan Limboto pada tahun 1634. Lihat Andi Zainal Abidin. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar Tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar. Bandung: Alumni, hlm. 56-57. Perjanjian Bungaya bagi orang Belanda disebut Het Bongaais Vedrag dan Makassar disebut Cappaya ri Bungaya ditandatangani oleh Karaeng Popo atas nama Kerajaan Gowa dan Speelman atas nama Kompeni Belanda. Perjanjian tersebut membawa Gowa dalam suasana peralihan yang sangat mencemaskan. Untuk mengetahui lebih jelas isi Perjanjian Bungaya 18 November 1667, lihat Leonard Y. Andaya. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Nurhady Sirimorok (terj.). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) In the Seventeenth Century. Makassar: Ininnawa bekerjasama Media Kajian Sulawesi, hlm. 385-388.

[4] Andi Zainal Abidin. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar …, hlm. 56-57.

[5] B.J Haga, 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo): Volksordening, adatrecht en bestuurspolitiek. Deel LXXI. Bandoeng: A.C. Nix & Co, hlm. 17-18.

[6]  Richard Tacco. 1935. Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch. Gorontalo: Gorontalo Drukkerij, hlm. 31-32.

[7] B.J Haga, 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo): Volksordening…, hlm. 21.

[8] K. Abdussamad, et al., (peny.). 1985. Empat Aspek Adat Gorontalo. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, hlm. 38.

[9] C. B. H. von Rosemberg. C. B. H. von Rosemberg. 1865. Reistogten In De Afdeeling Gorontalo. Amsterdam: Frederik Muller, hlm. 15.

[10] B. J. Haga. De Limo-pahalaä (Gorontalo):Volksordening…, hlm. 21.

[11] B. J. Haga. De Limo-pahalaä (Gorontalo):Volksordening…, hlm. 10.

[12] C. B. H. von Rosemberg. 1865. Reistogten In De Afdeeling…, hlm. 15.

[13] C. B. H. von Rosemberg. Reistogten In De Afdeeling…, hlm. 16.

[14] C. B. H. von Rosemberg. Reistogten In De Afdeeling…, hlm. 15.

[15] G. W. W. C Baron van Hoevel. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is…, hlm. 10.

[16] G. W. W. C Baron van Hoevel. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is…, hlm. 10.

[17] C. B. H. von Rosemberg. Reistogten In De Afdeeling…, hlm. 27.

[18] G. W. W. C Baron van Hoevel. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is…, hlm. 13-15.

[19] Arsip Nasional Republik Indonesia. 1976. Inventaris Arsip Gorontalo 1810-1865.

[20] G. W. W. C Baron van Hoevel. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is…, hlm. 11.

[21] B. J. Haga. De Limo-pahalaä (Gorontalo):Volksordening…, hlm. 73.

[22] G. W. W. C Baron van Hoevel. “Onder Rechtstreeksch Bestuur Is…, hlm. 12.

[23] B. J. Haga. De Limo-pahalaä (Gorontalo):Volksordening…, hlm. 75.

[24] Cahyo Pamungkas. 2005. “Interaksi Sosial Antar Umat Beragama di Maluku: Sebelum dan Sesudah Konflik Sosial 1999”, dalam Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.