MITOS DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM di TOMBATU MINAHASA

oleh :  Lily EN. Saud

(Peneliti BPNB Manado)

 

Pendahuluan

Penyebaran dongeng atau mitos dalam masyarakat sangat banyak dan bervariasi,ada dongeng yang berisi tentang kejadiaan alam atau suatu tempat, tentang awalnya kehidupan manusia ,tentang flora dan fauna yang dilakoni oleh manusia, bidadari, bahkan oleh binatang sehingga dikenal adanya dongeng binatang (animal tales). Seperti yang kita ketahui setiap kali membaca dongeng atau mitos bahwa seringkali dongeng atau mitos tidak hanya sebuah cerita tanpa arti atau hanya sekedar hiburan. Lebih dari itu seperti yang dikatakan Levis-Strauss, dongeng atau mitos sering kali merupakan suatu ungkapan simbolis dari konflik-konflik batiniah yang ada dalam suatu masyarakat, atau merupakan sarana untuk mengelakkan, memindahkan dan mengatasi kontradiksi-kontradiksi empiris yang tak terpecahkan. (Shri Ahimsa-Putra  2001).

Dongeng atau mitos umumnya menggambarkan tokoh-tokoh manusia atau pun bukan manusia, tokoh bukan manusia pada dasarnya menjadi simbol atau lambang untuk mengungkapkan gagasan, ide atau moral manusia. Para pembaca dongeng biasanya memiliki pandangan yang berbeda, ada yang menganggap dongeng baik karena mengandung hiburan dan nasehat tetapi ada juga yang menganggap tidak baik karena berisi khayalan dan hal-hal yang tidak masuk akal. Pandangan yang bertentangan ini sebenarnya disebabkan karena sebagian pembaca belum mampu mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah cerita. Dongeng sebagai salah satu ragam sastra lisan sebenarnya mengandung peristiwa atau nilai budaya masyarakat pemiliknya. Didalamnya tercermin ciri kehidupan masyarakat, sikap dan pandangan moral. Dengan menggunakan perspektif diatas saya mencoba meyampaikan bahwa cerita Kahele yang berasal dari Tombatu berisikan suatu ide, pandangan hidup masyarakat  Minahasa terutama orang Tombatu dalam melestarikan lingkungan hidupnya.

Selayang Pandang Orang Tombatu    

Dahulu  orang Tombatu atau wilayahnya  disebut  Toundanow atau dalam refrensi Minahasa disebut Tonsawang sebagai salah satu subetnis Minahasa. Akan tetapi orang Tombatu lebih senang disebut Toundanow  yang berasal dari kata To berarti orang  dan dano berarti air, sehingga Toundanow berarti orang yang hidup atau tinggal didaerah banyak air.  Nama ini erat hubungannya dengan sejarah kehidupan orang Tombatu yang menurut cerita pada mulanya hidup dan bermukim di sekitar danau Tondano dan melakukan aktifitas mata pencahariannya di danau Tondano. Hingga satu waktu kelompok ini diserang oleh para perampok asal Tidore dan  mereka tidak dapat bertahan ditempat itu sehingga mereka meninggalkan tempat tersebut dan mencari pemukiman baru. Sebagai komunitas yang terbiasa hidup dilingkungan danau mereka memilih tempat bermukim yang baru yang dianggap paling cocok dengan pola hidupnya dan mereka memilih untuk menetap di daerah yang kini disebut Tombatu.  Dahulu daerah ini merupakan sebuah danau dengan luas sekitar 15 kilo meter persegi yang dikelilingi oleh bukit yang kemudian dijadikan pemukiman mereka. Bekas-bekas pemukiman manusia purba ini sampai saat ini masih ada yaitu berupa kumpulan-kumpulan kulit kerang dan ditemukannya bekas-bekas kuburan.

Danau yang dahulunya cukup luas dalam perkembangannya menjadi kering atau dikeringkan oleh penduduk  untuk keperluan pemukiman dan pertanian. Legenda tentang dikeringkannya danau ini  yang oleh mereka disebut luah dilakukan dengan menghanyutkan sepasang perjaka dan gadis sebagai korban, hingga saat ini masih hidup dalam masyarakat. Bagian-bagian danau yang tidak kering menjadi telaga-telaga kecil dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat untuk memelihara ikan dan sebagian lagi dijadikan sawah. Daerah ini memiliki area persawahan yang cukup luas dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Didaerah inilah nenek moyang penduduk Toundanow atau Tombatu  tinggal dan menetap hingga keturunannya sekarang. Hasil pertanian yang terkenal di daerah ini adalah padi dengan produksi rata-rata 71.600 ton setiap panen. Selain itu daerah ini memiliki hasil petanian jagung, kedelei, kacang tanah, kelapa, cengkih , vanilli dan kopi.

Kahele , dongeng  dari Tombatu   

Cerita yang diberi judulKahele ini diperoleh dari penuturan orang-orang tua di didaerah Tombatu dan siapa pengarang cerita ini tidak dapat disebutkan karena cerita ini merupakan dongeng turun temurun. Cerita  ini mengisahkan tentang kehidupan petani, dengan teknologi pertanian yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam mengolah ladang mereka masih melakukan system ladang berpindah sehingga ladang yang diolah semakin hari semakin jauh dari pemukiman mereka. Untuk menentukan suatu areal pertanian yang baru biasanya dirembukkan terlebih dahulu oleh para petani melalui kelompok mapalus atau didaerah ini disebut ma’ando . Ma’ando dipimpin oleh seorang kepala, tekad dan semangat kerja serta rencana-rencana dalam membuka dan mengolah ladang diajukan dan dibicarakan oleh setiap anggota ma’ando dalam setiap pertemuan.

Pada suatu hari kepala ma’ando menyampaikan pengumuman agar semua anggota ma’ando mengadakan musyawarah untuk menentukan tempat yang akan dijadikan lahan pertanian baru dan membuat tempat pertemuan bagi anggota mapalus. Keesokkan harinya mereka mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk keperluan mendirikan pondok dan hari itu juga pondok pertemuan selesai. Pada suatu hari pemimpin ma’ando mengumumkan agar semua anggota ma’ando berkumpul di pondok pertemuan untuk mengadakan musyawarah tentang pembukaan lahan baru, dalam setiap pertemuan selalu disuguhi minuman tuak sehingga tempat ini dinamai palekuan    atau tempat minum. Hari berganti hari setiap menjelang surya terbit di ufuk timur para petani biasanya memulai pekerjaan dengan menyadap tuak, kemudian tempat tuak yang terbuat dari bambu digantung dalam pondok pertemuan setelah itu mereka mulai menggarap ladangnya.  Seperti telah diatur maka pada jam istirahat mereka biasanya mengisi waktu istirahat dengan minum- minum di pondok pertemuan dan ini mereka lakukan setiap hari. Kebiasaan minum tuak dipagi hari, maupun pada waktu siang dan menjelang malam telah mengikat erat kehidupan beberapa petani yang ladangnya berada di sekitar pondok pertemuan. Setiap hari terjadi persaingan tuak siapa yang paling enak. Mereka masing-masing menceritakan kertrampilannnya menyadap tuak agar enak diminum. Ada tuak yang rasanya manis,asam manis, asam cuka dan ada pula yang berbau harum seperti bau durian. Tuak yang berbau durian inilah yang dirasa paling baik dan paling disukai.

Peminum tuak di pondok pertemuan ini diantaranya dua orang sahabat yang bernama Ndo’o dan Ekeng. Para petani ini dengan tekun melaksanakan pekerjaannya setiap hari tanpa menghiraukan hujan atau pun panas dalam musim apapun mereka tetap melaksanakan pekerjaan diladangnya. Suatu hari terjadi hujan terus memerus sepanjang hari , karena hujan dan dinginnya udara Ndo’o dan Ekeng enggan beranjak dari dalam pondok. Untuk menghangatkan tubuh mereka membuat api sehingga tanpa terasa hari sudah malam. Dimalam hari udara semakin dingin sehingga kedua sahabat ini tak henti-hentinya minum tuak   dan semakin merapatkan tubuhnya keperapian yang terus menyala.  Terlihat kabut mulai menyelimuti pondok sehingga Ndo’o dan Ekeng menggigil kedinginan dan kedua sahabat ini semakin merapatkan tubuhnya ke perapian. Sekitar pukul tujuh malam ketika keduanya asyik minum tuak tiba-tiba hujan reda, keduanya pun pergi meninggalkan pondok menuju pondoknya masing-masing.

Keesokan harinya keduanya kembali melakukan pekerjaan di ladang, kali ini karena cuaca kurang bersahabat , hujan turun rintik-rintik dengan hembusan angin dingin yang langsung menyentuh tubuhnya, maka selesai menyadap tuak mereka langsung menuju pondok pertemuan yang hari ini sangat sepi karena hanya kedua sahabat ini yang datang. Kabut pun turun seakan merayap dipermukaan bumi sehingga semua mahluk hidup merasakan dinginnya udara. Hembusan angin dingin disertai kabut tebal  menegakkan bulu roma kedua insan bersahabat ini.  Untuk menghindari tiupan angin Ndo’o dan Ekeng mendekatkan tubuhnya ke lobang perapian . karena sering digunakan lobang perapian ini penuh dengan debu sisa pembakaran. Sambil menghangatkan tubuh keduanya bercakap-cakap dengan santai, sementara itu Ekeng memperhatikan tingkah laku sahabatnya Ndo’o yang mengambil abu perapian dan menggosokan ke tangan dan kakinya.kemudian keseruluh tubuhnya. Walaupun ia keheranan dengan tingkah temannya tetapi ia tidak mau mengusik keasyikkan temannya menggosokkan debu ke tubuhnya dan ia berpikir itu adalah cara sahabatnya menghalau rasa dingin dari tubuhnya. Tat kala hari mulai gelap Ekeng mangajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke pondokmasing-masing. Ndo’o yang sudah bermandikan debu menolak ajakan Ekeng.

“ Ndo’o ayo kita pulang hari mulai gelap”, ajak Ekeng

“Lumbe…..e……e….e “ sahut Ndo’o

Ekeng yang sejak tadi memperhatikan tingkah Ndo’o mulai kwatir dengan keadaan sahabatnya, ia berusaha membujuk sahabatnya untuk pulang  tetapi gagal karena Ndo’o hanya menjawab dengan desauan Lumbe….e…….e…..e. melihat keadaan ini Ekeng pun mulai merasa takut, apa lagi hari semakin gelap. Perlahan-lahan Ekeng yang diselimuti perasaan takut dengan resah meninggalkan sahabatnya sendirian dan ia pulang kepondoknya. Setiba dipondoknya Ekeng semakin gelisah dan sulit memejamkan matanya walaupun malam semakin larut, peristiwa yang menimpa sahabatnya terbayang-bayang dipelupuk matanya. Keesokan hari sebelum matahari terbit Ekeng dengan cepat menyiapkan peralatan menyadap tuak dan tanpa memberi tahu siapapun dia langsung menuju pondok pertemuan. Mengingat peristiwa kemarin dari jauh Ekeng mengamati keadaan sekitar pondok itu dengan mengendap-endap sambil bertanya- tanya pada dirinya sendiri, apakah yang sudah terjadi dengan sahabatnya Ndo’o. perlahan-lahan ia mendekati pondok, tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam pondok lumbe…..e…..e….e, mendengar suara itu dengan penuh perhatian sambil berjalan berjingkrak-jingkrak ia mendekati dan mengintip ke dalam pondok. Ekeng sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya, didalam pondok hanya ada seekor hewan yang tidak berbulu. Mata Ekeng tertuju pada hewan itu dan tiba-tiba pandangan mereka bertemu mereka pun saling bertatapan. Ekeng yang diselimuti perasaan resah dan hati yang penuh tanda tanya, tiba tiba melihat hewan itu membuka mulutnya serta mengeluarkan suara lembut “lumbe….e….e….e” Ekeng sangat terkejut suara inilah yang ia dengar keluar dari mulut Ndo’o kemarin pada saat ia mengajak sahabatnya pulang. Dengan lirih Ekeng bertanya “Ndo’o kau kah itu” kasihan Ndo’o apa yang terjadi denganmu sahabatku, apa ini betul-betul kamu Ndo’o” seru Ekeng dengan penuh rasa haru.  “Lumbe…e….e…..e” sahut hewan itu. Sebagai sahabat Ekeng sedih dan sakit hati melihat keadaan sahabatnya yang kini telah berubah menjadi seekor hewan yang tidak berbulu. “nasib sial telah menimpamu Ndo’o” ucap Ekeng dengan lirih. Karena sedihnya melihat keadaan sahabatnya Ekeng tak dapat berbuat apa-apa, dia hanya diam terpaku diantara percaya dan tidak apa betul hewan ini jelmaan dari sahabatnya. Dalam suasana seperti itu tiba-tiba hewan itu bergerak perlahan-lahan meninggalkan lubang perapian dan keluar dari pondok menuju semak belukar di tepi hutan tanpa mengucapkan sepatah kata pun sebagai tanda perpisahan bagi Ekeng, dan hanya mengeluarkan suara “lumbe……e….e…..e.!

Dengan kejadian ini Ekeng tidak lagi mengerjakan pekerjaan menyadap tuak, dan ia pun pergi meninggalkan pondok pertemuan untuk menemui warga yang ada disekitar perkebunan tersebut dan menceritakan peristiwa yang telah menimpa sahabatnya Ndo’o. Mendengar cerita Ekeng, warga yang tinggal disekitar perkebunan itu terheran-heran bercampur rasa haru dan bingung. “ Mengapa demikian, apa yang menyebabkan sehingga Ndo’o mengalami nasib seperti itu? “ demikianlah mereka saling bertanya antara satu dengan yang lain, namun mereka tidak mendapatkan jawaban yang pasti.

Beberapa saat kemudian kepala mapalus segera menyerukan kepada seluruh petani yang ada diladang itu agar mencari dan menangkap hewan ajaib yang tidak berbulu itu. Dari hari kehari, kemudian bulan berganti bulan mereka mencari hewan itu akan tetapi sampai sejauh itu mereka belum menemukan hewan tersebut. Sejak peristiwa itu terjadi Ekeng bersama para petani ditempat itu mulai merubah kebiasaan mereka berkumpul sambil minum tuak di pondok pertemuan. Mereka terus memusatkan perhatian pada usaha pertaniannya sehingga meningkatlah produksi pertaniannya. Ladang mereka semakin luas,hasilnyapun makin bertambah dan taraf hidup semakin meningkat dan singkat cerita kini mereka hidup berkecukupan, aman dan tentram.

Beberapa tahun kemudian Ekeng bersama para petani lainnya ingin memperluas usaha mata pencahariannya, disamping tetap mengolah ladang mereka juga berburu binatang hutan untuk memenuhi kebutuhan laukpauk. Cara mereka berburu untuk menangkap hewan buruan yaitu dengan cara memasang jerat di hutan agar binatang hutan seperti babi hutan, rusa dan anoa serta binatang hutan lainnya dapat diperoleh. Jerat-jerat dipasang ditempat dimana terlihat bekas atau jalur yang sering dilewati binatang hutan, setelah jerat dipasang mereka tinggal mengeceknya setiap hari untuk melihat apakah jerat mereka berhasil menjerat buruan.  Kadang-kadang sampai berhari-hari tak satu pun hewan yang berhasil dijerat, karena biasanya melalui alat penciumannya binatang hutan dapat mengetahui keberadaan jerat yang dipasang.

Jerat yang dipasang Ekeng sebanyak 99 jerat, karena sudah menjadi tradisi pada masyarakat suku Tonsawang dengan jumlah angka tersebut, selain itu dengan mendengarkan suara-suara burung,cecak atau pun suara serangga dan juga melalui mimpi. Suatu malam Ekeng bermimpi berjumpa dan berjabat tangan dengan seseorang, sementara dalam suasana berjabat tangan ia terjaga dari tidurnya dan hingga subuh ia tak dapat memejamkan matanya memikirkan apa arti mimpinya. Bagi dia mimpi itu suatu pertanda baik, sehingga pagi-pagi sebelum matahari terbit ia menyiapkan bekal untuk sehari penuh , alat-alat berburu tak lupa disiapkan dan Ekeng pun menuju hutan dimana jerat-jeratnya dipasang. Tak lama kemudian Ekeng tiba di hutan dan mulai memeriksa jeratnya satu persatu. Jerat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya , ke empat puluh, lima puluh tak seekor pun hewan yang terjerat. Ekeng kemudian beristirahat untuk makan. Sementara menikmati makan siangnya kenangan sahabatnya Ndo’o kembali terbayang-bayang dipelupuk matanya, suara yang keluar dari hewan ajaib itu kembali terngiang-ngiang ditelinganya. Lumbe …..e….e…e suara itu seakan-akan terdengar disekitar tempat ia beristirahat sambil melepaskan lelah. “ bila menemukan hewan semacam babi hutan yang tak berbulu supaya ditangkap” ucapan kepala mapalus itu teringat dan seperti dibisikkan kembali ketelinganya.

Selesai menikmati istirahatnya Ekeng kembali melanjutkan memeriksa setiap jerat, pemeriksaan dilanjutkan mulai pada jerat ke lima puluh, lima puluh satu, dan seterusnya namun hingga pada jerat ke Sembilan puluh delapan belum seekor pun binatang yang berhasil ia peroleh untuk dibawa pulang. Ia merasa kecewa, namun ia masih punya satu harapan pada jeratnya yang terakhir jerat ke 99, ia merasa pasti akan memperoleh hasil pada jerat yang ke 99, yang letaknya kebetulan agak jauh terpisah dari jerat-jerat sebelumnya. Dan Ekeng memiliki harapan bahwa mimpinya semalam pasti suatu tanda kemujuran baginya.   Ketika tiba ditempat jerat ke 99  Ekeng terkejut melihat  ada seekor hewan yang terjerat, perlahan-lahan ia mendekat dan siap melepas tombaknya, tapi….. “ mengapa hewan itu diam dan tidak memperdulikan kedatangannya” Tanya Ekeng pada dirinya sendiri.  Dengan hati-hati ia mengamati hewan hasil jeratnya, hewan itu tidak menunjukkan reaksi untuk melepaskan diri walaupun ia melihat si pemburu sedang menghampirinya. Biasanya hewan yang terjerat akan berusaha melepaskan diri tetapi hewan ini menatap mata Ekeng seperti layaknya hewan piaraan yang jinak terhadap tuannya. Dan apa yang terjadi,saat Ekeng mengangkat tombaknya dan diarahkan ketubuh hewan itu ,tiba- tiba terdengan suara “ lumbe….e….e….e! dengan suara yang nyaring. Tombak terlepas dari genggaman Ekeng ia memalingkan wajahnya teringat suara itu pertama kali didengarnya pada beberapa tahun silam, dikala Ndo’o sahabat karibnya menjelma menjadi seekor hewan dan mengeluarkan suaranya di pondok palekuan. Dengan penuh keharuan Ekeng berbicara pada hewan itu dan bertanya “ kau kah Ndo’o sahabatku”?. “ lumbe…e…e…e! lumbe…e…e..e !” jawab hewan itu.

Ekeng kini kembali menemukan sahabat karibnya yang sudah menjelma menjadi seekor hewan ajaib. Dengan membisu Ekeng mendekati jerat dan melepaskan jerat dari tubuh hewan itu kemudian membiarkan hewan itu pergi dengan pesan “ kini kau kulepas sahabatku yang sudah berubah wujud dan kau kuberi nama Kahele” . “ lumbe…e….e…e ! sahut hewan itu dengan suara nyaring. Tak lama kemudian hewan itu meninggalkan Ekeng dan menghilang ditengah hutan. Ekeng pun meninggalkan tempat itu dan pulang menuju tempat tinggalnya dengan rasa haru. Ekeng memberi nama hewan itu Kahele yang dalam bahasa Tombatu berarti sesama manusia.

Demikianlah cerita tentang tokoh Ndo’o yang dikalangan orang Tombatu dikenal dengan cerita Kahele.  Melihat isi cerita ini sepintas kita melihat, bahwa cerita ini menceritakan asal-usul binatang yang diberi nama Kahele. Dari informasi orang Tombatu ternyata binatang atau hewan yang disebut Kahele ini adalah hewan babi rusa. Babi rusa menurut pemahaman orang Tombatu adalah binatang berkulit mirip kulit manusia dengan bulu yang jarang dan bentuk perut menyerupai perut manusia. Sehingga masyarakat Tombatu mempercayai hewan yang dahulu mudah ditemui didaerah Tombatu adalah hewan jelmaan manusia yang bernama Ndo’o.

Keseluruhan kisah Ekeng dan Ndo’o dalam cerita ini mencerminkan suatu kehidupan masyarakat petani yang dalam menjalankan aktivitas kehidupan mereka;  kebersamaan, musyawarah dan gotong royong menjadi sangat penting walaupun pada akhirnya mereka harus belajar dari kenyataan social bahwa kebersamaan dengan kebiasaan minum tuak ternyata membawa akibat buruk dalam kehidupan komunitas para petani pada saat itu. Peristiwa yang menimpa Ndo’o kemudian merubah kebiasaan yang dilakukan oleh para petani di pondok yang mereka sebut palekuan  atau tempat minum. Walaupun pada awalnya pondok ini dibangun sebagai tempat pertemuan untuk melakukan musyawarah sehubungan dengan aktivitas mereka sebagai petani. Suatu hal yang wajar apabila dalam suatu kelompok ada kompetisi agar hasil karyanya diakui oleh orang lain tetapi ketika keinginan itu menjadikan mereka lupa diri hasilnya pasti merugikan diri sendiri bahkan kelompoknya. Seperti pada episode yang menceitakan  bahwa para petani saling bersaing untuk menyatakan tuak mereka yang paling enak  sehingga setiap hari disela-sela aktivitas mereka berladang mereka selalu berkumpul untuk minum tuak dan tanpa mereka sadari kebiasaan ini kemudian membawa malapetaka bagi Ndo’o karena mabuk dia tidak dapat bangun dan pulang ke pondoknya sampai akhirnya peristiwa itu terjadi,  ia kemudian berubah menjadi seekor hewan yang kini dikenal dengan hewan babi rusa dan orang Tombatu menyebutnya kahele atau sesama manusia .

Dari uraian diatas kita bisa  mengatakan, bahwa suatu cerita entah mitos, legenda atau dongeng dapat ditafsirkan sebagai suatu proyeksi dari realitas sehari-hari yang penuh pertentangan atau teka-teki yang tak terpecahkan. Proyeksi ini disampaikan melalui struktur tertentu yang bersifat dialektis yang terdapat baik pada tingkat kognitif maupun empiris diluar pemikiran manusia (H.Ahimsa,2004).

Penutup

Seharusnya masih banyak data etnografis dan data certa-cerita lain yang diperlukan agar dapat mencapai interpretasi yang lebih dalam tentang makna pelestarian lingkungan hidup dalam cerita Kahele, namun karena keterbatasan data yang tersedia sehingga baru interpretasi seperti inilah yang dapat disajikan. Dari data yang diuraikan diatas dapatlah disimpulkan bahwa cerita kahele ini merupakan sebuah upaya simbolis orang Tombatu untuk memahami bahwa keharmonisan hubungan manusia dengan alam lingkungannya sangat penting bagi kehidupan manusia. Gambaran tentang alam yang tenang,ladang yang menghasilkan berbagai kebutuhan makan dan minum bagi para petani, persahabatan, kerukunan, kebersamaan yang membuat mereka hidup tenang dan damai. Tetapi ketika kebiasaan berkumpul sambil minum-minum tuak mulai mengikat kehidupan beberapa petani keharmonisan hubungan manusia dengan alam mulai terusik, dengan menjelmanya Ndo’o menjadi hewan aktivitas petani dalam berladang mulai terganggu, mereka tidak lagi merasakan ketentraman karena peristiwa Ndo’o mengganggu pikiran mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa cerita ini mengandung pesan bahwa kebiasaan minum tuak secara berlebihan mempengaruhi kesehatan dan otomatis berpengaruh pada semangat bekerja. Ndo’o yang karena mabuk tuak tidak dapat bangun sehingga semalaman ia tidur sendirian dalam pondok palekuan sampai akhirnya ia berubah menjadi hewan.

Sulawesi utara memiliki kekayaan fauna salah satunya hewan babi rusa, yang oleh orang Tombatu disebut kahele. Orang Tombatu sampai saat ini pantang memakan daging babi rusa yang dipercaya merupakan hewan jelmaan dari manusia, walaupun masyarakat Minahasa lainnya gemar mengkonsumsi daging babi rusa.   Orang Tombatu meyakini babi rusa memiliki beberapa persamaan dengan manusia yaitu kulitnya yang halus dan berbulu jarang serta bentuk perut yang menyerupai perut manusia sehingga hewan ini disebut Kahele yang artinya sesame manusia.

Dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa  cerita kahele merupakan proyeksi orang Tombatu untuk mengembalikan keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan agar kelestarian kehidupan hewan babi rusa dapat terpelihara.

 

Kepustakaan

Danandjaya James, 1991.

Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, Dll. Pustaka Grafiti Utama. Jakarta.

F                      , 1998.

Analisis Struktur dan Nilai Budaya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

 

Ahimsa P. Sri Heddy, 2001.

Struktulisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra, Galang Press, Yogyakarta.